20 November 2013

Simbah Sangoni Slamet

Serupa sore-sore lainnya di tiap November, jumat sore tadi Jogja hujan deras. Saya menepi untuk berteduh di emperan toko 24 jam dan berbincang dengan seorang nenek yang juga sedang berteduh. Sebelumnya sang nenek memindahkan barang-barangnya dari emperan toko ke seberang jalan.

Namanya Mbah Sinah. Siang hari Mbah Sinah berjualan baju bekas di depan toko, dan sore hari dia pindah ke seberangnya, tempat dia tidur sepanjang malam. Tempatnya tidur itu siangnya dipakai untuk tempat lesehan bagi pelanggan bakso PK yang selalu ramai di ujung jalan Pakuningratan.

Beberapa kali, di penghujung malam yang dingin dan sepi, saya berjalan kaki melewati “rumah”nya itu dan mendapatinya tidur berselimut putih tipis dan beralas karton.

Sore tadi akhirnya saya berkesempatan untuk berbagi cerita denganya. Saya duduk di sebelahnya. Memperhatikan senyumnya dalam-dalam. Raut wajah yang mungkin sudah lebih 80 tahun. Kami berbincang lama. Nenek itu -yang berasal dari Bantul- bercerita tentang kenapa dia lebih memilih menghabiskan siang-malamnya di emperan toko dan tidak tinggal dengan saudaranya di Bantul atau mungkin kos di sekitar situ, “di sini (emperan toko), saya punya banyak saudara.” katanya, sembari menyebut orang-orang yang tak dikenalinya yang hampir tiap hari singgah untuk sekedar memberi makanan atau membelikannya obat kala dia sakit. 

Mbah Sinah bercerita lepas. Sesekali dia tertawa. Saya tak tahu, mungkin dia jarang mendapat teman ngobrol. Yang saya tahu, ada sedikit bahagia dalam tawanya. Meski yang diceritakannya adalah kesedihan bagi saya.

Perbincangan kami berakhir saat hujan mereda. Saya pamit. Dan tak bisa memberinya sesuatu yang lebih berarti sore tadi. Namun sang nenek sambil tersenyum tulus berpesan singkat —pesan yang dalam perjalanan saya sadari sebagai doa dan lantas saya aminkan, “Simbah sangoni slamet ya…”

Jogja, 15 November '13