Saya beranjak remaja di saat industri musik tengah mengalami pergantian musim. Ska yang meledak di akhir 90-an perlahan meredup diinvasi rap rock/nu metal dengan Limb Bizkit dan Linkin Park sebagai pemain utama. Hybrid Theory begitu populer, termasuk di kota asal saya, Ternate. Banyak teman sekolah saya mendengarkan Linkin Park, menyanyikan “In The End” di kelas dan meng-cover lagu itu dengan band mereka, bahkan menata rambut mirip Mike Shinoda. Tapi tidak untuk saya.
Sebagai rocker
kelas kabupaten di wilayah timur yang belum begitu dekat dengan internet, pengetahuan musik saya
sangat terbatas. Apa yang saya tahu hanyalah apa yang disajikan MTV,
radio-radio lokal dan majalah Hai. Alhasil, di era itu kami nyaris dikepung rap
rock/nu metal. Beruntung saya mengenal beberapa kawan dengan selera musik yang tidak
umum. Selera yang lebih tua. Ya, jiwa-jiwa muda kami berselera tua.
Sejak SMP, oleh teman sekomplek rumah saya
dikenalkan dengan Bob Marley & the Wailers, Nirvana dan Guns N’ Roses. Saat SMA,
saya akrab dengan teman sekelas yang punya koleksi puluhan kaset (hal yang bagi
saya cukup keren kala itu). Namanya Adi. Dulunya, salah satu ruang di rumahnya dimanfaatkan
untuk stasiun radio. Saat radio itu harus tutup, banyak koleksi kaset yang diwariskan
padanya.
Dari kawan bernama Adi inilah pengetahuan musik
saya bertambah. Saya meminjam beberapa koleksi kasetnya, yang nantinya tidak
pernah lagi saya kembalikan. Meminjamkan kaset bagus ke orang lain itu hal
bodoh, tapi lebih bodoh lagi mengembalikan pinjaman kaset itu. :D
Kaset-kaset pinjaman itu diantaranya: Nevermind dari Nirvana, album kompilasi
milik The Beatles dan Van Halen, dan... The Black
Album!
Di saat yang sama, saya juga tengah belajar
bermain gitar. Saya memasukkan “Sweet Child O’ Mine” dari Guns N’ Roses dan “Nothing
Else Matters” dalam materi awal yang harus saya pelajari. Sebagai pemula, tentu
saja saya mencari lagu yang lebih mudah dimainkan.
Maka, Black
Album pinjaman itu pun saya “siksa”. Berkali-kali saya rewind di lagu “Nothing Else Matters” saja. Putar. Rewind. Putar lagi, Rewind lagi. Rewind di
bagian interlude. Rewind Lagi. Berkali-kali hingga saya
hafal betul dan bisa memainkannya dengan lancar.
Tape
deck milik ayah saya dwifungsikan sebagai amplifier.
Ya, selain untuk memutarkan Black Album,
saya juga menyambungkan gitar elektrik merek Prince di colokan mik tape deck itu. Dan bergayalah saya
bak rockstar –terlebih di bagian solo gitar. :D
Percayalah, bagi seorang pemain gitar
pemula, solo gitar adalah bagian paling agung dalam sebuah lagu. Bagian yang orgasmik.
Yang akan dimainkan hingga mata tertutup penuh hayat.
Selain untuk kesenangan pribadi, “Nothing
Else Matters” menjadi senjata andalan saya saat bermain gitar di tongkrongan (sepaket
dengan lagu-lagu band lokal seperti Slank).
Metallica adalah salah satu alasan saya semakin
mencintai gitar dan membuat band –meski akhirnya gagal, setidaknya saya pernah
memulai dan merasakan serunya menjadi anak band.
Black
Album menjadi jembatan bagi saya untuk mengenal
Metallica lebih jauh. Mendapati Metallica yang lebih agresif di era Kill ‘Em All. Dan Black Album jua lah yang menjadi jembatan bagi saya mengenal
band-band heavy metal/thrash metal yang lain.
Bang-band keren boleh datang silih berganti
mengisi playlist. Namun Metallica tak pernah beranjak. Tiap kali
mendengar Black Album, sensasi yang
saya rasakan masih sama. Bedanya, karena kali ini tak ada gitar, maka saya melakukan air guitar tiap kali mendengar solo-solo yang menggigit.
Menurut idola saya yang lain, “Band
terbaik yang pernah kamu dengar di hidup kamu adalah band yang selalu kamu
dengarkan saat remaja.” Maka di hidup saya, band itu (salah satunya) Metallica. \m/
✕
ditulis sambil mendengarkan Black Album.