Serupa
sore-sore lainnya di tiap November, jumat sore tadi Jogja hujan deras. Saya
menepi untuk berteduh di emperan toko 24 jam dan berbincang dengan seorang
nenek yang juga sedang berteduh. Sebelumnya sang nenek memindahkan
barang-barangnya dari emperan toko ke seberang jalan.
Namanya
Mbah Sinah. Siang hari Mbah Sinah berjualan baju bekas di depan toko, dan sore
hari dia pindah ke seberangnya, tempat dia tidur sepanjang malam. Tempatnya
tidur itu siangnya dipakai untuk tempat lesehan bagi pelanggan bakso PK yang
selalu ramai di ujung jalan Pakuningratan.
Beberapa
kali, di penghujung malam yang dingin dan sepi, saya berjalan kaki melewati
“rumah”nya itu dan mendapatinya tidur berselimut putih tipis dan beralas
karton.
Sore
tadi akhirnya saya berkesempatan untuk berbagi cerita denganya. Saya duduk di
sebelahnya. Memperhatikan senyumnya dalam-dalam. Raut wajah yang mungkin sudah
lebih 80 tahun. Kami berbincang lama. Nenek itu -yang berasal dari Bantul-
bercerita tentang kenapa dia lebih memilih menghabiskan siang-malamnya di
emperan toko dan tidak tinggal dengan saudaranya di Bantul atau mungkin kos di
sekitar situ, “di sini (emperan toko), saya punya banyak saudara.” katanya,
sembari menyebut orang-orang yang tak dikenalinya yang hampir tiap hari singgah
untuk sekedar memberi makanan atau membelikannya obat kala dia sakit.
Mbah
Sinah bercerita lepas. Sesekali dia tertawa. Saya tak tahu, mungkin dia jarang
mendapat teman ngobrol. Yang saya tahu, ada sedikit bahagia dalam tawanya. Meski
yang diceritakannya adalah kesedihan bagi saya.
Perbincangan
kami berakhir saat hujan mereda. Saya pamit. Dan tak bisa memberinya sesuatu
yang lebih berarti sore tadi. Namun sang nenek sambil tersenyum tulus berpesan
singkat —pesan yang dalam perjalanan saya sadari sebagai doa dan lantas saya
aminkan, “Simbah sangoni slamet ya…”