Mince, pelajar SMP yang malu-malu itu lantas berdiri
dari tempat duduk di ruang tunggu Puskesmas Bolakme dan masuk ke ruangan Dokter
Made.
“Ko sakit apa?”
“Tangan gatal-gatal,” terang Mince yang datang
bertiga dengan temannya yang masih mengenakan seragam SMP.
“Ko tidak sekolah ka?”
“Guru ada di kota.”
Mince adalah siswi SMPN Bolakme –satu-satunya
SMP di Distrik Bolakme, yang terletak di tepi kali Baliem yang mengalir deras
dan berada tepat di kaki gunung Jugum di kompleks yang sama dengan SMUN Bolakme
dan SD Inpres Bolakme.Di sebelah timur terdapat Puskesmas Bolakme, dan di
sebelah barat terdapat PLTS Bolakme, Koramil, Polsek yang jarang buka, dan
Pasar Bolakme yang buka tiap selasa, kamis dan sabtu.
Sekolahan Mince sudah melangsungkan ujian
kenaikan kelas. Minggu ini mereka hanya datang ke sekolah untuk membersihkan
rumput di kompleks sekolah yang mulai meninggi, lalu bermain sepak bola dilapangan
sekolah yang luas. Dan pulang. Tak semua guru datang. Beberapa guru sedang ada
di Wamena, bergabung dengan kelompok guru lainnya dari seluruh Kabupaten
Jayawijaya yang berdemo menuntut pemotongan insentif mereka oleh Pemerintah Kabupaten.
Selain Mince dan temannya, ada juga 3 siswa
SMPN Bolakme yang datang berobat di Puskesmas. Keluhannya sama: gatal-gatal
pada kulit.
“Ko tinggal dimana?” tanya Bidan Desi, yang
sehari-hari bertindak sebagai asisten Dokter Made sekaligus melayani loket
pendaftaran.
“Di Bem.”
“Dimana itu?”
“Di balik gunung,” jawab pelajar SMP ke-4 yang
pagi itu berobat ke Puskesmas Bolakme.
“Baru ko Pesmin?” tanya Bidan Desi ke teman
pasien.
“Sa tidak sakit.”
4 pipa air tanpa keran mengalirkan air tanpa
henti di belakang Puskesmas. Aliran air itu bersumber dari mata air yang terletak
tak jauh dari Puskesmas. Selain Puskesmas Bolakme, Kantor Distrik, kompleks
sekolahan, kantor Polsek dan Koramil, serta Kampung Bolakme dan Wenamela juga
dialiri air tersebut. Air melimpah di sini.
Tapi tidak untuk listrik dan sinyal ponsel. Sinyal
menjadi barang mewah di Bolakme. Untuk bisa –setidaknya- menerima SMS atau
telpon, kita harus mendatangai spot-spot tertentu di jalanan desa yang sedikit
mendaki. Menara BTS telkomsel terdekat berada di Distrik Hom-Hom, Kota Wamena,
45 km dari Bolakme.
Listrik dari PLN belum menjangkau semua
distrik di Lembah Baliem. Di Distrik Bolakme, listrik bersumber dari PLTS dan solar cell yang terdapat di rumah-rumah
warga. PLTS Bolakme yang memiliki panel matahari seluas separuh lapangan futsal
hanya mengalirkan listrik ke kantor Distrik, Koramil, Polsek, dan sebagian
rumah di kampung Bolakme.
Dulunya Puskesmas Bolakme dan kompleks sekolah
teraliri listrik dari PLTS, namun pemuda-pemuda kampung yang nakal memutuskan
kabel listrik yang melintang di kompleks sekolahan.
Menurut informasi beberapa pihak, Bolakme
termasuk wilayah Ring 3. Zona merah. Zona dimana POS PAMRAHWAN ditempatkan.
Dua siswi lain yang mencuci tangan di pipa air
merapat dekat ke pintu belakang, mencuri-curi pandang ke dalam Puskesmas dan malu-malu
melihat lelaki asing yang duduk di ujung bangku panjang danmenebarkan senyum ke
siapa saja.
Syahdan, kedua siswi yang bernama Mance Tabuni
dan Debi Wenda itu berlari kecil dan duduk di bangku panjang di ruang tunggu pasien.
“Kam dua sakit?” tanya Dokter Made.
“Iya.” Kata Debi Wenda.
“Tunggu e.”
Sudah 30 menit, Dokter Made dan Michael
bergantian melayani 10 pasien: 7 pelajar SMP, 1 ibu muda dan 2 lelaki tua yang
mengeluh gatal-gatal.
Perempuan tua yang mengantar anaknya,
mondar-mandir menunggu anaknya diperiksa. Mengenakan kaos biru, rok merah, topi
kupluk merah-kuning-hijau, menyilangkan di bahu noken lusuh yang sobek di
bagian bawah dan tak menggunakan alas kaki. Anaknya –yang diperiksa sambil
menggendong bayi- dilayani lebih lama dibanding pasien lainnya, bahkan hingga
pintu depan Puskesmas sudah ditutup.
“Baru suaminya ada dimana?” tanya Dokter
Michael, “Besok suruh ke sini ya, mau saya kasi obat.”
Puskesmas Bolakme terletak di antara SMPN Bolakme dan Kantor Desa Lani Timur. Di kompleks Puskesmas terdapat gedung puskesmas rawat jalan, gedung rawat inap yang tak difungsikan, serta perumahan untuk dokter –yang sesekali ditinggali, bidan, perawat dan kepala Puskesmas. Dikelilingi pagar kayu besi yang di bagian atasnya ditumpuk rerumputan kering dan ranting pohon kasuari yang ditumbuhi bunga terompet ungu. Pintu masuknya berbentuk gapura melengkung yang juga diatapi alang-alang. Banyak kompleks rumah honai, kantor, gereja dan sekolah di distrik-distrik di Kabupaten Jayawijaya berpagar dan bergapura alang-alang seperti itu. Alang-alang yang juga dipakai untuk atap honai.
Puskesmas Bolakme terletak di antara SMPN Bolakme dan Kantor Desa Lani Timur. Di kompleks Puskesmas terdapat gedung puskesmas rawat jalan, gedung rawat inap yang tak difungsikan, serta perumahan untuk dokter –yang sesekali ditinggali, bidan, perawat dan kepala Puskesmas. Dikelilingi pagar kayu besi yang di bagian atasnya ditumpuk rerumputan kering dan ranting pohon kasuari yang ditumbuhi bunga terompet ungu. Pintu masuknya berbentuk gapura melengkung yang juga diatapi alang-alang. Banyak kompleks rumah honai, kantor, gereja dan sekolah di distrik-distrik di Kabupaten Jayawijaya berpagar dan bergapura alang-alang seperti itu. Alang-alang yang juga dipakai untuk atap honai.
Halaman Puskesmas yang tidak terawat dipenuhi
rerumputan. Juga pohon-pohon kasuari yang meneduhkan. Di samping Puskesmas,
ambulans yang baru berumur 3 tahun teronggok tak terpakai.
Suara aliran air dan gemuruh angin yang
bertiup di sela dedaunan pohon kasuari menghadirkan paduan suara alam yang
khas.
“Su siang bapa,” kata Dokter Made ke Enos
Tabuni yang baru datang. Pintu depan Puskesmas sudah 20 menit lalu ditutup
Dokter Michael yang setelahnya hanya melayani 1 pasien yang harus didampingi Perawat
John sebagai penerjemah. Siang ini Dokter Michael juga berencana ke Kantor
Dinas Kesehatan.
Tapi Dokter Made tetap melayani Enos Tabuni.
Setelah diberi obat dan petunjuk meminum obat oleh Dokter Made, Enos Tabuni
lalu berjalan ke luar dan hendak meminum obat dengan air dari pipa di belakang
Puskesmas.
“Bapaaaaa.. makan epere dulu baru minum obaaat!!!”
Teriak Dokter Made sambil berlari ke ujung pintu, dan tergelak.
Telat. Obat telah tertelan.
Saat hendak beranjak pulang, kedua dokter muda
itu, Bidan Desmi dan Perawat John didatangi 2 pasien bermarga Tabuni yang
berjalan tanpa alas kaki dari Desa Munak yang berjarak 5 km dari Puskesmas.
“Bapa sakit apa?”
“Gatal-gatal.”
“Kasih obat saja.” Kata Dokter Michael.
“Bapa mandi ka tidak?” tanya Dokter Made
sambil mengemut lolipop.
Kedua pasien terakhir itu datang pada pukul
12.20, hampir 1 jam setelah pintu depan Puskesmas ditutup. Saat Dokter Made
sudah mengenakan sweater dan menggendong tas punggungnya, siap-siap untuk pulang.
Pada spanduk yang dipasang di ruang tunggu, tertera jam buka-tutup Puskesmas: 09.00 – 13.00 WIT.
Bolakme, 28 Mei 2014.