Begitu pulang, hal pertama yang saya lakukan adalah
menghitung kembali jumlah kawan masa kecil yang tersisa. Ipi baru saja menikah.
Menyusul Lika yang sudah menikah beberapa tahun lalu dan Akil dua tahun silam.
Lika dan Akil masing-masing sudah punya anak 1, Ical bahkan sudah 2 dan kini
menetap di Bacan. Ipi juga di Bacan. Yang belum menikah hanya Kamu, Mahdi dan
Budi. Ya, tapi Kamu sudah lama menetap di Jailolo dan sesekali Pulang ke
Ternate, sedang Mahdi baru saja bekerja di Weda.
Begitu di Jogja, saat bekerja maupun luang saya selalu
merasa bahwa saya adalah orang yang sama dengan 10 tahun lalu. Tapi begitu
pulang, saya sadar bahwa banyak hal yang saya temui tak lagi sama. Semakin
banyak kawan masa kecil menikah berarti semakin sedikit teman yang bisa diajak
bercerita sepanjang malam saat Ramadhan. Juga tak ada lagi pintu yang bisa saya
tuju saat saya masih begadang. Tak hanya kawan, BTN pun sudah berubah.
Mudik adalah jembatan menuju masa lalu. Saatnya berbagi
cerita. Ramadhan adalah momen dimana Mama akan memasak makanan
yang –entah kenapa- hanya ada di tiap bulan istimewa itu dan hanya pada saat sahur dengan rasa yang selalu sama. Juga momen dimana Mama akan bercerita dengan berseri-seri tentang masa kecil
beliau yang seru di Auna dan kala beliau menjadi gadis penjual ketupat favorit
Mama-Mama Kailolo di Pasar Gotong Royong Ambon (kini Ambon Plaza). Juga saat
Papa akan membawa kami keliling kota sore-sore –tradisi sejak kami di Masohi.
Setelah Papa tiada, kebiasaan tersebut juga ikut hilang. Hal lain yang biasanya
dilakukan Papa tiap Ramadhan adalah menyalakan pelita dari bambu/botol kaca
saat malam Ela-ela (malam ke-27 Ramadhan). Kali ini Mama yang menggantikan
peran Papa. Tetangga-tetangga kami di BTN pun masih melakukan hal yang sama.
Indah sekali. Ini hal yang belum hilang di BTN.
Ingatan saya juga melayang ke malam-malam kita di teras
rumahmu, di leger pojokan jalan depan rumah dan ruang tengah rumah kami. Kita
masih terjaga saat kompleks ini sudah sunyi dan bercerita hingga Gendang Sahur
terdengar di rumah sebelah. Saya lebih banyak mendengar, sedang kamu bercerita
apa saja. Mulai dari kegiatanmu di Jailolo, sepak bola, hingga tentang
pilihanmu untuk memperdalam agama. Dan tiap kali Ibumu memanggil pulang, kamu
punya alasan ampuh supaya kita masih bisa berlama-lama: “Ada deng Ecal.” Ibumu
tahu saya jarang pulang, dan membolehkan obrolan malam itu tetap berlanjut.
Dan kamu pun tahu kapan pertemuan malam itu harus berakhir:
saat saya pamitan dengan alasan hendak makan, “Rabu-rabu saja.” Kamu sudah
hafal betul bahwa saya tak akan kembali.
Momen pulang kampung kali ini kita bertemu di malam terakhir
Ramadhan. Malam itu saya bertanya jam dan kamu menjawab, “Baru jam 12.” Padahal
sudah jam 2. Kamu sengaja supaya kita bisa berbagi cerita lebih lama lagi.
Karena ternyata, malam itu satu-satunya malam kita bertemu tahun ini.
Pulang tak hanya sebuah momen bagi kita untuk berkumpul
dengan keluarga, nostalgia mengais masa lalu dan menyadari bahwa banyak hal tak
lagi sama. Tapi juga momen yang mengharuskan kita agar menyiapkan satu ruang
untuk kehilangan.
Kapal Sinabung,
Pelabuhan Ambon, 18 Agustus 2014.