“yah..(band) kami memang norak, kami emang dari desa. saya hanya kuli bangunan, dia hanya penjual cendol, dia anak petani, dia kuli bangunan….”
Sebuah tayangan infotainment di salah satu tv swasta yang menampilkan fenomena baru dalam Industri Musik Indonesia sore itu, cukup menggelitik saya dan membuat saya tak berhenti terpingkal-pingkal. sosok muda, yang masih terlihat belia, dan tentu saja terlihat sangat norak, mengomentari dengan sangat polosnya dan setengah kaku -karena mungkin baru sekali diwawancarai di tv- tentang kritikan pedas yang mulai berdatangan atas kemunculan mereka. Kangen band. Fenomena baru dari desa yang membuat para kritikus musik mulai ngoceh sana-sini, membuat para pengamen di sepanjang jalan solo dan malioboro menambah list lagu mereka, meramaikan lapak cd-cd bajakan dengan lantunan tembang pop melayu superduper norak, hingga masuk dalam daftar nada dering ponsel teman saya, yang saya rasa selera musiknya tidak begitu buruk sebelum tahu dia suka band ini.
Ini bukan kali pertama industri musik Indonesia dikagetkan dengan kemunculan band norak seperti kangen band. Sepanjang tahun 2006 lalu, media dihiasi dengan “fenomena kampung” lainnya, bernama Radja. Radio-radio anak muda lokal mendengarkan Benci Bilang Cinta, dan menempatkan lagu ini di chart tertinggi lagu-lagu Indonesia. Semua stasiun tv swasta memutarkan klip-klip dari band ini, sampai-sampai stasiun tv khusus musik, Mtv, tidak mau kalah dalam frekwensi pemutaran klip-klip radja. Majalah-majalah anak muda menghiasi kover depannya dengan foto personil band kampung ini, hingga memuat liputan-liputan terhangatnya. Wajah Ian kasela, vokalis band radja, yang lebih mirip tukang pijat tuna netra daripada vokalis band rock, menghiasi seluruh tayangan infotainment yang memuat berita tentang kontroversi dia dan band kampungnya.
Album “untuk semua” yang baru dirilis band kampung ini pada maret 2007 lalu (konon) meraih double platinum hanya dalam hitungan minggu untuk penjualan diatas 300.000 copy. Sedangkan rekan sesama band norak, kangen band, menembus angka 153.000 copy untuk penjualan album pertama mereka yang demi tuhan, saya tak tega mendengarnya. Angka yang cukup mengagetkan untuk sebuah band baru apalagi untuk band norak dan kampungan seperti mereka. Ditambah lagi ternyata nama band kampung ini sudah lebih dulu dikenal karena penjualan album bajakannya sebelum mereka di-sign Warner music Indonesia. Hey..apa yang terjadi dengan kondisi industri musik di negeri ini?? Apakah memang kangen band dan radja lebih mewakili selera musik masyarakat Indonesia umumnya?? Ataukah masyarakat Indonesia lebih menyenangi lagu-lagu pop melayu menggelikan seperti itu?? Sampai kapan kita akan terus dibayang-bayangi oleh karya-karya buruk yang terus saja didukung media lokal?? ah..sungguh memprihatinkan, mengingat banyak talenta-talenta dengan musik yang berkualitas diluar sana. Sementara raksasa-raksasa label musik terus saja memanfaatkan selera pasar yang homogen, dan terus saja melakukan pembodohan melalui pendengaran kita.
Wenz rawk, editor majalah musik ternama Rolling Stones, dan juga manager dari band new wave The Upstairs, dalam sebuah kesempatan wawancara menyatakan “sebenarnya selera masyarakat musik Indonesia sudah baik, hanya saja diperburuk lagi dengan adanya radja”. Sebuah komentar pedas yang memang pantas apabila diucapkan orang-orang berkompeten seperti dia. David Naif bahkan sempat berkomentar “Tega bener, mau dikemanain musik Indonesia . Kangen Band…please deh!, jangan band-band kayak gitu lagi yang dikeluarin” (kapanlagi.com). Hampir senada dengan Wenz rawk serta David Naif, gitaris dari band screamo Uncle James, Ari, dalam sebuah perbincangan ringan dengan saya, dengan santainya mengatakan “kalo pengen bikin band tenar di Indonesia ini gampang aja…bikin aja band yang senorak-noraknya… bikin lagu norak, nama band norak, pake baju norak, pokoknya semuanya serba norak. Pasti bandnya bakal terkenal”. Ungkapan kekesalan yang lebih pada ketidakpuasan dari seorang pelaku musik, akan kondisi industri musik di negeri ini.
-x-