“Aku berasa tua dengar lagu ini,” kata Anggi Satoko Saputro mengomentari lagu yang sedang dimainkan Laquena, “Liriknya masih tentang ‘pacaran’, itu lagu lamanya kan?”
Saya lupa judulnya, tapi kami
sama-sama pernah mendengar lagu itu hampir 1 dekade lalu. Laquena adalah aksi
pop-punk yang muncul di dekade 2000an, saat demam pop-punk tengah melanda
Jogja. Seangkatan dengan My Pet Sally, trio pop-punk yang juga bervokalis
perempuan.
Ternyata Satoko tak sendiri
merasa menua.
“Aku baru sadar kalo Eeng (Rachel
Vla) udah kayak tante-tante,” kata Doni, bassis Es Nanas di jeda lagu pertama.
“Dan aku juga baru sadar kalo Doni sudah gak minum alkohol,” ujar Leo, gitaris
Es Nanas menimpali.
Malam ini (23/4) kami berada di
Roots Cafe, Sagan. Sebelumnya, di siang hari Satoko mengirim pesan ke saya,
“Nanti malam Es Nanas manggung. Nonton yuk!” Tentu saja langsung saya iyakan.
Es Nanas adalah salah satu band Jogja kesukaan saya. Dulu saya sering menonton
pertunjukan mereka dan pernah sepanggung beberapa kali. Dan setelah nyaris satu
dekade menyaksikan pertunjukan terakhir mereka, malam ini kami menyaksikan Es
Nanas lagi.
Tak berformasi lengkap, Es Nanas
hanya tampil bertiga: Rachel (vokal), Leo (gitar) dan Doni, eks-vokalis
Seventeen dan bassis Es Nanas dari formasi pertama, yang kembali ke posisinya.
Es Nanas juga dibantu oleh Vian yang bertugas mengisi pasokan suara drum pada
beberapa lagu. Mereka memainkan set panjang, kurang lebih 1 jam. Menurut
pengakuan Leo, awalnya mereka akan memainkan 13 lagu, tapi waktu latihan yang
singkat tak memungkinkan untuk dimainkan semuanya. Jadwal pementasan Es Nanas
ini terbilang dadakan, baru datang 3 hari lalu. Rachel yang sudah tinggal di
Jakarta lantas datang ke Jogja dan latihan dengan Leo, Doni dan Vian hanya
dalam 1 hari.
Di sesi awal Es Nanas mengkover
lagu-lagu milik The Cranberries dan Alanis Morissette, lagu-lagu yang sering
dibawakan di panggung-panggung awal mereka. Lantas memainkan lagu-lagu mereka
sendiri di sesi kedua, seperti “Ex-Man”, “Janji” dan “Kunang-kunang”.
Di tengah set, sempat terjadi jam session dadakan. Beberapa kawan lama
Es Nanas diminta naik ke panggung untuk
jamming. Leo menyebutnya Alamanda session.
Di sesi itu, Leo mengambil-alih mikrophone
dan menyanyikan “With or Without You ” dan “Love Song” sedang Rachel duduk di
bangku penonton dan menyoraki Leo yang bernyanyi dibawah pengaruh alkohol.
Alamanda yang dimaksud Leo adalah
nama studio musik yang cukup tersohor di dekade 2000an. Banyak nama-nama populer
yang tercatat dalam komunitas Alamanda. Selain Es Nanas, ada The Rain, Newdayz,
Shaggydog, dan Eross Sheila on 7. Dalam banyak kesempatan, gigs memang menjadi ajang reuni. Malam ini beberapa orang dari komunitas
Alamanda itu datang. Termasuk Memet, Bandis dan Raymond dari Shaggydog. Banyak perubahan
yang terlihat pada “orang-orang lama” itu, beberapa tampak lebih subur, namun ada
juga yang terlihat lebih kurus dan segar dan tak lagi minum alkohol. Rachel pun
terlihat lebih anggun malam ini.
Lantas kami? Sepasang kawanua yang -seperti kebanyakan pengunjung Roots Cafe malam ini- datang demi menyaksikan Es Nanas lagi? Hmm.. secara fisik
tak banyak perubahan. Oh okay, saya sedikit berisi dan mulai membuncit. Dan
kami sudah tak lagi terlihat berantakan. :D
Saya kerapkali tak menyadari
bahwa usia saya sudah menyentuh 28. Sudah melewati usia keramat dalam Rock & Roll. Berbeda dengan Satoko,
saya belum menikah. Mungkin itu alasan utama kadang saya merasa masih 18. Atau
mungkin karena tak banyak tuntutan dari ibu saya, selain ingin saya mendapatkan
pekerjaan tetap. Mungkin juga karena saya masih mendengarkan musik yang sama
atau bahkan musik yang lebih liar. Meski saya tak lagi seliar dulu.
Saya mengenal Satoko hampir 10
tahun lalu. Band saya, Lowbatt, sepanggung dengan bandnya Jam Dinding di malam
pergantian tahun 2004/2005. Malam itu tak ada yang lebih menarik bagi saya,
selain band dengan vokalis perempuan berwajah jepang, berkacamata, yang
mengenakan rok kotak-kotak dan menyanyikan Metallica.
Di era itu Satoko masih berseragam
putih-abu-abu. Era dimana saya masih setia dengan cinta pertama saya (gitar).
Era dimana obrolan di komunitas kami lebih banyak seputar sound, gigs dan band-band
idola. Era dimana kami tahu alamat semua studio musik di Jogja dan jamming tengah malam adalah hal paling
menyenangkan di dunia. Era dimana warung burjo adalah tempat yang wajib
dikunjungi selepas pentas. Dan era dimana saya belum pacaran lantas sedikit
menjauh dari teman-teman. :D Maaf kawan, belakangan saya sadar bahwa ngeband
memang jauh lebih produktif dan lebih seru ketimbang pacaran. Hidup pertemanan!
:D
Semenjak panggung malam tahun
baru itu, saya lalu mengenal Satoko lebih jauh. Dia menjadi teman setia nge-gigs (termasuk menyaksikan Es Nanas)
hingga teman curhat. :D Sahabat susah-senang. Di suatu pagi, saya pernah
mengantarnya ke sekolah dan di pagi lainnya di akhir pekan, dia bisa tiba-tiba
muncul di kos saya dengan gitar akustiknya dan memainkan lagu yang baru ditulis
pada malam sebelumnya.
Kini kami tak bisa lagi bertemu
seintens dulu. Tak bisa lagi mendatangi gigs
yang menghadirkan idola kami. Satoko sudah semakin dalam menyelami dunianya: menjadi
istri yang baik bagi Sapto dan ibunda yang baik bagi Lintang dan Nada, sambil sesekali
menjahit membuat boneka dan bekerja paruh waktu di sebuah kedai di utara Jogja. Maka momen-momen seperti malam ini adalah momen langka yang saya nanti.
Obrolan kami pun tak lagi sama,
tak lagi seputar gigs. Kadang
menyentuh politik dan isu yang sedang menghangat di negara ini *tsaaahh*, tapi
lebih banyak soal pekerjaan, tentang aktifitas Satoko di komunitas penyayang binatang
dan tentang keluarga kecilnya, dan hmm.. tentang jodoh (saya). :D
✕
Tidak ada komentar:
Posting Komentar