Kami tiba di Pampangan saat takbir jumat sudah dikumandangkan. Sebagai ibukota kecamatan pampangan cukup ramai. Ada indomaret dan alfamart, juga bank BRI. Sepanjang jalan utama, di depan rumah warga ada rumah-rumahan (serupa kotak surat) bertuliskan GSI di atasnya. Kependekan dari gerakan sayang ibu lomba yg diikuti desa Pampangan setahun lalu.
Sebelum memasuki pampangan kedua mata saya sudah dimanja hamparan lebak (rawa) yang begitu luas. Jadi saat tiba saya langsung menuju belakang rumah Ayuk Cici yang menghadap ke sungai komering dan hamparan lebak itu. Kerbau-kerbau hitam besar menemukan rumahnya di sana. Pun ikan-ikan. Tak perlu mendayung jauh untuk menangkul ikan, cukup dari belakang saja.
Sungai Komering yg melintasi pampangan cukup lebar. Sekitar 70an meter. Ada 6 rumah di seberang sana. Diantara rumah-rumah itu tiang bambu berbendera partai gerindra tertancap. Seru nampaknya, kemana-mana penghuninya harus naik perahu atau ketek. Tapi untuk mandi dan menangkul ikan bisa dari tangga depan rumah saja.
Tempat ini begitu tenang. Saya termenung sejenak lantas bersiul melodi lagu belum berjudul. Mungkin tempat ini termasuk tempat yang -dibilang dahlan iskan- harusnya bisa melahirkan berkoli-koli puisi. Tempat setenang ini juga harusnya bisa melahirkan berpikul-pikul senandung rindu.
Di Pampangan pula akhirnya saya mencicipi
masakan Ayuk Maya! Meski masih.. Hmm.. Ya begitulah. Maya bahkan tak tahu nama
sayur yang dia masak. Mungkin lebih lemak menikmati masakannya di rumahnya di Klaten
sana.
Di sini saya mencoba lebih banyak makanan khas Palembang. Pempek, tekwan dan model terlalu mainstream. Saya mencoba bogro! Tepung beras yang didadar-gulung dan disiram santan. Pas juga untuk sore-sore. Saya mencoba bogro di desa Berkat, 30 menit perjalanan ojek dari Pampangan lewat jalanan berlubang yang baru saja diaspal 6 bulan lalu.
Berkat juga terletak di pinggir sungai Komering yang bermuara di selat Bangka. Berbeda dengan desa-desa di pantai timur, mayoritas penduduk berkat berprofesi sebagai petani. Jika tidak sedang musim tanam dan panen kita bisa menemui penduduk dengan mudah. Sebagian bercengkerama di depan rumah (kebanyakan ibu-ibu), sebagian remaja dan anak-anak bermain biliar di meja 6 kaki, sebagian bermain kartu dan domino, sebagian lagi sibuk dengan togel. Iya, togel!
Saya sedang bersama seorang ibu warga desa saat anaknya datang berseru, "Ooo maa.. Ada yang mo pasang nomor!"
Di sini saya mencoba lebih banyak makanan khas Palembang. Pempek, tekwan dan model terlalu mainstream. Saya mencoba bogro! Tepung beras yang didadar-gulung dan disiram santan. Pas juga untuk sore-sore. Saya mencoba bogro di desa Berkat, 30 menit perjalanan ojek dari Pampangan lewat jalanan berlubang yang baru saja diaspal 6 bulan lalu.
Berkat juga terletak di pinggir sungai Komering yang bermuara di selat Bangka. Berbeda dengan desa-desa di pantai timur, mayoritas penduduk berkat berprofesi sebagai petani. Jika tidak sedang musim tanam dan panen kita bisa menemui penduduk dengan mudah. Sebagian bercengkerama di depan rumah (kebanyakan ibu-ibu), sebagian remaja dan anak-anak bermain biliar di meja 6 kaki, sebagian bermain kartu dan domino, sebagian lagi sibuk dengan togel. Iya, togel!
Saya sedang bersama seorang ibu warga desa saat anaknya datang berseru, "Ooo maa.. Ada yang mo pasang nomor!"
Tidak di Ternate, tidak di
Jogja, tidak di Banjarmasin, tidak di Pantai Timur Sumatera sama saja. Togel
mewabah sampai jauh ke kampung-kampung.
2 komentar:
Ndak katek togel, ndak seru !
Hahahs :D
Ndak katek togel ndak seru !
Hahaha :D
Posting Komentar