Betapa beruntungnya kami, saat berada di Kantumilena warga setempat –yang kebanyakan berprofesi sebagai petani—sedang panen Matoa. Alhasil, buah yang paling sering kami cicipi adalah matoa, bukan pinang. Setiap pagi mama-mama yang bertugas memasak makanan kami membawa 1 ember penuh matoa yang selalu habis di hari yang sama.
Matoa selalu jadi
rebutan. Siapa yang telat makan siang, bisa dipastikan
dia tak kebagian matoa, kalaupun kebagian itu hanya sisa-sisa. Saya tak tahu
apakah matoa juga tumbuh di pulau selain Papua, yang pasti ini pertama kalinya
saya mencicipi matoa.
Matoa berbentuk bulat seukuran langsa, namun isinya mirip rambutan. Dan rasanya mirip rambutan campur durian. Mendekati rasa durian. Eh, bukan. :D Ah, susah menjelaskannya. Tapi itulah rasa matoa. Spesial.
Buah spesial dari tanah
spesial.
Saking spesialnya, Yasin,
seorang kawan asal Palembang membawa pulang beberapa biji matoa dan berniat
untuk menanamnya di tanah Sumatera. Suatu saat
nanti, jika ada juragan matoa asal Palembang, boleh jadi itu Yasin. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar