Kumpulan pinang, sirih dan kapur ini di Sumba Timur disebut Pahapa, sedang di Sumba Barat disebut Pamama.
Menurut pendeta Petrus, di Sumba, menyuguhkan Pahapa/Pamama adalah
simbol penghormatan dari tuan rumah ke sang tamu. Karenanya saat pertama kali
tiba di Praihambuli (Sumba Timur), Bapa Desa yang menyambut kami dengan Mama
Desa, serta kawanan anjing dan babi, menyuguhkan Pahapa. Kami semua mencobanya,
meski saat itu hanya ada pinang kering tanpa sirih dan kapur. Saya mengambil
dua keping pinang kering dan mencoba satunya: Sepet! Dan langsung
membuangnya, keping satunya lagi saya kantungi di celana jeans yang tak saya
cuci selama 2 minggu di Sumba. Setiba di Jogja kepingan pinang kering itu masih
ada di
saku yang sama dan masih saya simpan.
Perjumpaan kembali
dengan Pahapa terjadi di rumah pendeta Petrus masih di
Praihambuli. Karena tak enak setelah setelah dijelaskan makna
Pahapa akhirnya saya mencobanya. Kali ini lebih baik
karena ada sirih dan kapur. Rasa sepet pinang kering bercampur dengan rasa
kapur dan sirih, membuat saya lebih menikmati. Dan saat saya meludah: Merah! Untuk
pemula seperti saya, bagian paling seru dari sesi makan pinang adalah saat
melihat ludah kita berwarna merah. :D Saya mencoba lagi, dan lagi, dan
mengabadikan foto wajah dengan bibir merah sebagai bukti saya telah
mencicipi pinang. :D Pak pendeta Petrus sang tuan
rumah, tampak senang melihat kami menikmati pahapa.
Sesi makan pinang
kembali terjadi di Tana Rara, di rumah Martin Routa Bili, keluarga pertama yang
saya kunjungi. Selain menyuguhkan kopi, istri Pak Martin juga menyuguhkan Pamama –yang
kali ini dengan buah pinang yang tidak dikeringkan dan tidak dipotong kecil
seperti di Sumba Timur alias buah pinang utuh. Karena terlalu bersemangat saya
pun langsung mencicipi pamama, dan hasilnya: selain ludah berwarna merah saya
pun mabuk!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar