Terima kasih Gelakoko dan Ketoka, karena 2 kampung itu, citra babi yang selama ini ditampilkan jorok di Shaun the Sheep sedikit terdistorsi. Di Gelakoko saya mendapati kawanan anak babi (seukuran celengan) berwarna putih berkejaran-kerjaran dengan lucunya. Macam kartun. Sedang di Ketoka saya menyaksikan seekor babi besar yang dipotong untuk makan bersama di perkawinan adat Sumba.
Tak seperti menyembelih
sapi, kambing, atau ayam yang pernah saya lihat. Pemotongan
babi caranya sungguh unik –setidaknya bagi saya. Babi yang
masih hidup kedua kakinya diikat pada sepotong bambu, lantas 2
orang memegang kedua sisi bambu dan mengangkatnya setinggi bahu. Babi sudah
dalam posisi berdiri, dan sang penjagal hanya perlu satu tusukan parang tajam
yang langsung menghujam ke jantung babi. SLEB! Babi besar itu pun mati. Setelahnya
babi itu dibelah, dikeluarkan isi perutnya, lantas dibakar. Babi
yang sudah dibakar kemudian dipotong kecil, ada yang dibagi ke
keluarga/tetangga, ada yang selanjutnya diolah lagi untuk disantap bersama.
Sayangnya setelah momen
itu saya tak tahu lagi. Saya langsung berpamitan dengan bapak Rivan yang punya
hajatan, dan kemudian ditahan seorang ibu yang juga tuan
rumah dengan pertanyaan: “mas, tidak makan babi sama-sama?" :D
Babi yang dipotong tadi
itu adalah belis atau mas kawin dalam perkawinan adat Sumba. Selain babi, ada
pula kuda –yang hari itu mencapai 7 ekor, seekor kerbau, ye/ingi (kain tenun
sumba) dan beberapa bilah parang sebagai belis. Jika yang menikah adalah
keturunan bangsawan, jumlah ternak itu bisa mencapai angka puluhan ekor. Perkawinan Sumba ini pun bisa berlangsung hingga
3-4 tahap: tahap menyatakan cinta (serius!), tahap lamaran dan tahap ‘menjemput
pengantin wanita’. Kurang lebih seperti itu. Dan semua
tahap menggunakan belis.
Yang menarik pula dalam
perkawinan adat sumba, semua yang hadir baik tamu maupun tuan rumah menggunakan
kapouta (ikat kepala) dan ingi dengan parang terselip
untuk lelaki sedang kaum perempuan menggunakan kain (sarung) ye.
Tak berpartisipasi dalam
pesta babi, di hari terakhir kami di sumba, kami memutuskan pesta kambing. Bang
Eddie dan Suki yang bertugas menyembelih dan menguliti kambingnya. Dilihat dari
keahlian mereka, jika sedang menganggur sebagai asisten peneliti mereka sudah
punya pilihan pekerjaan lain. :D
Di malam terakhir kami di Tana Rara, Bapa dan Mama Desa ternyata sudah menyiapkan acara perpisahan untuk kami. Seorang intruktur tari didatangkan malam itu untuk mengajari kami menari (Ya, Tuhan. Saya lupa nama tariannya!). Dengan iringan gong yang mengalun bertalu-talu dari tangan beberapa pemuda, sesi menari pun dimulai. Sungguh mengasyikkan, karena semua perempun di tim kami, juga mama desa dan anaknya ikut menari.
Di malam terakhir kami di Tana Rara, Bapa dan Mama Desa ternyata sudah menyiapkan acara perpisahan untuk kami. Seorang intruktur tari didatangkan malam itu untuk mengajari kami menari (Ya, Tuhan. Saya lupa nama tariannya!). Dengan iringan gong yang mengalun bertalu-talu dari tangan beberapa pemuda, sesi menari pun dimulai. Sungguh mengasyikkan, karena semua perempun di tim kami, juga mama desa dan anaknya ikut menari.
Bang Eddie Jalirni –yang
oleh warga Tana Rara diberi nama sumba Bili- juga didaulat menari. Tarian yang
kali ini khusus lelaki masih diiringi gong dengan irama yang sama. Tapi sambil memegang parang. Macam Cakalele di Maluku. Karena terlalu berresiko, bang Eddie hanya mengikuti satu sesi, lantas diganti 3 orang
pemuda yang menari rancak dan lincah dengan parangnya. Bang Eddie
memang paling disenangi. Sesaat sebelum pulang dia diberi kain ye oleh warga, sedang
kami harus membeli di Waikabubak.
Setelah sesi menari yang
menjadi perhatian warga sekitar itu berakhir, beberapa perangkat desa yang
malam itu juga hadir terlihat duduk bersama dengan kami dan Bapa Desa. Ini
sesi minum-minum. 1 teko peci –alcohol produksi
lokal macam cap tikus atau saguer atau sopi—dihidangkan di atas meja dan
diminum ala tongkrongan: dengan seorang bandar yang menakar sama
peci dalam 1 gelas dan digilir ke semua orang. Sebagai tola-tola (istilah Ternate untuk cemilan saat minum alkohol) ada daging kambing yang kami potong di siang
hari. Karena tak minum alkohol, saya hanya minum kopi
dan mencoba memahami obrolan mereka yang lebih banyak berbahasa Sumba. ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar