“Sekarang sedang dibuka jalan di atas sana,” kata Barnabas Demena sembari menunjuk ke bukit di atas Kantumilena, “Nanti kalau anak kembali lagi ke sini sudah bisa lewat jalan darat.”
Kantumilena (kini bernama Endokisi) adalah kampung di distrik Yokari, kabupaten Jayapura. Untuk mencapai Kantumilena, dari kota Jayapura bisa ditempuh lewat jalur darat selama kurang lebih 2 jam menuju Depapre, lantas dilanjut menggunakan jonson (perahu motor) selama 30 menit. Belum ada jalan darat yang langsung mencapai Kantumilena, hingga kampung yang ada di pesisir utara Papua itu terkesan seperti ada di lain pulau.
Selain akses yang masih sulit, Kantumilena, dan juga banyak tempat lain di pulau terkaya itupun belum tersentuh PLN. Malam-malan di Kantumilena hanya diterangi bulan, bintang-bintang, dan pelita-pelita yang menyala di rumah-rumah penduduk. Genset milik kampung hanya difungsikan tiap kali ada kebaktian dan pertandingan sepakbola Persipura yang ditayangkan TV lokal. Kalaupun punya genset sendiri, cukup berat untuk memakainya tiap hari karena harus membeli bensin/solar untuk bahan bakar.
Namun Barnabas sepertinya tak protes dengan keadaan kampungnya, padahal anaknya Hendrik yang duduk di bangku SMP, harus menghabiskan 10.000 rupiah untuk ongkos sekali naik jonson tiap hari, karena Hendrik bersekolah di Depapre. Barnabas hanya seorang petani, dan sesekali melaut jika cuaca sedang bersahabat. Dan istrinya, selain guru PAUD/TK juga seorang pengrajin noken (tas anyaman asli Papua) –yang pernah mendapat pelatihan kerajinan tangan di Jogja mewakili distrik Yokari.
Barnabas dan juga warga lain antusias menyambut hadirnya jalan di bukit itu, seperti mensyukuri perubahan-perubahan kecil yang akan terjadi pada kampungnya.
Harapan tak pernah padam di hati orang-orang seperti Barnabas –dan akan lahir berkali seiring terbukanya jalan darat yang akan menghubungkan Kantumilena dengan dunia luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar