13 Agustus 2013

Bermula dari Album Hitam


Saya beranjak remaja di saat industri musik tengah mengalami pergantian musim. Ska yang meledak di akhir 90-an perlahan meredup diinvasi rap rock/nu metal dengan Limb Bizkit dan Linkin Park sebagai pemain utama. Hybrid Theory begitu populer, termasuk di kota asal saya, Ternate. Banyak teman sekolah saya mendengarkan Linkin Park, menyanyikan “In The End” di kelas dan meng-cover lagu itu dengan band mereka, bahkan menata rambut mirip Mike Shinoda. Tapi tidak untuk saya.

Sebagai rocker kelas kabupaten di wilayah timur yang belum begitu dekat dengan internet, pengetahuan musik saya sangat terbatas. Apa yang saya tahu hanyalah apa yang disajikan MTV, radio-radio lokal dan majalah Hai. Alhasil, di era itu kami nyaris dikepung rap rock/nu metal. Beruntung saya mengenal beberapa kawan dengan selera musik yang tidak umum. Selera yang lebih tua. Ya, jiwa-jiwa muda kami berselera tua.

Sejak SMP, oleh teman sekomplek rumah saya dikenalkan dengan Bob Marley & the Wailers, Nirvana dan Guns N’ Roses. Saat SMA, saya akrab dengan teman sekelas yang punya koleksi puluhan kaset (hal yang bagi saya cukup keren kala itu). Namanya Adi. Dulunya, salah satu ruang di rumahnya dimanfaatkan untuk stasiun radio. Saat radio itu harus tutup, banyak koleksi kaset yang diwariskan padanya.

Dari kawan bernama Adi inilah pengetahuan musik saya bertambah. Saya meminjam beberapa koleksi kasetnya, yang nantinya tidak pernah lagi saya kembalikan. Meminjamkan kaset bagus ke orang lain itu hal bodoh, tapi lebih bodoh lagi mengembalikan pinjaman kaset itu. :D

Kaset-kaset pinjaman itu diantaranya: Nevermind dari Nirvana, album kompilasi milik The Beatles dan Van Halen, dan... The Black Album!

Di saat yang sama, saya juga tengah belajar bermain gitar. Saya memasukkan “Sweet Child O’ Mine” dari Guns N’ Roses dan “Nothing Else Matters” dalam materi awal yang harus saya pelajari. Sebagai pemula, tentu saja saya mencari lagu yang lebih mudah dimainkan.

Maka, Black Album pinjaman itu pun saya “siksa”. Berkali-kali saya rewind di lagu “Nothing Else Matters” saja. Putar. Rewind. Putar lagi, Rewind lagi. Rewind di bagian interlude. Rewind Lagi. Berkali-kali hingga saya hafal betul dan bisa memainkannya dengan lancar.

Tape deck milik ayah saya dwifungsikan sebagai amplifier. Ya, selain untuk memutarkan Black Album, saya juga menyambungkan gitar elektrik merek Prince di colokan mik tape deck itu. Dan bergayalah saya bak rockstar –terlebih di bagian solo gitar. :D

Percayalah, bagi seorang pemain gitar pemula, solo gitar adalah bagian paling agung dalam sebuah lagu. Bagian yang orgasmik. Yang akan dimainkan hingga mata tertutup penuh hayat.

Selain untuk kesenangan pribadi, “Nothing Else Matters” menjadi senjata andalan saya saat bermain gitar di tongkrongan (sepaket dengan lagu-lagu band lokal seperti Slank).

Metallica adalah salah satu alasan saya semakin mencintai gitar dan membuat band –meski akhirnya gagal, setidaknya saya pernah memulai dan merasakan serunya menjadi anak band.

Black Album menjadi jembatan bagi saya untuk mengenal Metallica lebih jauh. Mendapati Metallica yang lebih agresif di era Kill ‘Em All. Dan Black Album jua lah yang menjadi jembatan bagi saya mengenal band-band heavy metal/thrash metal yang lain.

Bang-band keren boleh datang silih berganti mengisi playlist. Namun Metallica tak pernah beranjak. Tiap kali mendengar Black Album, sensasi yang saya rasakan masih sama. Bedanya, karena kali ini tak ada gitar, maka saya melakukan air guitar tiap kali mendengar solo-solo yang menggigit.

Menurut idola saya yang lain, “Band terbaik yang pernah kamu dengar di hidup kamu adalah band yang selalu kamu dengarkan saat remaja.” Maka di hidup saya, band itu (salah satunya) Metallica. \m/

ditulis sambil mendengarkan Black Album.