03 September 2014

Pulang

---- untuk AL

Begitu pulang, hal pertama yang saya lakukan adalah menghitung kembali jumlah kawan masa kecil yang tersisa. Ipi baru saja menikah. Menyusul Lika yang sudah menikah beberapa tahun lalu dan Akil dua tahun silam. Lika dan Akil masing-masing sudah punya anak 1, Ical bahkan sudah 2 dan kini menetap di Bacan. Ipi juga di Bacan. Yang belum menikah hanya Kamu, Mahdi dan Budi. Ya, tapi Kamu sudah lama menetap di Jailolo dan sesekali Pulang ke Ternate, sedang Mahdi baru saja bekerja di Weda.

Begitu di Jogja, saat bekerja maupun luang saya selalu merasa bahwa saya adalah orang yang sama dengan 10 tahun lalu. Tapi begitu pulang, saya sadar bahwa banyak hal yang saya temui tak lagi sama. Semakin banyak kawan masa kecil menikah berarti semakin sedikit teman yang bisa diajak bercerita sepanjang malam saat Ramadhan. Juga tak ada lagi pintu yang bisa saya tuju saat saya masih begadang. Tak hanya kawan, BTN pun sudah berubah.

Mudik adalah jembatan menuju masa lalu. Saatnya berbagi cerita. Ramadhan adalah momen dimana Mama akan memasak makanan yang –entah kenapa- hanya ada di tiap bulan istimewa itu dan hanya pada saat sahur dengan rasa yang selalu sama. Juga momen dimana Mama akan bercerita dengan berseri-seri tentang masa kecil beliau yang seru di Auna dan kala beliau menjadi gadis penjual ketupat favorit Mama-Mama Kailolo di Pasar Gotong Royong Ambon (kini Ambon Plaza). Juga saat Papa akan membawa kami keliling kota sore-sore –tradisi sejak kami di Masohi. Setelah Papa tiada, kebiasaan tersebut juga ikut hilang. Hal lain yang biasanya dilakukan Papa tiap Ramadhan adalah menyalakan pelita dari bambu/botol kaca saat malam Ela-ela (malam ke-27 Ramadhan). Kali ini Mama yang menggantikan peran Papa. Tetangga-tetangga kami di BTN pun masih melakukan hal yang sama. Indah sekali. Ini hal yang belum hilang di BTN.

Ingatan saya juga melayang ke malam-malam kita di teras rumahmu, di leger pojokan jalan depan rumah dan ruang tengah rumah kami. Kita masih terjaga saat kompleks ini sudah sunyi dan bercerita hingga Gendang Sahur terdengar di rumah sebelah. Saya lebih banyak mendengar, sedang kamu bercerita apa saja. Mulai dari kegiatanmu di Jailolo, sepak bola, hingga tentang pilihanmu untuk memperdalam agama. Dan tiap kali Ibumu memanggil pulang, kamu punya alasan ampuh supaya kita masih bisa berlama-lama: “Ada deng Ecal.” Ibumu tahu saya jarang pulang, dan membolehkan obrolan malam itu tetap berlanjut.

Dan kamu pun tahu kapan pertemuan malam itu harus berakhir: saat saya pamitan dengan alasan hendak makan, “Rabu-rabu saja.” Kamu sudah hafal betul bahwa saya tak akan kembali.

Momen pulang kampung kali ini kita bertemu di malam terakhir Ramadhan. Malam itu saya bertanya jam dan kamu menjawab, “Baru jam 12.” Padahal sudah jam 2. Kamu sengaja supaya kita bisa berbagi cerita lebih lama lagi. Karena ternyata, malam itu satu-satunya malam kita bertemu tahun ini.

Pulang tak hanya sebuah momen bagi kita untuk berkumpul dengan keluarga, nostalgia mengais masa lalu dan menyadari bahwa banyak hal tak lagi sama. Tapi juga momen yang mengharuskan kita agar menyiapkan satu ruang untuk kehilangan. 


Kapal Sinabung, Pelabuhan Ambon, 18 Agustus 2014.