19 Januari 2014

Yang (tak) Terlewatkan: Ayuk Maya!


Caca berkerudung merah jambu itu ialah Ayuk Maya. Nama yang beberapa kali muncul dalam Catatan Perjalanan Selatan Sumatera ini. Dialah yang saya sebut perempuan jawa ayu, yang kadang perayu. Yang merah jambu dan pemalu serupa teratai di Pulau Layang. Yang kalau malu-malu suka menutupi wajahnya dengan apa pun. Yang rajin. Yang bangun paling pagi. Yang bisa memasak. Yang tahu kapan saat yang tepat menyuguhkan kopi nikmat. Dan yang terkenal di pasar Pampangan! :D

Saya suka senyumnya. Dan suka sekali melihatnya malu-malu.

Namanya Pratiwi Dwi Suhartanti. Perempuan jawa ayu asal Pedan.

Pedan. Entah ada di bagian mana Pulau Jawa, Pedan itu. Apakah sepelosok Kuala Dua Belas? saya belum tahu. Tapi Maya begitu sering menyebut Pedan. Sesering Dahlan Iskan menyebut Kerja! Kerja! Kerja!

****

Begitu tiba di rumah Aiman siang itu kami berfoto berdua. Ibunda Aiman yang kebetulan ada di ruang yang sama melihat hasil foto kami dan berkomentar, "Mirip foto suami istri yang sudah punya anak 2."

Ah, senang sekali mendengarnya! Haha! :D

"Mas Ical mirip Om-om ya bu?" tanya Maya ke ibunda Aiman.

"Iya, mirip bapak-bapak. Bapaknya anak-anak." kata ibunda Aiman lagi sambil tergelak.

Tentang "om-om" dan "bapak-bapak" itu saya tidak setuju. Saya selalu merasa masih 20. Tapi entah kenapa senang sekali mendengar komentar ibunda Aiman. :D

Rasanya saya belum pernah menulis blog semacam ini. :D

Sayonara Sumatera


Senin (13/1) pukul 7 pagi kami meninggalkan Pampangan. Menumpang bis jurusan Tulung Selapan - Palembang yang pagi itu sudah parkir di depan rumah makan minang "Family". Kurang lebih 2 jam perjalanan menuju Palembang. Macam tak peduli dengan jalanan jahat sepanjang perjalanan, supir pagi itu memacu kencang bis seolah malaikat maut sudah membuntuti di bumper belakang. Saya duduk di barisan bangku paling belakang hingga bisa merasakan betul goncangan bis ketika melewati jalanan jahat. Goncangan yang bisa membuat ibu-ibu yang sedang hamil tua brojol di tempat.

Bis tiba di terminal Jakabaring pukul 9, dan kami lantas mengganti angkot untuk menuju rumah Aiman di Perumnas Sako. Senang bisa kembali ke rumah Aiman. Ibunya ramah nian. Serupa Aiman, ibundanya pun sangat supel. Saya mendapat panggilan keren dari ibunda Aiman: Papua! :)

Masakan ibunda Aiman pun lemak nian. Saya datang ke Palembang dengan perut rata dan pulang ke Jogja dengan perut membuncit dan celana yang kian sesak.

Saat tiba hari itu, Aiman mendengar bahwa saya berulang-tahun. Jadilah ia bersiasat buruk dengan beberapa teman untuk menjadikan saya target lemparan telur dan adonan gandum yang dilakukan di luar rumah dan kamar mandi. Alhasil, selain baju dan handuk saya kotor, dinding kamar mandi pun kecipratan kuning telur. Saya menghabiskan waktu 1 jam untuk mandi dan membersihkan kamar mandi. Saya yang berulang tahun, saya pula yang membersihkan kamar mandi. :D

"Kasian Papua, ulang tahun malah dilemparin telur," kata ibunda Aiman esok paginya saat saya mencari baju kotor bekas lemparan telur, "Itu baju kamu sudah ibu cuci. Anggap saja itu hadiah ulang tahun dari ibu."

Ah, manis nian ibunda Aiman.

Saya akan merindukan beliau, tentu Aiman juga. Dan merindukan keramahan di rumah itu.

Juga merindukan setiap keramahan yang kami temui selama 40 hari di selatan Sumatera: keramahan perkampungan Pantai Timur, keramahan perkampungan tepi sungai. Keramahan yang harusnya bisa melahirkan berpikul-pikul senandung rindu.

Tentu saja saya akan merindukan makanan a la sungai. Merindukan masakan dan kopi nikmat bikinan ayuk Maya. Merindukan suara-suara ketek yang hilir-mudik di sungai. Merindukan dialek melayu dan cara memanggil orang dusun. Juga merindukan "yaooo..." dan "cak itulah". Lalu "lajulah".

Dan merindukan kalian. Satu-satu.

16 Januari 2014

Tebing


Tak ada ketek ke Serdang siang ini (8/1). Saya terlambat, ketek menuju serdang telah bertolak dari bom (dermaga) Pampangan beberapa saat lalu. Hanya ada 1 ketek lagi, tapi hanya sampai ke Tebing: ketek yang berfungsi sebagai taxi bagi anak-anak sekolah dari Tebing. Tebing juga termasuk desa Serdang, hanya masih 30 menit perjalanan lagi untuk mencapai dusun 1 Serdang. Sembari menunggu ketek yang mungkin ada, saya memotret anak-anak SD asal Tebing tadi di dermaga. Siang itu ada pemilik ketek yang menawarkan penyewaan keteknya seharga 60 ribu. Saya menolak.

Seorang pengemudi ojek yang biasa mangkal di depan warung minang “Family” juga menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke Serdang dengan bayaran 40 ribu. Bagi saya kemahalan untuk perjalanan 11 km. “Tapi jalannya jahat nian,” kata ojek itu.

Saya agak berhati-hati. Sebelumnya kami pernah dikerjai: membayar 150 ribu untuk menyewa ketek yang biasanya bisa dibayar 30 ribu rupiah saja. Setelah gagal menawar dan menimbang-nimbang harga dengan kondisi jalan yang sehari sebelumnya tidak diguyur hujan. Akhirnya saya sepakat. OK, lajulah! 40 ribu!

Ojek lantas melaju menuju kearah kecamatan Pangkalampam, lantas masuk melalui jalan setapak kecil yang hanya cukup untuk 1 motor. Melewati jalanan jahat di antara rawa, lewat kebun balam yang berhektar-hektar
luasnya dengan 40 ribu pohon karet berjejer rapih (kata pengemudi ojek, pemilik kebun balam tersebut seorang toke muda kaya raya asal Pangkalampam), lalu ojek kami melewati hutan kecil, lewat kebun karet lagi dan jalanan jahat lagi.

Rasanya ini jalan terjahat yang pernah saya temui selama 40 hari terakhir di selatan Sumatera.

Memang ngeri-ngeri sedap jalan tanah ini. Mungkin jalan ini tak berarti jika dilibas dengan Ford Ranger, tapi kali ini saya menumpang motor bebek dengan ban yang idealnya hanya beroperasi di jalanan aspal.

Saya agak pasrah. Apapun yang terjadi, lajulah. Kemungkinan terburuk kami tergelincir, lalu jatuh. Dan celana saya kotor. Itu saja.

Sekali motor kami melintas di atas jeramba kayu kecil yang disusun dari batang-batang kayu sebesar lengan saya yang kurus ini -yang nampaknya bisa ambruk kapan saja. Sesekali ban belakang motor kami terselip, Dan saya menahan napas berkali-kali saat ojek itu melaju.

Hingga kemudian selepas kebun karet, sebelum membelah luapan rawa yang menggenangi jalan, sang pengemudi ojek berseru, “Nah, itu serdang!”

Fiuuuhhh…

***

Serdang adalah salah satu desa terjauh yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pampangan. Berbatasan sebelah utara dengan Sri Mulya, sebelah selatan dengan Kandis, sebelah barat dengan Pampangan-Ulak Depati dan sebelah timur dengan Deling-Jungkal. Serupa Pulau Layang, Serdang juga dikepung lebak (rawa) luas. Ada 11 titik rawa di wilayah Serdang: Lebak Teluk Padi, Lebak Serdang, Lebak Pare Ulu, Lebak Pare Ilir, Lebak Ujung, Lebak Sengulung Ulu, Lebak Sengulung Ilir, Lebak Batas, Lebak Keret, Lebak Buntuan, dan Lebak Lidah Tanah.

Namun berbeda dengan Pulau Layang, tak banyak kerbau rawa di Serdang. "Dulu ada banyak kerbau di sini, ada ratusan, tapi sudah dijual pemiliknya." kata pak Sumardi, Kades Serdang. Lebih mudah menemui sapi-sapi dibanding kerbau rawa di Serdang.

Saya menunaikan shalat magrib di masid Nurul Iman Serdang, dan memasuki masjid pada saat iqomah. Hanya terisi 1 shaf dengan beberapa orang jamaah. Ternyata ada 1 kolom shaf yang dikosongkan dan saya diminta mengisinya. Karena datang terlambat saya memilih paling pinggir dan mempersilakan para orang tua yang telah datang lebih dulu untuk mengisi bagian kosong itu.

Sepulang dari masjid saya ditegur ibunda pak Sumardi di rumah karena tak mengenakan kopiah saat sholat magrib tadi. Saya jadi ingat Nene Boi di Mangoli, saya pernah ditegurnya sebab shalat dan datang ke pemakaman tanpa mengenakan kopiah.

Ternyata di Tebing saya mengalami hal nyaris serupa. Saat jumatan di masid Al-Muhajirin, pak Kholik memberikan sajadah dan kopiah ke saya lantas memberi tahu agar saya duduk di shaf paling depan dekat dengan imam. Sebegitu ramahkah penduduk di sini? Saya hanya tamu tak penting yang baru datang beberapa menit sebelum bedug jum'at ditabuh.

Jumat siang itu saya menumpang ketek rombongan guru SDN 1 Serdang untuk menuju Tebing. Para guru di SDN 1 Serdang semuanya berasal dari desa lain, jadi tiap harinya guru-guru itu melaju ke Serdang dengan ketek. Ketek dengan dudukan papan patah yang sudah bermuatan 8 orang itu bertambah muatan 1 orang lagi. Alhasil ketek melaju begitu pelan menyusuri lebak.

Pada beberapa titik di lebak antara Serdang dan Tebing bertebaran teratai-teratai putih. Pun di lebak di belakang rumah-rumah di Tebing. Saat tiba di rumah Pak Kholidi, kadus Tebing, saya langsung melongok ke belakang rumah.

"Aer galee.." sahut tetangga pak Kholidi.

Iya, dusun tebing ini memang penuh air dan dibangun di atas rawa. Ada pun sedikit bagian yang ditimbun tanah dan sudah disemen adalah jalan setapak yang membentang sepanjang 100 meter hingga jeramba beton. Sisanya rumah-rumah dihubungkan dengan titian kayu yang tiap kali air pasang atau hujan datang akan terendam.

Tebing secara geografis termasuk dalam wilayah desa Pampangan, namun secara administratif penduduknya tercatat sebagai penduduk Serdang. Kampung di atas rawa ini bermula dari tahun 1953, saat 17 warga Serdang berkongsi untuk membangun sebuah pabrik kayu di tepian sungai Komering. Pabrik kayu yang mereka bangun itu sukses, di tahun 60an masing-masing dari ke-17 orang itu membuka pabrik sendiri. Pabrik kayu di tepi sungai Komering bertambah, rumah-rumah bertambah, penduduk pun bertambah. Tebing kian ramai. Lebu (ampas kayu) dari pabrik kayu dikumpulkan di rawa, dan ditimbun hingga mencapai ketinggian rumah panggung. Dari jauh, timbunan lebu itu tampak seperti tebing tinggi.

Ke-17 "penemu" Tebing itu kini telah tiada, namun kisah mereka masih bisa disampaikan dengan baik oleh Pak H. Safei, tokoh masyarakat berusia 78 tahun yang mendiami Tebing sejak 60an. "Saya negak rumah ni tahun 73. Naik haji tahun 79. Tahun 80-an pabrik-pabrik kayu ini ditutup tentara." Karena dianggap ilegal, pabrik-pabrik kayu yang menghidupkan Tebing itu ditutup. Sebagian penduduk mengubah haluan menjadi petani, sebagian kembali ke Serdang untuk memahat karet.

Sisa-sisa lebu kini masih bisa ditemui di Tebing namun hanya tersisa 1 titik. Lebu dengan tinggi sekitar 1,5 meter dari permukaan rawa dan berdiameter sekitar 50 meter yang kini menjadi tempat bermain untuk budak-budak kecik.

Dari atas lebu itu kita bisa memandang jauh ke Pampangan, juga ke lebak-lebak terjauh. Untuk pertama kalinya, selama 40 hari di selatan Sumatera akhirnya saya menyaksikan senja yang begitu cantik. Begitu syahdu dari atas lebu itu. Rona jingga menyelimuti dari ujung barat lebak hingga ke kolong-kolong rumah panggung di tepian sungai Komering.

Di Tebing pula, untuk kali pertama selama 40 hari di selatan Sumatera akhirnya saya mandi di lebak!


Selain keramahannya, kehidupan masyarakatnya yang dekat dan bergantung pada sungai, hal lain yang membuat Tebing sama dengan desa-desa lain di Pampangan, SP Padang dan Tulung Selapan adalah betapa begitu familiarnya masyarakat dengan togel. Bahkan anak-anak kecik pun paham. Pemilik rumah yang saya tinggali di Tebing adalah agen penjual nomor togel. Dari pagi hingga pukul 11 malam, tamu-tamu datang silih berganti memasang nomor. Banyak bapak-bapak dan ibu-ibu, tapi tak jarang anak-anak kecik pun tiba-tiba muncul untuk menyampaikan pesan nomor dan uang yang dititipkan orang tuanya.

"Saya kerja begini hanya untuk uang rokok, pulsa dan uang bensin saja," kata agen itu, "Kalau untuk makan sehari-hari ya dari mahat itulah." jelasnya yang tiap kali ada nomor yang tembus dia bisa mendapat persenan dari "bos"-nya 15 % juga 10 % dari pemasang nomor.

Di sini, hampir setiap orang percaya terhadap kekuatan angka yang muncul dalam mimpi.

****

Jum'at (10/1) siang saat hendak menuju masjid untuk Jumatan, saya dipanggil oleh seorang anak yang tengah duduk-duduk di depan warung, "Mang!"

Ah, ternyata anak itu 1 diantara belasan anak SD yang saya foto di dermaga.


06 Januari 2014

Tak Sampai Melayang di Pulau Layang

Destinasi kami kali ini Kuro-Bangsal dan Pulau Layang. Ridho dan Kiki ke Kuro-Bangsal sedang saya ke Pulau Layang. Kami bertolak dari dermaga pasar Pampangan kamis (2/1/14) siang pukul 11 dengan ketek yang melaju pelan membelah sungai Komering. Selain kami bertiga, ada penumpang lainnya: ayuk Maya. Kurang lebih 20 menit ketek merapat ke Kuro-Bangsal. Kiki dan Ridho turun, dan penumpang ketek tinggal saya dan Maya.

Ah, senangnya bisa seketek berdua dengan Maya. Meski suara kami harus beradu dengan suara ketek. :D

Perjalanan ke Pulau Layang masih 40 menit menyusuri sungai Komering. Banyak eceng gondok dan teratai cantik yang bertebaran di sungai dan lebak. Ada yang baru tumbuh dan ada pula yang sudah bermekaran.

"Teratai siang ini warnanya merah jambu," kata Maya. "Tapi sayang dia pemalu." Tak ubahnya teratai itu. Selain perayu, Maya pun kadang pemalu. Dan saya suka melihatnya malu-malu. :D

Sewaktu di Palembang, Aiman sudah mengingatkan bahwa pernikahan di dusun tidak mengenal hari. Setibanya kami di Pulau Layang, lagu "Masa Lalu" tengah mengalun dari soundsystem hajatan. Bass! Semua warga sepertinya terpusat di sana. Banyak bapak-bapak dan anak muda yang mengenakan batik dan ibu-ibu mengenakan pakaian muslim. Ini hajatan ke-3 yang saya temui selama di Pampangan dan kawinan ke-2 di Pulau Layang dalam seminggu terakhir. Hajatan di Pampangan dan sekitarnya memang ramai diadakan setelah masa panen.

Pak Herman, kepala desa Pulau Layang juga menghadiri hajatan itu. Rumahnya tampak kosong digembok. "Mau aku panggilkan?" tanya seorang tetangganya. Saya menolak dan memilih menunggu pak Herman di teras rumahnya yang disapu semilir angin pembuat nyenyak tidur siang.

Siang ini saya bertemu dua orang penderita stroke yang masih beraktifitas layaknya orang normal. Pertama pengemudi ketek dari Pampangan tadi, dan kedua Pak Herman.

Pak Herman tinggal di perumahan guru berukuran 6 x 9 meter di komplek SDN 1 Pulau Layang. "Saya tak punya rumah di sini, rumah kami di Palembang." kata pak Herman yang sebelum jadi kepala desa Pulau Layang bekerja sebagai sopir truk pengangkut kayu Palembang-Surabaya.

Saya diajak pak Herman mendatangi pesta pernikahan pukul 22.30 dimana para pelelang bergantian berbagi mikrofon menyanyikan lagu dangdut oldskull yang masih asing di kuping. Pukul 23.00, biduanita berpakaian minim mengambil-alih panggung. Ada 4 penyanyi -1 waria, 3 wanita- dengan goyangan cukup panas.

"OK, DJ remix kita mulai yaaa.." teriak MC pesta mengawali sesi dangdut house.

Pemandangan yang biasanya saya lihat di youtube, kali ini di depan mata. Biasanya pantai utara Jawa, kali ini pantai timur Sumatera. Biasanya OM Sagita, kali ini Orgen Tunggal Cahaya dengan DJ Akep Mania sebagai keyboard jockey. 

Desk DJ Akep Mania tak kalah gemerlap dengan desk-nya Diplo! Penuh lampu, dengan tata cahaya cukup atraktif untuk pesta kelas kecamatan, lampu disko dan running text bertuliskan tagline ajaib nan bombastis macam: "Mari merapat diskotik jalanan" dan "Hancurkan masa depan masbroooh."

Ada beberapa meja yang menjual air mineral club, mijon, anggur merah dan bir angker. Makin malam, makin ramai. Ibu-ibu dan anak-anak pulang berganti bapak-bapak dan muda-mudi. Sekelompok orang tua membentuk lingakaran kecil di bawah salah satu rumah panggung. 

"Apa itu pak?" tanya saya ke pak Herman. "(Permainan) Dadu."

Ingin sekali singgah sebentar untuk melihat-lihat permainan yang menjadi magnet bagi sekelompok bapak-bapak itu. Tapi saya harus pulang.

Pukul 4 pagi saya terbangun dan sayup-sayup masih terdengar dentuman bass dari tempat yang berjarak 100 meter dari rumah pak Herman itu. Pesta semalam belum usai.

Dari seorang warga, saya tahu pesta berakhir pukul 4.30. Makin larut, makin padat, makin gila. Banyak pemakai sabu dan seorang pengunjung pesta yang datang dari kampung sebelah kehilangan motornya di pukul 3.

Jumat siang saya jumatan di masjid At-Taqwa yang terletak persis di samping rumah pak Kades. Masjid dengan kapasitas sekitar 300an jamaah. Siang ini, jamaah sholat jumat di masjid At-Taqwa hanya sebanyak 2,5 shaf dengan setiap shaf sekitar 22 orang. Kebanyakan orang tua. Jamaah anak muda hanya 6 orang. Kontras sekali dengan pemandangan tadi malam.

Saya jadi teringat tagline bombastis dari running text di desk DJ Akep Mania.

****

Serupa Kuin dan Alalak di Banjarmasin, Mohenjo-daro dan Harappa di lembah Sungai Indus (danke Dindie sudah mengingatkan saya pelajaran sejarah!), juga serupa banyak kampung dan kota di Sumatera Selatan, Pulau Layang juga dibangun dari tepi Sungai. Pulau Layang terletak di antara Tapus dan Kuro, diapit dua hamparan rawa luas (Lebak Lebung Pisang di utara dan Lebak Pulau Layang di selatan) dan dibelah sungai/batanghari Pulau Layang. Dahulu, di jaman sunan, daratan di antara lebak-lebak itu terlihat seperti pulau dari jauh. Daratan itu juga tempat favorit untuk bermain layangan. Maka oleh para orang tua, dinamailah daratan itu Pulau Layang.

Rumah Nyaman Para Kucing

"Cobooooonnggg!!!" seru Rani dan bu Fatmawati bersamaan saat melihat Cubung muncul di malam pergantian tahun. Dia tak terlihat sepanjang hari, dan baru muncul sekitar pukul 9 malam di teras belakang rumah pak Lux saat semua sedang berkumpul untuk merayakan pergantian tahun.

Cubung adalah satu di antara 13 kucing kecubung peliharaan keluarga pak Lux. Yang paling berisi di antara lainnya. Saya dan Yayu memanggilnya Dodi. Tubuh gempalnya dan gaya Cubung berjalan mengingatkan kami pada Dodi, teman kami.

Cubung juga kucing favorit kami dan paling mudah kami kenali. Warna bulunya lebih variatif dibanding lainnya: coklat-putih di bagian punggung dan hitam-putih di kepala. Di penghujung malam saat semua penghuni rumah nyaris terlelap, Cubung suka naik ke lantai 2 tempat kami menginap dan meraung-raung meminta dibukakan pintu rumah.

Di malam hari, semua kucing milik pak Lux tak bisa keluar rumah. Semua akses keluar dikunci. Kucing-kucing itu tidur di atas meja setrika dan meja dan sofa di lantai 2.

Bu Fatmawati punya cara cukup unik saat memanggil kucing-kucing itu makan: memukul-mukul piring plastik dengan sendok dalam ritme cepat berulang-ulang. Tak sampai hitungan menit, kucing-kucing itu sudah berkumpul dan mendekat pada bu Fatmawati. Menu sehari-hari mereka: nasi putih yang sudah dicampur ikan.

Di malam tahun baru, Cubung dan geng mendapat menu spesial. Tak hanya tuan rumah dan tamu yang kebagian sate dan ayam panggang. Ke-13 kucing itu pun kebagian.

Pak Alpian, tetangga pak Lux yang juga hadir malam itu bercerita tentang tayangan TV yang ditontonnya. Tentang kisah keluarga yang menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk mengurus kucing. Lantas bu Fatmawati menimpali, "Sewaktu kami mulai melihara kucing-kucing itu, rejeki kami kian mengalir."

Semua penghuni rumah pak Lux sepertinya memang sangat menyayangi kucing-kucing itu. Setiap tempat di rumah itu adalah tempat tidur yang nyaman untuk para kucing.

Rumah panggung itu pun begitu nyaman bagi kami. Sampai-sampai saat dipanggil pulang kami menolak dan mencari-cari alasan agar bisa berlama-lama di sana. :D

Saya semakin nyaman kalau ada orang yang baru saya kenali memanggil nama saya dengan benar, apalagi dengan cara memanggil orang dusun, "Caaaallll.. Oooo Caalll..."

02 Januari 2014

Sungai Hitam

"Kalau ada rumah yang kebakaran gak ada yang bisa nolong (memadamkan)" kata pak kades menggambarkan betapa sepinya pagi di Lebung Itam. Rumah-rumah tampak kosong. Penghuninya, baik lelaki-perempuan, ada yang sudah meninggalkan rumah sejak pukul 5 pagi menuju kebun karet.
 
Mayoritas penduduk Lebung Itam bekerja sebagai penyadap karet.

Lebung itam, seperti banyak kampung di Selapan, diambil dari nama sungai. Lebung itam berarti sungai hitam. Dahulu Sungai Hitam masih lebar dan dalam, mampu dilewati perahu bermuatan 11 ton. Jalur menuju desa lain hanya lewat sungai. Penduduk desa masih sekitar 77 KK. Kini Lebung Itam didiami lebih dari 1000 KK. Jalan lintas kabupaten dibangun. Kampung meluas. Dan Sungai Hitam menyempit, tak bisa lagi dilalui perahu bermuatan besar.

(Obrolan pagi tanpa kopi)
24/12/13

01 Januari 2014

Keramahan yang Melahirkan Berpikul-pikul Senandung Rindu dan Togel yang Mewabah Sampai Jauh


Kami tiba di Pampangan saat takbir jumat sudah dikumandangkan. Sebagai ibukota kecamatan pampangan cukup ramai. Ada indomaret dan alfamart, juga bank BRI. Sepanjang jalan utama, di depan rumah warga ada rumah-rumahan (serupa kotak surat) bertuliskan GSI di atasnya. Kependekan dari gerakan sayang ibu lomba yg diikuti desa Pampangan setahun lalu.

Sebelum memasuki pampangan kedua mata saya sudah dimanja hamparan lebak (rawa) yang begitu luas. Jadi saat tiba saya langsung menuju belakang rumah Ayuk Cici yang menghadap ke sungai komering dan hamparan lebak itu. Kerbau-kerbau hitam besar menemukan rumahnya di sana. Pun ikan-ikan. Tak perlu mendayung jauh untuk menangkul ikan, cukup dari belakang saja.


Sungai Komering yg melintasi pampangan cukup lebar. Sekitar 70an meter. Ada 6 rumah di seberang sana. Diantara rumah-rumah itu tiang bambu berbendera partai gerindra tertancap. Seru nampaknya, kemana-mana penghuninya harus naik perahu atau ketek. Tapi untuk mandi dan menangkul ikan bisa dari tangga depan rumah saja.


Tempat ini begitu tenang. Saya termenung sejenak lantas bersiul melodi lagu belum berjudul. Mungkin tempat ini termasuk tempat yang -dibilang dahlan iskan- harusnya bisa melahirkan berkoli-koli puisi. Tempat setenang ini juga harusnya bisa melahirkan berpikul-pikul senandung rindu.


Di Pampangan pula akhirnya saya mencicipi masakan Ayuk Maya! Meski masih.. Hmm.. Ya begitulah. Maya bahkan tak tahu nama sayur yang dia masak. Mungkin lebih lemak menikmati masakannya di rumahnya di Klaten sana.

Di sini saya mencoba lebih banyak makanan khas Palembang. Pempek, tekwan dan model terlalu mainstream. Saya mencoba bogro! Tepung beras yang didadar-gulung dan disiram santan. Pas juga
untuk sore-sore. Saya mencoba bogro di desa Berkat, 30 menit perjalanan ojek dari Pampangan lewat jalanan berlubang yang baru saja diaspal 6 bulan lalu.

Berkat juga terletak di pinggir sungai Komering yang bermuara di selat Bangka. Berbeda dengan desa-desa di pantai timur, mayoritas penduduk berkat berprofesi sebagai petani. Jika tidak sedang musim tanam dan panen kita bisa menemui penduduk dengan mudah. Sebagian bercengkerama di depan rumah (kebanyakan ibu-ibu), sebagian remaja dan anak-anak bermain biliar di meja 6 kaki, sebagian bermain kartu dan domino, sebagian lagi sibuk dengan togel. Iya, togel!


Saya sedang bersama seorang ibu warga desa saat anaknya datang berseru, "Ooo maa.. Ada yang mo pasang nomor!" 

Tidak di Ternate, tidak di Jogja, tidak di Banjarmasin, tidak di Pantai Timur Sumatera sama saja. Togel mewabah sampai jauh ke kampung-kampung.

27/12/13

Marhaba

"Namanya Abizar Ramadan Zuhdi. Bagus tidak?"

"Bagoooss!!" teriak seratusan jamaah masjid al-falah serempak. Malam ini baru saja dilangsungkan Marhaba: prosesi potong rambut dan "pengesahan" nama anak tersebut. Marhaba dilakukan selepas isya dan dihadiri seratusan jamaah yang kebanyakan orang tua juga anak kecik yang menyaksikan dari jendela.

Tiap kamis malam di masjid Al-Falah Jerambah Rengas dilangsungkan yasinan rutin. Alangkah lemaknya membuat acara potong rambut di sini. Tak perlu menyewa tenda, kursi dan bikin undangan. Bikin di kamis malam saja. :D

Abizar -yang lahir 28 juli 2013 lalu itu- menangis sepanjang Marhaba. "Biasa kalau acara seperti ini bayinya tidok dibacain ayat-ayat suci. Kata orang tua, kalau anaknya nangis seperti itu besarnya nakal," ujar Arsoni. Entah benar apa tidak, bayi ini masih terlalu menggemaskan untuk divonis nakal.

Setelah potong rambut, diiringi sholawat Abizar digendong keliling sang ayah ke setiap jamaah untuk diusap kepalanya. Saya lebih ingin mencubit pipi anak ini ketimbang mengusap kepalanya.

Nah bagian selanjutnya juga tak kalah ramai. Seorang ibu datang dan membagikan bendera uang bergambar wajah Abizar dan uang seribu yang menjadi rebutan bapak-bapak juga anak-anak kecik. Seusai prosesi Marhaba, semua jamaah menuju rumah di samping masjid. Sudah di sajikan Lakso di sana. "Kalau yang punya hajatan orang berduit, biasanya ada telok-nya," kata Arsoni lagi. Lakso kali ini tanpa telok, hanya laksa yang disiram santan.

Malam ini kami jadi tamu tak diundang yang disambut begitu ramahnya.

26/12/13