11 Desember 2007

Strategi Baru Label Rekaman "Membunuh" Artis-Artisnya

Oleh Wendi Putranto


Teman-teman, kita sudah sampai di era baru industri musik.


Era dimana label rekaman melancarkan strategi terkejam dalam sejarah industri musik di tanahair: Menguasai artis dengan jalan mengelola karir mereka. Istilah populernya mereka melakukan ekspansi bisnis dengan cara membuka divisi Manajemen Artis di label rekaman.


Gue adalah salah seorang yang nggak setuju dengan berdirinya manajemen artis dalam sebuah label rekaman. Gue punya argumentasi yang kuat untuk ini. Label rekaman itu INKOMPETEN untuk urusan manajemen artis dan nantinya gue yakin malah bakal merusak tatanan industri musik yang selama ini otonom dari tiga belah pihak terkait (artis, manajemen, label).


Bisnis utama label rekaman adalah jualan kaset, CD, RBT, dsb. Semua yang berhubungan dengan rekaman musik. Dari nama saja sudah jelas: Perusahaan Rekaman! Akhirnya ketika mereka membuka divisi baru (Artis Manajemen) gampang ditebak kalo kerepotan dan berbagai kebodohan dalam urusan manajerial artis bakal terjadi di sana. Mulai dari SDM yang mereka miliki butut hingga praktek-praktek jualan band yang obscure. Karena mereka masih "belajar" maka jangan cari profesionalisme manajemen artis di dalam major label :)

Conflict of interest tingkat tinggi juga bakal terjadi di dalam band ketika manajernya bingung harus membela kepentingan yang mana nantinya (artis atau label?). Secara manajer lama kemungkinan besar bakal ”digaji” oleh label dan nanti hanya akan menjadi sub-ordinat dari manajemen baru.


Gara-gara pembajakan musik yang makin gokil (bahkan konon direstui negara) dan menurun drastisnya penjualan album fisikal, akhirnya mereka mengambil jalan pintas mendirikan manajemen artis yang ujungnya lagi-lagi merugikan artis nantinya. Label bukannya bersatu memerangi pembajakan namun malah berkomplot untuk mengeksploitasi artis habis-habisan agar mereka bisa terhindar dari kebangkrutan.


Biarkan artis yang bangkrut, tapi jangan labelnya! Kira-kira kasarnya begitu. Sekali lagi artis adalah obyek penderita nomor satu nantinya.


Setelah kecilnya nilai royalti mekanikal di Indonesia, statistik penjualan album yang manipulatif, dilarangnya artis bergabung dengan KCI oleh ASIRI (atau diminta keluar dari KCI jika telah bergabung) maka penindasan terhadap artis akan datang lebih kejam lagi nantinya. Detailnya kira-kira seperti di bawah ini.


Ini prediksi yang bakal terjadi di masa depan dengan ”artis-artis baru” yang kontrak dengan major label yang memiliki divisi manajemen artis:
- Masa depan karir band baru akan tergantung dari label rekaman, bukan berada di tangan manajemen lama atau artisnya sendiri.
- Tumpulnya peran dan kontrol manajemen artis yang lama dalam membela kepentingan-kepentingan artis. Manajemen lama akan menjadi sub-ordinat dari label dan kemudian hanya berfungsi sebagai baby-sitting artis. Semua fungsi kontrol dan decision making artis akan terpusat kepada label sebagai investor. Manajer lama tidak punya hak karena mereka tidak invest apapun. Kemungkinan besar mereka akan disingkirkan dengan jalan "pembusukan". Mempengaruhi artis dengan iming-iming kesuksesan di industri musik.
- Kontrol yang sangat ketat dalam proses kreatif dan menciptakan musik berakibat hilangnya idealisme artistik & estetis karena artis hanya akan diperbolehkan menciptakan musik-musik yang tengah disukai oleh pasar yang tidak cerdas. Sejuta band mirip Kangen Band diprediksi akan membajir di industri musik kita :)
- Berkurang secara signifikannya pemasukan bagi artis karena mereka harus share profit selain dari royalti mechanical, live show, merchandise, touring, advertising, publishing dan sebagainya. Hal yang belum pernah terjadi sebelumya. It's a very big, big, big LOSS, ladies & gentleman!
- Buruknya lagi, kalau artis baru nanti terlalu blo'on, maka tingkat eksploitasi akan diperkejam lagi hingga nama band dipatenkan oleh label, internal band akan dikontrol langsung pihak label, penggelapan royalty, sales report yang culas hingga berlakunya sistem bodoh dengan label menggaji para artis. Jika selama ini kita memandang artis sebagai seniman dengan talenta yang tidak ternilai maka selanjutnya kita akan dipaksa memposisikan artis tak lebih dari "kuli musikal."


Strategi ”mega-eksploitatif” ini memang hanya diberlakukan bagi band-band baru yang ditawarkan kontrak rekaman oleh major record company. Contoh paling konkret misalnya terjadi pada Nidji, Letto (Musica), The Changcuters, St. Loco, Vagetoz (SonyBMG Indonesia), Kangen Band (Warner), Tahta (EMI), dsb. Semuanya memang memiliki deal-deal yang berbeda satu sama lain. Maksudnya tingkat eksploitasinya berbeda-beda. Ada yang parah dan ada yang parah banget. Gue sempat mendengar ada satu band yang dipotong komisinya sebesar 45% (gross) setelah join dengan manajemen artis major label.


Band baru yang hadir dengan strategi yang brilyan dan sangat berhasil di awal karirnya adalah Samsons yang melakukan master licensing deal dengan Universal Music Indonesia. Mereka membiayai sendiri produksi rekaman dan kemudian menjalin kerjasama promosi & distribusi dengan major label selanjutnya. Ke depannya deal seperti ini nantinya akan menjadi ”favorit” para manajer artis (tentu bila mampu).


Pastinya, label rekaman tidak akan menawarkan strategi keji ini kepada band-band lawas/senior karena bargaining position mereka sudah sangat kuat. Selain brand mereka sudah dikenal luas, pengalaman dan pengetahuan bisnis musik yang sangat memadai, fanbase yang kuat juga sangat berpengaruh terhadap positioning mereka di industri musik. Label sendiri kadangkala melihat artis-artis lawas sebagai ”uzur,” ”grace period” atau sudah rendah ”selling point”nya.


Itulah kenapa akhirnya label rekaman besar hanya akan memburu band-band/artis baru yang masih hijau, yang minim pengetahuan bisnis musiknya dan belum paham peta/konstalasi industri musik lokal. Selain bakal gampang dibodohi dengan kontrak yang sangat eksploitatif mereka juga akan dipengaruhi iming-iming "fame & fortune" di industri musik. Padahal belum tentu bakal "booming" juga :)


Jika Anda saat ini berada di sebuah band baru dan ditawarkan kontrak rekaman dari major label maka jangan terburu-buru tergiur dulu! Imej bergengsi major label tidak akan banyak memberi keuntungan. Yang terpenting adalah deal-nya, bukan masalah major atau indie label-nya. Pelajari dulu dengan seksama kontraknya, undang pengacara kenalan Anda untuk membedahnya, konsultasi dengan band-band lain yang sudah berpengalaman.


Sudah banyak kasus terjadi sebelumnya. Band-band baru menandatangani kontrak rekaman jangka panjang dengan major label dan akhirnya menyesal. Ketika bandnya booming dan banyak menerima job manggung beberapa ada yang melakukan ”resistensi” konyol dengan tidak menyetorkan komisi kepada label sesuai perjanjian. Menjadi konyol karena setelah kontrak rekaman itu ditandatangani maka konsekuensi-konsekuensi di belakangnya seharusnya sudah kita tahu sejak awal. Oleh karena itu jangan ikut mengantri di barisan kebodohan. Empowered yourself!


Cara kerja label juga akan lebih mirip jarum suntik nantinya. Sekali pakai langsung buang, disposable. Artis-artis baru tidak akan ada yang didevelop untuk panjang umur karirnya, mereka hanya akan disupport demi "popularitas maksimal dua atau tiga album saja!" Setelah booming besar dan untung besar, siap-siap menuju ladang pembantaian. Setelah dibantai maka dicari lagi talenta baru. Kalau kita jeli fenomena seperti ini sebenarnya telah terjadi sekarang ini di Indonesia.


Label besar sejatinya nanti hanya akan menjadi pusat manufaktur band! :) Kita tidak akan menemukan lagi band-band awet populer seperti Slank, Gigi, Netral, Dewa19, Naif di masa depan nantinya. Semuanya hanya akan "easy come, easy go!"


Tapi kalo ada yang bilang label membuka manajemen artis bakal membunuh pula profesi manajer artis individual/otonom, gue sama sekali nggak setuju. Gue justru nggak melihat kalau manajer-manajer artis yang independen itu bakal tergusur atau kehilangan pekerjaan. Ini analisa yang terlalu sembrono. It's not the end of the world as we know it :) Negara ini punya lebih dari 200 juta penduduk. Yang pengen jadi artis, bikin band dan gilpop (gila popularitas) setiap harinya pasti bertambah ribuan. Justru segudang talenta ini menjadi market yang sangat potensial bagi manajer-manajer artis untuk dikelola.


Manajemen artis yang individual atau berbentuk firma masih akan sangat dibutuhkan dan berperan penting di sini nantinya. Perkembangan teknologi yang gokil belakangan masih menjanjikan masa depan yang cerah buat band-band yang tidak dikontrak major label lokal/internasional a.k.a indie. Hadirnya MySpace, YouTube, Multiply, Friendster, Ning dan perangkat musik digital lainnya sangat memungkinkan untuk mencetak artis besar via jalur alternatif. The Upstairs sendiri udah membuktikan hal ini sebelumnya.


Apalagi tren terbaru di Amrik dan Inggris sekarang rata-rata artis bernama besar malas memperpanjang kontrak rekaman mereka dan memilih hengkang dari major label. Prince, Madonna, Radiohead, NIN adalah para pelopor ”gerakan kembali ke indie” ini. Mereka justru mempercayakan manajemen artis mereka yang independen untuk berfungsi pula sebagai "label rekaman". Cepat atau lambat gue pikir band-band besar di Indonesia akan mengambil langkah yang sama nantinya. Slank, Naif dan Netral malah sudah membuktikannya..... dan mereka cukup berhasil! Salute!


Masih adakah jalan lain? Ada banget! Di dalam negeri sendiri sudah ada yang mempelopori ”penggratisan musik.” Album rekaman kini telah berubah fungsi menjadi sebuah ”marketing tool” untuk menjaring job manggung. Mungkin inilah masa dimana musisi tidak lagi memikirkan royalti rekaman! Bisa jadi kalau teknologi kloning nanti sudah semakin sempurna maka ini berarti ancaman besar! :)


Koil menjadi pionir dengan menjalin kerjasama dengan majalah musik untuk mendistribusikan album terbarunya (Blacklight Shines On) secara gratis. Selain itu mereka juga memberi akses download album gratis via website/mailing list musik. Ide Koil ini memang tergolong baru walau sebenarnya tidak original juga. Prince bulan Juni lalu lebih dulu mengedarkan 3 juta keping album terbarunya secara gratis via Tabloid Sun di Inggris.


Memang perlu dipelajari lebih lanjut lagi apakah strategi ”penggratisan musik” ini nantinya bakal merugikan atau malah menguntungkan. Yang pasti band-band baru tidak akan memiliki ”keistimewaan” seperti Koil jika mau mengambil strategi serupa.

Yang menarik lagi, sempat ada pertanyaan di bawah ini yang datang ke saya ketika jadi pembicara di sebuah seminar musik di kampus UI beberapa waktu lalu:


Bagaimana dengan marak terjadinya kasus manager-manager artis individual/otonom yang tidak profesional atau bermasalah? Katakan saja menipu artisnya, melakukan penggelapan keuangan, dsb.


Nah, untuk point di atas sebenernya gue jamin nggak akan terjadi lagi kalau di dalam manajemen artis kita sudah DITERTIBKAN secara organisasi dan administrasinya. Mari kita lihat apakah kita sudah memiliki kontrak tertulis antara manajemen dengan artis yang mengatur kerjasama profesional ini? Apakah peran, hak & kewajiban masing-masing pihak sudah di jabarkan secara rinci? Pemisahan fungsi manajemen sudah diberlakukan? Apakah antar personel band kita sudah memiliki kontrak internal pula? Kalo semua konsolidasi internal ini beres gue jamin masalah-masalah di atas nggak bakal terulang lagi di masa depan.


Oke, sementara begitu aja pandangan gue tentang isyu ini. Memang tulisan ini nggak akan mengubah strategi major label untuk tidak membuka divisi manajemen artis di dalam perusahaan mereka, toh semuanya jadi keputusan bisnis mereka juga. It’s their damn business afterall :) Lagipula masih ada juga major label yang tidak memberlakukan strategi dagang ini (paling tidak sementara ini), misalnya seperti Aquarius Musikindo, Universal Music Indonesia.


Yah, minimal kita bisa mencegah regenerasi kebodohan dan berlanjutnya proses pembodohan seperti ini sekarang juga.


Gue sangat berterimakasih kalo ada teman-teman yang mau memforward atau menyebarluaskan tulisan ini agar dibaca lebih banyak artis-artis baru yang berniat mempertaruhkan masa depan dan karir mereka sebagai musisi. Jangan biarkan mereka dirampok!


Hope we could make real changes together.
For better, not worst....
Vive le rawk!


tulisan ini diambil disini

17 September 2007

Merayakan Romantisme Kebisingan

Merayakan “Romantisme” Kebisingan, Lintas Gigs, dan Reuni

Kinoki-Purnabudaya UGM
080907

Semua mata kemudian tertuju ke tengah-tengah kafe, seperangkat penghasil bunyi-bunyian “kotor” telah tersusun rapi dan duduk manis sambil tersenyum menunggu dihantam. Kinoki, malam itu disulap menjadi sebuah pesta kebun yang penuh bising. Saya juga bunga serta semua orang yang ada di Kinoki berdiri mengitari 5 orang -bernama tengah noise- dan memasrahkan jiwa saya untuk diracuni malam ini. Sumber kebisingan berada ditengah-tengah sana. Tapi ada yang lain dari mereka malam ini, Jimi -yang biasanya menyumbangkan suara-suara Psychedelic dengan gitarnya- malam itu memainkan keyboards. Dan (nantinya) hingga sejam setelahnya, mereka terdengar seperti The Doors yang memainkan lagu-lagu dari Sonic Youth juga The Stooges.

Dulu saya pernah menyimpulkan, kalo Seek Six Sick hanyalah susunan partikel-partikel kecil puisi, dan sisanya dipenuhi kebisingan, namun malam ini mereka melengkapinya dengan satu formula yang beda, Romantic, yap.. Mereka sangat romantis malam ini. Sangat-sangat manis. Jauh lebih manis dari Carpenters sekalipun. Hanya untuk malam ini. Bukan karena Bofag menyanyikan Noise Rock Song, kemudian pesta penuh bising ini digelar di sebuah kafe dengan taman yang indah. Saya sedang berbunga-bunga dan datang bersama Bunga malam ini. Terberkatilah semua kebisingan menjadi romantis. Kebisingan yang romantis.

Apakah ini deja vu atau bukan, Setiap kali melihat aksi-aksi Bofag, saya selalu merasa diculik Ian Curtis. Menari-nari meliukan tubuhnya, berputar, kemudian menjatuhkan tubuhnya, ekspresif, dingin tak jelas. Dia terlihat seperti orang sakit. Bofag memang pintar berakting. Aksi-aksi mereka memang sayang kalo dilewatkan begitu saja.

Saya tahu Bofag-lah orang yang paling berani malam ini. Hingga dia tak perlu mengumbar-ngumbar sumpah tidak penting seperti I’m anti macho Rockstar, atau I Hate Adidas. Saya hanya ingin mendengarkan Rock N Roll Suicide dan Merayakan Kebisingan. Namun tak kunjung dibawakan. Ah.. tak apalah Supermodel Kills Supermarket Deals dan I Wanna Be Your Dog milik The Stooges sudah lebih dari cukup untuk saya.

Banyak orang-orang hebat terlihat disini (Setidaknya bagi saya mereka hebat). Barisan pasukan Armada Racun, Venzha, Belajar Membunuh, juga the one n only Wok The Rock, Punker gaek ini memang tak ada matinya.

Saya meningggalkan kinoki pukul 11, dan sengaja melewatkan Midijunkie mendengarkan suara-suara sintetis dari perangkat digitalnya. Saya kurang tertarik. Venzha tetaplah yang terbaik untuk saya.

Petualangan berlanjut ke Purnabudaya, ada Death Vomit dan Raja Singa disana, tapi saya tak berniat sama sekali menyaksikan mereka. Misi saya kali ini, hanyalah menemukan Pakde We. Dan kemudian mempermalukan Pakde Igit didepan temen-temennya. Oh… tak disangka, baru saja masuk ke venue, saya sudah dikagetkan dengan kehadiran Dito, ya..Dito. gitaris band Thrash Metal, Unveils. Sejak mengenal Dito, kamar kos saya langsung berubah jadi perpustakan mini. Hahaha.. (balikin buku-bukukuuuu…). Dito yang malam itu datang bersama istrinya sangat lain dari biasanya. Rambutnya di cat warna-warni, begitu juga dina, biar terlihat serasi mungkin. Setelah menikah nampaknya banyak perubahan yang terjadi pada dito. Hehehe…Tetap langgeng ya pakde!!

Maksud hati pingin ngerjain Pakde Igit malah berubah menjadi aksi seru-seruan dadakan. Di gig ini, beberapa teman lama juga hadir. Selain pakde-pakde “Bugisan Wild Crew”, ada Jack, drumer band lama saya, juga Otep. Ah.. gigs memang ajang reuni bagi saya juga teman-teman saya. Kami semua dipertemukan gigs, dan disatukan kembali lewat gigs. Kembali pada fitrahnya. Dasar banci gigs.

Haha.. Harusnya tulisan ini sudah saya post seminggu yang lalu, hanya saja otak saya makin lama makin lemah saja. Kebanyakan mbojo efeknya kurang baik untuk saya. hehehe… yowis, slamat menunaikan ibadah puasa! Tetap Liar!!!


merayakan17september07
01.25pm
inspiredbysigitsrums

29 Agustus 2007

SERINGAI

SERINGAI
Liquid, Jogja 27 Agustus 2007

“Ekspektasi berlebihan terjawab sudah…”

Malam 27 Agustus lalu Jogja begitu dingin, sangat dingin -hingga saya harus mengenakan berlapis-lapis tshirt, tidak ketinggalan cardigan favorit saya-. Sudah pukul 9, dan saya baru akan beranjak ke venue untuk menyaksikan konser paling ngerock di jogja minggu ini. Harusnya pakde-lah orang yang beruntung menemani saya malam ini (hehehe..), hanya saja kenyataan berkata lain. Sejam sebelum acara berlangsung saya membatalkan janji dengan pakde (hehe..maapkan ponakan, pakde). Dan The lucky bastard malam ini adalah teman baru saya yang bernama “bunga”. Kita namakan dia “bunga” hehehe..(Tampaknya saya terlalu terobsesi dengan semua yang bernama bunga).

Salahkan Arian (Vocal), Khemod (Drums), Rick (Gitar), dan Sammy (Bass) kalau saya berhasil “memaksa” dan meyakinkan teman baru saya –yang berkata akan tidak nyaman karena ini bukan dunianya- untuk menyaksikan sebuah pertunjukan rock. Lebih pukul 22.00, saya tiba di Liquid. Kebiasaan buruk saya belum hilang juga, telat. Namun kali ini alasannya lebih baik dari sebelumnya, saya harus menjemput bunga yang baru selesai kerja tepat pukul 21.30. Parkiran penuh, hanya beberapa orang yang terlihat diluar venue. Sudah bisa saya pastikan kalo gigs ini akan berlansung seru dan panas, jogja akan dibakar malam ini. Di stage terlihat The Southern Beach Terror sedang beraksi. Didukung dengan Sound yang maksimal, Trio Surf Rock ini tampil sangat baik, ada wajah baru disana, Nadya -yang lebih sering terlihat tampil dengan Armada Racun- ikut ambil bagian di departemen keyboard. Oh, Damn! Ternyata The Southern Beach Terror adalah band terakhir sebelum Seringai, dan saya melewatkan Sleepless Angel, Hands Upon Salvation, juga Cranial Incisored.

Gepeng KK yang didaulat menjadi MC, selalu saja menghibur dengan umpatan “Asu” yang terdengar tanpa beban diucapkannya. Sebelum Seringai tampil, para metalheads disuguhkan dengan video klip dari single kedua mereka, Citra Natural.

Beberapa saat kemudian, samua lampu yang langsung menyorot ke stage serentak dimatikan, satu persatu personil kemudian terlihat telah bersiap-siap. Dan intro Akselarasi Maksimum pun terdengar –dari gitar Rick, yang selalu saja memukau dengan riff-riff anjingnya dan sound gitar yang tebal menyayat, slashing bass nakal, serta gebukan drum penuh energi dari khemod- diikuti dengan masuknya Arian, yang malam itu mengenakan tshirt Komunal, Mosh pit pun tak terelakan lagi.

“JOGJA……FUCKIN..RAWWKKSS..!!” saya tidak jelas mendengar apa yang dikatakan Arian, kurang lebih tiga kata itulah yang terdengar sebagai kalimat pembuka yang diteriakan Arian. Selanjutnya berturut-turut Berhenti di 15, Diskodoom, Citra Natural, dan Amplifier dibawakan. Mungkin cuma Seringai-lah, satu-satunya band yang terang-terangan dan dengan sangat yakin mengajak penonton untuk menolak tua dan meneriakkan “Alkohoooolll…!!!”. Semuanya slamdancing, moshing, dan ber-sing along hampir di semua lagu tidak terkecuali saya. Saya berada tepat disamping stage dan melihat betapa liarnya penonton malam itu. Ini bukan pemandangan yang asing, tapi energi yang ditumpahkan dari atas sana, ditambah aroma alkohol yang memenuhi ruangan, juga teman baru yang bernama bunga, membuat malam ini menjadi lebih menarik.

Bukan Arian13 namanya kalau tidak pintar berkata-kata. Berbagai macam sumpah serapah mengalir deras dari mulutnya ketika melihat tingkah pola serigala militia yang ada di Liquid malam itu. Hingga tiba saat dia tersadar (untuk sementara) dan kemudian berujar “Oh..Maaf saya khilaf, maaf Liquid… INI KONSER ROCK!!!hahaha..”. Dan seisi venue pun menyambutnya dengan teriakan penuh semangat.

Keempat rocker ini sempat berembug dan membuat lingkaran kecil (layaknya ritual wajib band-band rock sebelum manggung) saat binggung harus membawakan lagu apa. Beberapa penonton terdengar meminta agar lagu dari Puppen dibawakan. Ini Seringai, tak ada Puppen disini. Kemudian terdengar “Individu….individu merdeka...!!”, bassis Sammy, serta gitaris Rick, ikut mengajak penonton untuk menyanyikan lagu yang termasuk dalam materi album “Serigala Militia” ini. Selanjutnya Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan), sebuah wujud protes terhadap kesewenangan pihak-pihak yang sudah seperti Tuhan. Lencana dan pastinya Membakar Jakarta yang harusnya menjadi penutup gigs ini kemudian dibawakan. Namun teriakan “We want more…” malah terus bergema saat Seringai harus mengakhiri penampiannya. Sebuah cover version milik Anthrax “Anti Social” akhirnya didaulat menjadi encore untuk kembali menghajar semua metalheads pada gigs yang (ternyata) diprakarsai oleh Kongsi Jahat Syndicate.

Kemampuan musikalitas tinggi, kenakalan dan atraksi prima vokalis, aksi-aksi memukau dengan energi maksimum yang tercipta, liarnya semua metalheads, hingga reuni dengan teman lama, dan teman baru bernama “bunga” membuat saya semakin yakin, Tuhan saya malam ini adalah SERINGAI. Hail!!!


ex
merayakan29agustus07
03.00tillcollapse
inspiredbysigitrums

NB:asem iks..potone eleks..
postergigs diambil disini

03 Juli 2007

Tony Q at Jamaica Bar

Tony Q at Jamaica Bar
Saturday, June 30 2007
Butuh waktu hampir 2 minggu untuk memastikan benar tidaknya Tony Q bakal mampir ke Jamaica Bar. Sehari sebelum hari H akhirnya seorang teman -yang memberitahu perihal kedatangan Tony Q pada saya semingguan yang lalu- memberikan pamflet yang berisikan tentang event reggae di Jamaica Bar dengan ¼ space pamfletnya tertulis “Quest Star: Tony Q”. Ow… yap. Langsung saya putuskan, malam minggu kali ini hanya untuk Tony Q. Jikalau saja alarm ponsel saya tidak berdering tepat pada waktunya, saya pastinya akan melewatkan malam paling nge-roots dalam juni ini. Yeah..nge-Roots! Tony Q gillaaa..
Saya tiba di Jamaica bar sekitar pukul 10, dan tralala… pemandangan yang sudah tergambar lebih dulu dipikiran saya, tersedia didepan mata. Gerombolan pemuda bergimbal, dengan atribut kebanggan merah, kuning, ijo dari ujung kaki hingga rambut (hahha…berlebihan). Yah..mereka terlihat teramat sangat menyenangkan dengan semua yang melekat pada tubuh mereka, tapi saya gak tau apakah para dreadlocks itu paham dengan semua simbol yang melekat ditubuhnya itu. Biarkan sajalah.
Saya bukanlah tipe orang yang nyaman sendiri di keramaian, jadi saya putuskan untuk menghubungi beberapa teman sebelum masuk ke dalam bar yang baru resmi dibuka sebulan lalu ini. Dan ternyata dua orang teman saya sudah berada didalam sejak jam 9 tadi.
Seorang teman yang pernah menyambangi Apache bar di Bali pernah bilang “Gila.. Apache..baru dipintu masuknya aja, atmorfer reggaenya udah kerasa”. Tapi saya rasa, akan sangat mungkin dia menarik ucapannya ato malah lebih berhiperbola jika sudah pernah ke Jamaica Bar di Jogja. Venue malam itu tidak begitu ramai, tapi saya merasa seperti bukan di Jogja..hmm.. ya.. saya di Kingstone!! hahaha… beberapa pemusik reggae Jogja juga terlihat diantara penonton. Di panggung Jogjamaica sedang beraksi memainkan beberapa tembang reggae dari yang ngeroots hingga dancehall. Saya berada tepat disamping panggung bersama kedua teman saya. Tak berapa lama, Intro lagu “Witing tresno” pun terdengar, tapi hey..dimana nih yang nyanyi?? Dion (Vokalis Jogjamaica) tiba-tiba menghentikan lagunya dan berseru pada penonton “kayaknya gak asik kalo kita bawain lagu orang, trus orangnya ada disini..gimana kalo kita panggil penyanyi aslinya..??? Ok? Tony Q….” beberapa penonton yang dari tadi hanya duduk manis langsung menuju ke dance floor, tak terkecuali saya dan kedua teman saya. Ternyata “Don’t Worry U yeah” dari album “Salam Damai” yang dipilih Tony untuk memulai penampilannya. Lagu yang dalam versi aslinya dinyanyikan bersama Steven Coconuttreez, kali ini dinyanyikan bersama Dion Jogjamaica. Suaranya yang khas masih terdengar prima, Tony Q dan band kemudian melanjutkan dengan “Rambut Gimbal”. Dance floor pun makin panas, semua orang ikut bernyanyi dan berdansa. Seorang teman yang sedari tadi hanya sibuk mengabadikan Tony Q dengan kamera pinjamannya kemudian menghampiri saya, dan menyalakan sebatang dedadunan wangi yang telah terbungkus rapih. Ah..bangsat ni anak, kebiasaanya blom ilang juga. Saya lebih memilih bernyanyi saja daripada ikut campur dalam hal satu ini hehehe..
Tony bernyanyi kurang lebih enam lagu, termasuk No Woman No Cry, Get Up Stand Up, dan juga satu lagu baru yang termasuk dalam materi album barunya. Maklum saja dia gak nyanyi banyak lagu, malam ini judulnya hanya Jaming. “Pesta Pantai” pun tidak dibawakannya. Tapi gak masalah, yang penting Reggaeee…. Hahaha…
Diakhir penampilannya Tony sempat menyampaikan rasa salutnya pada komunitas reggae di jogja, karena Jogja memiliki komunitas reggae yang cukup kuat dengan jumlah band reggae cukup banyak. Hanya saja Tony Q mungkin tidak tahu kalo band reggae berkualitas di Jogja bisa dihitung dengan jari.
Penampilannya berakhir hampir pukul 1, tentunya saya dan teman saya gak mau melewatkan untuk berfoto dengannya. Haha..yah… ritual wajib pemuja dan idolanya kikik…akhirnya puaaassss.
….hmm..sudah pukul 1, Waktunya kita pulang, Kopi Panas, dan Slamat Malam.

foto lainnya disini

23 Juni 2007

REBEL SHOCKIN

MUSIC REVIEW
REBEL SHOCKIN




Rebel shockin’s career started in the middle of 2003 when Siwe (Vocalist), Toro (Bass), Hper (Guitar) & Dedi (Drum) agreed to create a NU Metal band group, REBEL SHOCKIN. Since 2003 the band has participated to the crowding gigs was attended by the mainstream bands only. Yogyakarta as the hometown is not the only witness of REBEL SHOCKIN’s music but also some other cities in Java. Like the other bands diseases, this band also had changed their crew. Crowded sound from the Drum Department cause they still use additional player until nowadays.

Rabble Shockin was the 1St name for the band but because of the changing crew, it finally became REBEL SHOCKIN that still had the same meaning with the 1St name.

Because of their love to Rage Againts The Machine, it influenced their sense of Music. The tracks such as "Perang" & "Voteless" that they give in their CD demo extremely told about it. From musical side, Their lyrics not only contain of social and political issues but also about the reality of human life. As a plan, one of their songs will be followed in Compilation Album in which the place of the best creation from all of independent bands in yogyakarta. Yeeeaaaahhhh…. We’ll wait. Shock ‘em all REBELLll!!!!.

rebel shockin official myspace page

16 Juni 2007

DREADLOCK

Mari “budayakan” DREADLOCK
Werds by ex a.k.a echal

Bob Marley mungkin gak pernah menyangka kalo model rambut dreadlocknya bakal diikutin banyak orang sekarang ini… Model rambut dreadlock (sebutan untuk gimbal) yang awalnya merupakan identitas dari para Rastafarian (pengikut rasta) kini telah digandrungi oleh berbagai kalangan. Gak hanya penikmat musik reggae atau seniman saja, namun udah sampe ke kalangan orang kantoran…yeah, believe it or not!! Begitulah kenyataannya. Dreadlock mulai muncul dan eksis di Indonesia pada era 80an. Pada masa awalnya memang masih para pemusik reggae saja yang ber-dreadlock, sebut saja Tony Q Rastafara yang hingga kini masih betah dengan gaya rambut dreadlocknya, sekarang orang-orang dengan gaya rambut dreadlock bisa kita temui dimana saja. Ada suatu kebanggan tersendiri ketika seseorang itu bergimbal. Meski kesan di mata orang-orang awam kalo orang yang gimbalan tu pasti kotor, kumel, gak terurus, slengean dan sebagainya….
Gak sulit koq ngewat Dreadlock!!!
Di negeri asalnya Afrika, Dreadlock merupakan seni mengunci rambut dengan cara memintal atau menganyam rambut. Dalam 2 dekade terakhir teknik “mengunci” rambut ini pun mulai berkembang. Orang-orang mulai bereksperimen dengan menggunakan lem, wax, air laut, bahkan air bir. Namun ada beberapa diantara metode-metode ini yang malah menyebabkan kepala menjadi pusing, berketombe hingga yang paling parah bisa berkutu. Adalah Ipo (dreadlock artist asal jogjakarta) yang kemudian mengenalkan teknik dreadlock baru yakni sasak-sulam-ikat pada tahun 1998. Dengan metode seperti ini kekhawatiran akan tumbuhnya ketombe & kutu pun dapat dihilangkan. Merawat rambut seperti ini ternyata tidak sesulit dibayangkan. Anda (atau saya) hanya perlu rajin keramas dengan shampoo yang biasa dipakai (gak perlu pake shampoo khusus gimbal.. kayaknya juga belum ada shampoo kayak gini) serta vitamin penguat akar rambut. Karena rambut gimbal akan tumbuh dengan sehat apabila perawatannya juga baik.
Mencoba hal-hal baru yang belum pernah anda lakukan bukan suatu tindakan yang salah, apalagi kalo hal-hal tersebut masih positif. Bergimbal mungkin??? Bergimbal tidak akan mempengaruhi kesehatan jiwa anda. Paling hanya mempengaruhi persepsi orang tua pacar terhadap anda…..hehehe….Sempat terlintas dibenak saya.. “kayaknya seru juga kalo semua orang di dunia ini gimbalan”…Hahaha…bayangkanlah!!!.
“Mari budayakan Dreadlock”.

Diambil dari bucks magazine #3 “born and loose control wid the inspiration of Jah”
foto bobmarley juga dicari di mboke
foto lainnya
disini serta koleksi ex

09 Juni 2007

SELERA KACANGAN, MUSIK KACANGAN

yah..(band) kami memang norak, kami emang dari desa. saya hanya kuli bangunan, dia hanya penjual cendol, dia anak petani, dia kuli bangunan….”

Sebuah tayangan infotainment di salah satu tv swasta yang menampilkan fenomena baru dalam Industri Musik Indonesia sore itu, cukup menggelitik saya dan membuat saya tak berhenti terpingkal-pingkal. sosok muda, yang masih terlihat belia, dan tentu saja terlihat sangat norak, mengomentari dengan sangat polosnya dan setengah kaku -karena mungkin baru sekali diwawancarai di tv- tentang kritikan pedas yang mulai berdatangan atas kemunculan mereka. Kangen band. Fenomena baru dari desa yang membuat para kritikus musik mulai ngoceh sana-sini, membuat para pengamen di sepanjang jalan solo dan malioboro menambah list lagu mereka, meramaikan lapak cd-cd bajakan dengan lantunan tembang pop melayu superduper norak, hingga masuk dalam daftar nada dering ponsel teman saya, yang saya rasa selera musiknya tidak begitu buruk sebelum tahu dia suka band ini.
Ini bukan kali pertama industri musik Indonesia dikagetkan dengan kemunculan band norak seperti kangen band. Sepanjang tahun 2006 lalu, media dihiasi dengan “fenomena kampung” lainnya, bernama Radja. Radio-radio anak muda lokal mendengarkan Benci Bilang Cinta, dan menempatkan lagu ini di chart tertinggi lagu-lagu Indonesia. Semua stasiun tv swasta memutarkan klip-klip dari band ini, sampai-sampai stasiun tv khusus musik, Mtv, tidak mau kalah dalam frekwensi pemutaran klip-klip radja. Majalah-majalah anak muda menghiasi kover depannya dengan foto personil band kampung ini, hingga memuat liputan-liputan terhangatnya. Wajah Ian kasela, vokalis band radja, yang lebih mirip tukang pijat tuna netra daripada vokalis band rock, menghiasi seluruh tayangan infotainment yang memuat berita tentang kontroversi dia dan band kampungnya.
Album “untuk semua” yang baru dirilis band kampung ini pada maret 2007 lalu (konon) meraih double platinum hanya dalam hitungan minggu untuk penjualan diatas 300.000 copy. Sedangkan rekan sesama band norak, kangen band, menembus angka 153.000 copy untuk penjualan album pertama mereka yang demi tuhan, saya tak tega mendengarnya. Angka yang cukup mengagetkan untuk sebuah band baru apalagi untuk band norak dan kampungan seperti mereka. Ditambah lagi ternyata nama band kampung ini sudah lebih dulu dikenal karena penjualan album bajakannya sebelum mereka di-sign Warner music Indonesia. Hey..apa yang terjadi dengan kondisi industri musik di negeri ini?? Apakah memang kangen band dan radja lebih mewakili selera musik masyarakat Indonesia umumnya?? Ataukah masyarakat Indonesia lebih menyenangi lagu-lagu pop melayu menggelikan seperti itu?? Sampai kapan kita akan terus dibayang-bayangi oleh karya-karya buruk yang terus saja didukung media lokal?? ah..sungguh memprihatinkan, mengingat banyak talenta-talenta dengan musik yang berkualitas diluar sana. Sementara raksasa-raksasa label musik terus saja memanfaatkan selera pasar yang homogen, dan terus saja melakukan pembodohan melalui pendengaran kita.
Wenz rawk, editor majalah musik ternama Rolling Stones, dan juga manager dari band new wave The Upstairs, dalam sebuah kesempatan wawancara menyatakan “sebenarnya selera masyarakat musik Indonesia sudah baik, hanya saja diperburuk lagi dengan adanya radja”. Sebuah komentar pedas yang memang pantas apabila diucapkan orang-orang berkompeten seperti dia. David Naif bahkan sempat berkomentar “Tega bener, mau dikemanain musik Indonesia . Kangen Band…please deh!, jangan band-band kayak gitu lagi yang dikeluarin” (kapanlagi.com). Hampir senada dengan Wenz rawk serta David Naif, gitaris dari band screamo Uncle James, Ari, dalam sebuah perbincangan ringan dengan saya, dengan santainya mengatakan “kalo pengen bikin band tenar di Indonesia ini gampang aja…bikin aja band yang senorak-noraknya… bikin lagu norak, nama band norak, pake baju norak, pokoknya semuanya serba norak. Pasti bandnya bakal terkenal”. Ungkapan kekesalan yang lebih pada ketidakpuasan dari seorang pelaku musik, akan kondisi industri musik di negeri ini.
-x-