27 Desember 2013

Lajulah!

"Jadi buka pake gunting, sambil diputar pelan-pelan tutup tangkinya.." jelas Ridho tentang cara membuka tangki motor Suzuki Thunder tak berkunci milik Bu Masnah. Untuk menyalakan motornya, kita hanya perlu menyambungkan 2 kabel yang sudah diposisikan di dekat setang.

Pagi ini saya akan mengantar kiki ke Ujung Tanjung, kurang lebih 4 km melewati jalanan jahat dari Selapan Ulu. Ridho melepas kami dengan senyum menyeringai. Tahu betul kami akan melewati jalanan jahat.

Kami memang menemui jalanan jahat, hujan kemarin menyisakan jalanan becek dan licin di beberapa tempat. Namun kami tak sampai tergelincir, apalagi terjatuh di rawa.

Di hari selanjutnya saya mulai terbiasa dengan motor itu. Juga terbiasa dengan jalanan jahat. Dan terbiasa dengan senyum ayuk-ayuknya. Palembang dan wilayah sekitarnya beda-beda tipis dengan bandung: walaupun sebagian jalanan jahat, berlubang, macet, dan berdebu, tapi senyum ayuk-ayuknya bisa bikin kita lupa masalah. :D

Wajah-wajah yang saya temui di jalanan, pasar sayur, pelabuhan speed boat, indomaret dan gang-gang kayu, tak lagi terasa asing.

Saya mulai terbiasa dengan bau para yang sejak puluhan meter sebelum memasuki Ujung Tanjung sudah tercium. Juga terbiasa dengan masakan ayuk di rumah. Sambalnya mantap nian! pas dengan ikan sepat, gabus, bandeng dan udang bikinannya.

Saya juga mulai nyaman dengan cara memanggil orang dusun, seperti bu Masnah memanggil anaknya, "Ipaaann Ooooiii Ipaann.."

Juga semakin nyaman dengan "Lajulah!"

Oiya, ayuk Maya -perempuan jawa ayu, yang kadang perayu dan kalau malu suka menutupi wajahnya dengan apapun itu- katanya bisa masak. Saya belum pernah mencoba masakannya, tapi dia tahu kapan saat yang tepat untuk menyuguhkan kopi nikmat.

Sudah 10 hari di Palembang dan delapan hari di Selapan. Rasanya saya mulai betah di sini.

20/12/13

Rantau Lurus

Kurang semenit dari 5:50 saya terkaget bangun oleh alarm alam: ayam berkokok seperti tepat di kuping! Alarm yang sudah saya set kalah 17 menit oleh ayam yang posisinya hanya dibatasi dinding papan setebal 2 cm.

Pagi ini saya terbangun di rumah pak WR, transmigran asal Banyuwangi yang sudah mendiami Rantau Lurus sejak 1975. Kabut masih menyelimuti petak-petak sawah dan rumah walet di samping rumah pak WR. Matahari tampak meninggi dengan malu-malu. "Tanda-tanda mau dapat rejeki nih. Pagi-pagi sudah dapat duit," kata pak WR yang pada 6:19 sudah menerima tamu pertamanya.

"Sudah pernah lihat?" tanya pak WR sambil menunjukkan sarang burung walet. "Ini sekarang sekilo sudah 7 juta. Kalau di Ternate belum ada bikin lah. Di sini 1 desa ada sekitar 250 rumah walet."

Rumah walet mudah ditemui di desa-desa pantai timur. Rumah papan berlantai dua/tiga yang umumnya dilapisi karpet hitam di sisi luar. Di lantai teratas terdapat ventilasi persegi yang sudah dipasangi speaker. Dari speaker itulah suara burung berkicau sepanjang hari untuk memanggil walet agar membuat sarangnya di sana.

***

Hujan deras dan angin kencang menyapu rantau lurus siang ini. Kawanan anak SD yang baru pulang sekolah terjebak di pepohonan di depan rumah pak Helmi. Saya memanggil anak-anak itu untuk berteduh. Mereka menuruti, mendatangi rumah pak Helmi, mengeluarkan tas yang disimpan dibalik kemeja dan menaruhnya di teras, lantas berlari lagi ke halaman: mandi hujan! Ah bagian itu membawa saya terbang ke masohi di 90an. Terima kasih Tuhan untuk masa kecil yang seru.

Jalanan/gang-gang di rantau lurus sekilas tak asing. Jalanan tanah dengan pepohonan berjejer nyaris rapi di kedua sisi, juga parit/ kanal-kanal kecil di sepanjang gang. Mirip wallpaper bawaan windows XP dulu itulah. Tapi versi kampung di Indonesia. Rantau lurus adalah satuan pemukiman yang terletak di Antara sungai Pedada dan sungai Lumpur dengan kanal besar membelah dusun. Ada 3 jembatan besi yang melintang di atas kanal itu.

Menjelang maghrib saya bergegas meninggalkan rumah  pak ahmad. Rumah panggung hampir roboh yang lantainya sudah nyaris setinggi rawa.

Saya tepat berada di atas jembatan besi penghubung dusun saat adzan berkumandang. Saya berhenti sejenak, menyimak adzan merdu yang membuat senja ini begitu syahdu. Taka da semburat jingga sejauh mata memandang. Tapi dari jembatan, refleksi bulan penuh terlihat begitu cantik di ketenangan kanal.

Sebelum gelap pekat menyergap, saya kembali menyusuri jalanan jahat dengan kaki telanjang menuju rumah.

16/12/13

Adios Kuala 12!

Hari ini juga dimulai pagi-pagi. Saya bangun sejak 6, namun kesadaran saya belum 9 meski sudah menyeruput kopi sachet-an bikinan ayuk.

Hujan desember yg menyiram Kuala Dua Belas sejak subuh belum reda. Inilah hujan yg tak dihujat seperti di kota. Di sini, air untuk minum dan memasak bersumber dari hujan. Kalau lebih bolehlah untuk mandi pula.

Seseorang mengabarkan bahwa Pak Artoni, kades Kuala Dua Belas, sudah datang dan ada di rumah kadus. Maka meluncurlah kami dengan speed.

Rumah kadus ada di ujung jeramba (titian kayu) yg melintang sepanjang 470 meter. Kami mewawancarai Pak Artoni di sana. Juga makan siang. Kali ini dengan mujair dan udang sungai yg masih segar-segar. Lagi-lagi, keramahan perkampungan pantai timur Sumatera.

Selepas makan siang kami akan meninggalkan Kuala Dua Belas. Pak Artoni berbaik hati mengantarkan kami dengan speed dinasnya. Speed berwarna merah-kuning-hijau dengan kutipan lagu lama pada bodynya "jangan ada dusta antara kita."

Menjelang 12, speed bermesin 60 PK itu bertolak membelah muara. Adios Kuala Dua Belas!

15/12/13

24 Desember 2013

Hari ke-2 di Kuala Dua Belas

Belum genap pukul 7, pagi ini kami sudah berada di speed lagi. Jeri akan mengantar kami ke Penangkis. Awalnya dia akan mengantarkan kami dengan ketek, tapi untuk alasan keselamatan (tak ada yang bisa berenang), maka dia memilih speed.

Hanya sebentar menyusuri sungai kuala 12, speed berbelok ke kanal yang mengarah ke penangkis. Di sini kami mendapati seekor monyet yang sedang asik bergelantungan. Burung-burung terbang rendah. Bangau-bangau berpose cantik di tepian tambak-tambak yang terhampar luas. Tampak 1-2 rumah di kejauhan, diantara tambak-tambak itu.

Tapi air di kanal masih terlalu surut untuk dilalui speed. Maka kami kembali untuk mengganti ketek, dengan segala resikonya.

Kali ini Pak Yonsong yang akan mengambil-alih kemudi. Sambil menunggu Pak Yonsong datang, saya berbincang dengan anaknya Jum, yang kabarnya tak begitu waras.

"Kakak orang mana?" tanya saya.

"Sulawesi."

"Bugis?"

"Iya di sini mayoritas Bugis. Kalo di seberang sana komunis." kata Jum sambil tergelak.
Tapi saya tidak menganggap Jum tak waras, hanya selera humornya cukup unik. Dan orangnya pun baik.

"Mau kemana?" tanya Jum saat melihat saya akan beranjak.

"Penangkis."

"Hati-hati di sana banyak monyet," pesan jum.

Perjalanan jadi lebih lambat dengan ketek dibanding speed bermesin 40 PK. Tapi kami jadi lebih menikmati pemandangan. Kami tak menemui lagi monyet bergelantungan. Namun kali ini, burung pelatuk berwarna hijau dan biru keemasan bermanuver di sela-sela pohon nipah menyambut kami.

Hari ini para petani tambak gotong royong memanen udang. Di dekat tambak yang dipanen itu bangau-bangau terbang rendah dan berjejer mendekat.

Menjelang siang air di kanal-kanal sudah pasang dan bisa dilalui ketek dengan mulus. Lajulah kami menyusuri kanal-kanal itu...

14/12/13

Menyalami Pantai Timur

 
Bagi pejalan oportunis yang terlalu sering dibuai kenyamanan kota dan kecanggihan gadget, mendatangi tempat-tempat terpencil adalah pengalaman berharga nan langka. Jadi kami mengabadikan momen dimana pun: mulai dari pelabuhan speed hingga terminal bis antar kota dalam provinsi. Iya, terminal!

Pagi ini, kami berada di dermaga (bom) Selapan, menanti keberangkatan speed yang akan mengantarkan kami ke Kuala Dua Belas, sembari ngopi-ngopi dan berfoto di unjung dermaga.

Kekaguman saya akan tempat ini dimulai saat speed mulai bertolak dari dermaga. Dulu saya selalu beranggapan bahwa tempat tercantik di negeri ini adalah Papua dan Sumba. Ternyata itu karena saya belum pernah menyusuri sungai-sungai di Sumatera saja.

Selepas bom Selapan, beberapa kali kami melewati kampung-kampung yang dibangun di atas rawa/sungai. Ada yang 6 rumah saja, ada pula yang belasan hingga puluhan dengan posisi rumah saling berhadapan di tepian sungai. Tentu saja rumah-rumah itu berbentuk panggung. Banyak pula rumah yang difungsikan sebagai rumah walet.

Kawanan kerbau rawa dengan bangau di atasnya turut mewarnai perjalanan kami. Seringkali kami berpapasan dengan speed lain. Jika speed tidak melambat, maka siap-siap untuk terguncang dan kecipratan gelombang sungai yang pecah akibat hantaman speed.

Setelah 2 jam perjalanan, speed kami melalui sungai yang lebar. Sekitar 50 hingga 100 meter. Kedua sisi sungai dipenuhi pohon-pohon nipah. Speed kami tak terlalu berguncang saat berpapasan dengan speed lain, namun kami harus melaju meliuk-liuk untuk menghindari tanaman eceng gondok dan batang-batang pohon yang mengapung di tengah sungai.

Tak banyak lagi kampung yang kami lewati. Tak lama, tibalah kami di laut. Untuk menuju Kuala Dua Belas, kami harus menyusuri sungai, melewati laut menyentuh selat Bangka, lantas masuk lagi ke sungai. Kali ini burung puntul (bangau berparuh kuning) yang kami temui lebih banyak. Sebagian terbang menghiasi langit, sebagian lagi bertengger di ranting-ranting bakau.

Tak jauh dari muara, tibalah kami di Kuala Dua Belas. Kami langsung menuju rumah pak Burhan, kades Kuala Dua Belas yang lama dan disambut  Jeri, anak lelakinya yang langsung meminta istrinya untuk membuatkan kopi.


"Sudah makan siang?" tanya Jeri yang siang itu menyambut kami di teras rumah, "Kami baru panen udang tadi. Kita makan siang dengan udang ya." 

Begitulah keramahan perkampungan pantai timur sumatera yang kali pertama saya temui.

Maka siang ini, kami makan dengan udang yang baru saja dipanen diiringi paduan suara burung walet: suara burung walet sebenarnya dan rekaman suara burung yang diputar untuk memancing walet-walet itu.


13/12/13