21 Juni 2014

Bolakme

“MINCEEE... ” teriak Dokter Made memanggil pasien selanjutnya.

Mince, pelajar SMP yang malu-malu itu lantas berdiri dari tempat duduk di ruang tunggu Puskesmas Bolakme dan masuk ke ruangan Dokter Made.

“Ko sakit apa?”

“Tangan gatal-gatal,” terang Mince yang datang bertiga dengan temannya yang masih mengenakan seragam SMP.

“Ko tidak sekolah ka?”

“Guru ada di kota.”

Mince adalah siswi SMPN Bolakme –satu-satunya SMP di Distrik Bolakme, yang terletak di tepi kali Baliem yang mengalir deras dan berada tepat di kaki gunung Jugum di kompleks yang sama dengan SMUN Bolakme dan SD Inpres Bolakme.Di sebelah timur terdapat Puskesmas Bolakme, dan di sebelah barat terdapat PLTS Bolakme, Koramil, Polsek yang jarang buka, dan Pasar Bolakme yang buka tiap selasa, kamis dan sabtu.

Sekolahan Mince sudah melangsungkan ujian kenaikan kelas. Minggu ini mereka hanya datang ke sekolah untuk membersihkan rumput di kompleks sekolah yang mulai meninggi, lalu bermain sepak bola dilapangan sekolah yang luas. Dan pulang. Tak semua guru datang. Beberapa guru sedang ada di Wamena, bergabung dengan kelompok guru lainnya dari seluruh Kabupaten Jayawijaya yang berdemo menuntut pemotongan insentif mereka oleh Pemerintah Kabupaten.

Selain Mince dan temannya, ada juga 3 siswa SMPN Bolakme yang datang berobat di Puskesmas. Keluhannya sama: gatal-gatal pada kulit.

“Ko tinggal dimana?” tanya Bidan Desi, yang sehari-hari bertindak sebagai asisten Dokter Made sekaligus melayani loket pendaftaran.

“Di Bem.”

“Dimana itu?”

“Di balik gunung,” jawab pelajar SMP ke-4 yang pagi itu berobat ke Puskesmas Bolakme.

“Baru ko Pesmin?” tanya Bidan Desi ke teman pasien.

“Sa tidak sakit.”

4 pipa air tanpa keran mengalirkan air tanpa henti di belakang Puskesmas. Aliran air itu bersumber dari mata air yang terletak tak jauh dari Puskesmas. Selain Puskesmas Bolakme, Kantor Distrik, kompleks sekolahan, kantor Polsek dan Koramil, serta Kampung Bolakme dan Wenamela juga dialiri air tersebut. Air melimpah di sini.

Tapi tidak untuk listrik dan sinyal ponsel. Sinyal menjadi barang mewah di Bolakme. Untuk bisa –setidaknya- menerima SMS atau telpon, kita harus mendatangai spot-spot tertentu di jalanan desa yang sedikit mendaki. Menara BTS telkomsel terdekat berada di Distrik Hom-Hom, Kota Wamena, 45 km dari Bolakme.

Listrik dari PLN belum menjangkau semua distrik di Lembah Baliem. Di Distrik Bolakme, listrik bersumber dari PLTS dan solar cell yang terdapat di rumah-rumah warga. PLTS Bolakme yang memiliki panel matahari seluas separuh lapangan futsal hanya mengalirkan listrik ke kantor Distrik, Koramil, Polsek, dan sebagian rumah di kampung Bolakme.

Dulunya Puskesmas Bolakme dan kompleks sekolah teraliri listrik dari PLTS, namun pemuda-pemuda kampung yang nakal memutuskan kabel listrik yang melintang di kompleks sekolahan.

Menurut informasi beberapa pihak, Bolakme termasuk wilayah Ring 3. Zona merah. Zona dimana POS PAMRAHWAN ditempatkan.

Dua siswi lain yang mencuci tangan di pipa air merapat dekat ke pintu belakang, mencuri-curi pandang ke dalam Puskesmas dan malu-malu melihat lelaki asing yang duduk di ujung bangku panjang danmenebarkan senyum ke siapa saja.

Syahdan, kedua siswi yang bernama Mance Tabuni dan Debi Wenda itu berlari kecil dan duduk di bangku panjang di ruang tunggu pasien.

“Kam dua sakit?” tanya Dokter Made.

“Iya.” Kata Debi Wenda.

“Tunggu e.”

Sudah 30 menit, Dokter Made dan Michael bergantian melayani 10 pasien: 7 pelajar SMP, 1 ibu muda dan 2 lelaki tua yang mengeluh gatal-gatal.

Perempuan tua yang mengantar anaknya, mondar-mandir menunggu anaknya diperiksa. Mengenakan kaos biru, rok merah, topi kupluk merah-kuning-hijau, menyilangkan di bahu noken lusuh yang sobek di bagian bawah dan tak menggunakan alas kaki. Anaknya –yang diperiksa sambil menggendong bayi- dilayani lebih lama dibanding pasien lainnya, bahkan hingga pintu depan Puskesmas sudah ditutup.

“Baru suaminya ada dimana?” tanya Dokter Michael, “Besok suruh ke sini ya, mau saya kasi obat.”

Puskesmas Bolakme terletak di antara SMPN Bolakme dan Kantor Desa Lani Timur. Di kompleks Puskesmas terdapat gedung puskesmas rawat jalan, gedung rawat inap yang tak difungsikan, serta perumahan untuk dokter –yang sesekali ditinggali, bidan, perawat dan kepala Puskesmas. Dikelilingi pagar kayu besi yang di bagian atasnya ditumpuk rerumputan kering dan ranting pohon kasuari yang ditumbuhi bunga terompet ungu. Pintu masuknya berbentuk gapura melengkung yang juga diatapi alang-alang. Banyak kompleks rumah honai, kantor, gereja  dan sekolah di distrik-distrik di Kabupaten Jayawijaya berpagar dan bergapura alang-alang seperti itu. Alang-alang yang juga dipakai untuk atap honai.

Halaman Puskesmas yang tidak terawat dipenuhi rerumputan. Juga pohon-pohon kasuari yang meneduhkan. Di samping Puskesmas, ambulans yang baru berumur 3 tahun teronggok tak terpakai.

Suara aliran air dan gemuruh angin yang bertiup di sela dedaunan pohon kasuari menghadirkan paduan suara alam yang khas.

“Su siang bapa,” kata Dokter Made ke Enos Tabuni yang baru datang. Pintu depan Puskesmas sudah 20 menit lalu ditutup Dokter Michael yang setelahnya hanya melayani 1 pasien yang harus didampingi Perawat John sebagai penerjemah. Siang ini Dokter Michael juga berencana ke Kantor Dinas Kesehatan.

Tapi Dokter Made tetap melayani Enos Tabuni. Setelah diberi obat dan petunjuk meminum obat oleh Dokter Made, Enos Tabuni lalu berjalan ke luar dan hendak meminum obat dengan air dari pipa di belakang Puskesmas.

“Bapaaaaa.. makan epere dulu baru minum obaaat!!!” Teriak Dokter Made sambil berlari ke ujung pintu, dan tergelak.

Telat. Obat telah tertelan.

Saat hendak beranjak pulang, kedua dokter muda itu, Bidan Desmi dan Perawat John didatangi 2 pasien bermarga Tabuni yang berjalan tanpa alas kaki dari Desa Munak yang berjarak 5 km dari Puskesmas.

“Bapa sakit apa?”

“Gatal-gatal.”

“Kasih obat saja.” Kata Dokter Michael.

“Bapa mandi ka tidak?” tanya Dokter Made sambil mengemut lolipop.

Kedua pasien terakhir itu datang pada pukul 12.20, hampir 1 jam setelah pintu depan Puskesmas ditutup. Saat Dokter Made sudah mengenakan sweater dan menggendong tas punggungnya, siap-siap untuk pulang.

Pada spanduk yang dipasang di ruang tunggu, tertera jam buka-tutup Puskesmas: 09.00 – 13.00 WIT.


Bolakme, 28 Mei 2014.

13 Juni 2014

Wamena


Kali pertama saya menyaksikan magisnya Danau Sentani dari udara adalah pada 17 mei 2012. Hari ini, 2 tahun lewat 2 hari, untuk kali kedua saya ke Papua. Perjalanan kali ini menjadi lebih menarik karena tujuan kami Kabupaten Jayawijaya dan perjalanan Jogja-Jayapura menggunakan Garuda Indonesia! :D 

Biasanya untuk perjalanan antar pulau kami menumpang maskapai LCC, maka melihat kode GA di tiket adalah hal yang menyenangkan. Awalnya, kami dijadwalkan berangkat pukul 20.30, namun GA 254 yang kami tumpangi baru bisa membawa kami ke Denpasar pukul 23.00. Telat 2,5 jam!

Tapi keterlambatan 2,5 jam itu terlupakan seketika saat kami mengudara. “Garuda Indonesia Experience” langsung terasa ketika kita duduk di bangku penumpang dan lagu Bengawan Solo sentuhan Addie MS terdengar sayup mengalun. Pelayanan Garuda memang kelas 1. Kelas ekonominya memang juara. Wajar sekali Emirsyah Satar bercerita dengan bangga tentang pelayanan kelas ekonomi Garuda yang dilabeli terbaik sedunia oleh Skytrax itu. Pramugarinya pun ramah-ramah, tak hanya sekedar basa-basi. Rasanya pramugari maskapai lokal lain perlu di-training di Garuda biar tidak jutek dan seadanya dalam melayani –LCC sekalipun. 

Pesawat kami tiba di Bandar Udara Sentani pukul 9 pagi, setelah sebelumnya transit dulu di Timika. Danau Sentani masih menyuguhkan kemagisan yang sama, yang membuat pasang-pasang mata kami menjelajah lekukan bukit-bukit hijau dan danau itu sebelum mendarat.

Perjalanan Jayapura (DJJ) – Wamena (WMX) baru dilakukan pukul 3 sore menggunakan pesawat ATR Trigana Air. Pindah dari kabin Garuda yang nyaman ke Trigana rasanya seperti pindah dari Surga ke Ghana. Dari pelayanan kelas 1 ke pelayanan yang.. ya begitulah. Dari pesawat dengan tempat duduk yang kulit joknya pun bersertifikasi internasional ke tempat duduk berstandar pelosok yang bisa kita pilih semaunya di dalam pesawat, seperti penerbangan maskapai apapun dari Ternate ke Sanana. 

Tapi maskapai macam Trigana Air berjasa menghubungkan Jayapura dengan kota-kota kecil di Papua yang sulit ditempuh lewat jalan darat. Dalam sehari ada 6 penerbangan PP Jayapura – Wamena, dan 10 penerbangan untuk pesawat khusus kargo.

Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus begitu tiba di Wamena –setelah sebelumnya terbang rendah diantara pegunungan di Lembah Baliem. Saat tiba, kami disambut 2 pelangi cantik yang di muncul di balik bukit kecil di utara dan timur bandara. Pemandangan yang mengingatkan saya akan foto pelangi kembar milik Pak Dayat, dan lanskap yang membuat saya merasa ada di set film Denias. 

Sebagai salah satu pintu masuk Jayawijaya, Bandar Udara Wamena rasanya cukup mewakili ketertinggalan Jayawijaya. Bandara bertipe sangat sederhana sekali. Bahkan terlihat seperti bandara darurat. Ruang keberangkatan/check-in yang menjadi satu dengan ruang kedatangan adalah bangunan beratap dan berdinding seng yang dicat coklat keki dan berlantai semen kasar. Ruang keberangkatan memang dilengkapi detector dan ruang tunggu dengan kursi panjang yang tersusun rapi. Tapi di ruang kedatangan, tak ada conveyor untuk mempermudah proses pengambilan bagasi. Pengambilan bagasi dilayani secara manual: langsung diambil ke petugas yang mengangkutnya dengan kereta/gerobak besi.

Ruang keberangkatan/kedatangan berada 1 halaman dengan Kantor Polsek KPPP Udara Wamena, tapi penjagaan bandara tak ketat. Setiap orang bebas masuk bandara. Saat pesawat mendarat kita bisa mendapati sekumpulan orang sedang menunggu di pinggir landasan untuk selanjutnya melintasi landasan pacu. 

Berada di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut, Wamena terletak di Lembah Baliem yang berhawa sejuk dan bersahabat. Dikepung pegunungan dan bukit-bukit yang berjejer merapat menyembah langit.

Di setiap tempat yang saya kunjungi, hal utama yang selalu saya harapkan adalah senyum dari orang yang saya temui. Senyum pertama yang saya dapatkan kali ini adalah senyum mama penjual bunga pandi, buah markisa, pinang dan kelapa hutan yang berjualan sambil menyulam noken di depan kantor Polsek UKPP Bandara Wamena. 

Walau perjumpaan pertama, Wamena terasa bagai peluk hangat kawan lama.


(19 Mei 2014)
Baliem, lembah pelangi.