08 Desember 2012

Pesta Babi, Kambing dan Menari di Malam Perpisahan


Terima kasih Gelakoko dan Ketoka, karena 2 kampung itu, citra babi yang selama ini ditampilkan jorok di Shaun the Sheep sedikit terdistorsi. Di Gelakoko saya mendapati kawanan anak babi (seukuran celengan) berwarna putih berkejaran-kerjaran dengan lucunya. Macam kartun. Sedang di Ketoka saya menyaksikan seekor babi besar yang dipotong untuk makan bersama di perkawinan adat Sumba.

Tak seperti menyembelih sapi, kambing, atau ayam yang pernah saya lihat. Pemotongan babi caranya sungguh unik –setidaknya bagi saya. Babi yang masih hidup kedua kakinya diikat pada sepotong bambu, lantas 2 orang memegang kedua sisi bambu dan mengangkatnya setinggi bahu. Babi sudah dalam posisi berdiri, dan sang penjagal hanya perlu satu tusukan parang tajam yang langsung menghujam ke jantung babi. SLEB! Babi besar itu pun mati. Setelahnya babi itu dibelah, dikeluarkan isi perutnya, lantas dibakar. Babi yang sudah dibakar kemudian dipotong kecil, ada yang dibagi ke keluarga/tetangga, ada yang selanjutnya diolah lagi untuk disantap bersama.

07 Desember 2012

Ketagihan Kopi


“Tidak minum kopi, Ama?” tanya Mama Desa saat melihat gelas kopi saya belum tersentuh. Itu kalimat pertama yang meluncur dari Mama Desa ke saya, yang sore itu bersama rombongan baru tiba di Tana Rara, juga kalimat yang mengantar saya untuk mencicipi kopi paling nikmat sedunia untuk pertama kalinya. 

06 Desember 2012

Pahapa/Pamama


Kumpulan pinang, sirih dan kapur ini di Sumba Timur disebut Pahapa, sedang di Sumba Barat disebut Pamama.

Menurut pendeta Petrus, di Sumba, menyuguhkan Pahapa/Pamama adalah simbol penghormatan dari tuan rumah ke sang tamu. Karenanya saat pertama kali tiba di Praihambuli (Sumba Timur), Bapa Desa yang menyambut kami dengan Mama Desa, serta kawanan anjing dan babi, menyuguhkan Pahapa. Kami semua mencobanya, meski saat itu hanya ada pinang kering tanpa sirih dan kapur. Saya mengambil dua keping pinang kering dan mencoba satunya: Sepet! Dan langsung membuangnya, keping satunya lagi saya kantungi di celana jeans yang tak saya cuci selama 2 minggu di Sumba. Setiba di Jogja kepingan pinang kering itu masih ada di saku yang sama dan masih saya simpan.

05 Desember 2012

Membelah Savana Sumba


3 hari setelah tiba di Jogja, saya dihubungi Eddie Jalirni dan ditawari ke NTT. Saya langsung mengiyakan. Besoknya saya, bang Eddie dan Eva sudah ada di bandara untuk menuju ke Kupang dan bergabung dengan tim NTT. Saya menyukai pekerjaan ini karena menganggap ini lebih seperti jalan-jalan. Mendatangi tempat baru, menemui orang-orang baru, mewawancarai dan tahu sedikit tentang kehidupan mereka itu menyenangkan –apapun keadaan yang nanti kami temui.

Setelah bermalam di Kupang, perjalanan kami lanjutkan ke Waingapu, yang sehari sebelumnya baru saja di kunjungi Pak SBY untuk meresmikan peternakan sapi besar milik BUMN. Dari Waingapu perjalanan dilanjutkan lewat darat menuju Desa Praihambuli yang berada di wilayah Sumba Timur. Melewati bukit-bukit savana yang indah di kiri-kanan. Sesekali kami menjumpai kuda-kuda di pinggir jalan --termasuk kuda dalam bentuk patung di batas kota.

Kuda begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Sumba. Selain diabadikan dalam bentuk patung dan logo untuk Gereja Kristen Sumba, di bangku SMP Nggaha Ori Angu pun ada siswa yang menggambar kuda. Di Praihambuli, para petani menunggang kuda untuk pergi ke kebun dan menggembala sapi dan kerbau.

04 Desember 2012

Sepotong Senja di Perbatasan


Tempat kami tinggal di SP 9, Yabamaru, Distrik Tanah Miring, Merauke adalah jalan pulang ratusan burung setiap petang. Disini, matahari terbenam tepat di jalan utama kampung yang tiap harinya kami lewati.


03 Desember 2012

Buah Spesial dari Tanah Spesial: Matoa


Betapa beruntungnya kami, saat berada di Kantumilena warga setempat –yang kebanyakan berprofesi sebagai petanisedang panen Matoa. Alhasil, buah yang paling sering kami cicipi adalah matoa, bukan pinang. Setiap pagi mama-mama yang bertugas memasak makanan kami membawa 1 ember penuh matoa yang selalu habis di hari yang sama.

Matoa selalu jadi rebutan. Siapa yang telat makan siang, bisa dipastikan dia tak kebagian matoa, kalaupun kebagian itu hanya sisa-sisa. Saya tak tahu apakah matoa juga tumbuh di pulau selain Papua, yang pasti ini pertama kalinya saya mencicipi matoa.

02 Desember 2012

Kantumilena


“Sekarang sedang dibuka jalan di atas sana,” kata Barnabas Demena sembari menunjuk ke bukit di atas Kantumilena, “Nanti kalau anak kembali lagi ke sini sudah bisa lewat jalan darat.”

Kantumilena (kini bernama Endokisi) adalah kampung di distrik Yokari, kabupaten Jayapura. Untuk mencapai Kantumilena, dari kota Jayapura bisa ditempuh lewat jalur darat selama kurang lebih 2 jam menuju Depapre, lantas dilanjut menggunakan jonson (perahu motor) selama 30 menit. Belum ada jalan darat yang langsung mencapai Kantumilena, hingga kampung yang ada di pesisir utara Papua itu terkesan seperti ada di lain pulau.

01 Desember 2012

Onomi Fokha

 
Saat pesawat yang kami tumpangi akan mendarat di Bandara Sentani, kami menoleh ke jendela dan terpukau. Gugusan pulau-pulau dengan bukit-bukit hijau itu sungguh mengagumkan. Saya menyangka perairan yang memisahkan pulau-pulau itu lautan, ternyata itu danau. Danau Sentani.

Hari itu, 17 Mei 2012, hari pertama saya menginjakkan kaki di Papua.