05 Desember 2012

Membelah Savana Sumba


3 hari setelah tiba di Jogja, saya dihubungi Eddie Jalirni dan ditawari ke NTT. Saya langsung mengiyakan. Besoknya saya, bang Eddie dan Eva sudah ada di bandara untuk menuju ke Kupang dan bergabung dengan tim NTT. Saya menyukai pekerjaan ini karena menganggap ini lebih seperti jalan-jalan. Mendatangi tempat baru, menemui orang-orang baru, mewawancarai dan tahu sedikit tentang kehidupan mereka itu menyenangkan –apapun keadaan yang nanti kami temui.

Setelah bermalam di Kupang, perjalanan kami lanjutkan ke Waingapu, yang sehari sebelumnya baru saja di kunjungi Pak SBY untuk meresmikan peternakan sapi besar milik BUMN. Dari Waingapu perjalanan dilanjutkan lewat darat menuju Desa Praihambuli yang berada di wilayah Sumba Timur. Melewati bukit-bukit savana yang indah di kiri-kanan. Sesekali kami menjumpai kuda-kuda di pinggir jalan --termasuk kuda dalam bentuk patung di batas kota.

Kuda begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Sumba. Selain diabadikan dalam bentuk patung dan logo untuk Gereja Kristen Sumba, di bangku SMP Nggaha Ori Angu pun ada siswa yang menggambar kuda. Di Praihambuli, para petani menunggang kuda untuk pergi ke kebun dan menggembala sapi dan kerbau.

Sumber Air Tidak Begitu Jauh

Praihambuli yang terletak di dataran tinggi, berhawa sejuk. Pukul 6 pagi, kabut masih menyelimuti bukit-bukit di belakang kampung. Dan jika beruntung, kita bisa mendapati kawanan kuda yang dilepas liar di atas bukit itu.

Seperti sebagian tempat di NTT, Praihambuli juga mengalami krisis air. Ada sumur-sumur lengkap dengan fasilitas MCK yang bisa digunakan untuk umum. Namun banyak pula sumur kering di sana. Pak Petrus, tokoh masyarakat setempat mengeluhkan hal itu dan menunjukkan kepada saya salah satu sumurnya, "Saya sudah gali 15 meter dan tak ada air," keluhnya.

Karena krisis air banyak petani yang hanya bisa panen padi setahun sekali di ladangnya --itu juga bila tak gagal panen akibat gangguan hama.

Setali tiga uang dengan Praihambuli, Tana Rara yang berada di Sumba Barat --4 jam perjalanan darat dari Praihambuli-- juga mengalami hal yang sama. Tak ada sumur-sumur pribadi milik warga, tapi ada 2 sumber air utama di desa itu yang letaknya yah tidak begitu jauh. Dari balai desa, kurang lebih 50 meter untuk menjangkau mata air. Sedang dari kampung Gelakoko kurang lebih 2 km melewati bukit untuk bisa mencapai mata air. 

Silakan kaget jika hendak buang air kecil di Gelakoko dan tak menemukan setetes air pun di WC darurat mereka. Air hanya digunakan untuk minum. Aktivitas MCK biasanya langsung dilakukan di mata air. Ada 2 mata air yang letaknya berdekatan, namun satunya yang dikelilingi pohon bambu dikeramatkan. Jadi warga hanya memanfaatkan mata air lain yang sudah dibuatkan bak penampung. Biasanya warga yang hendak mandi sudah membawa beberapa beberapa jerigen yang nantinya diisi untuk persediaan air minum mereka.

Kampung Adat Gelakoko & Ketoka


Di Tana Rara, terdapat 2 kampung adat dengan karakteristik serupa; kampung yang dikelilingi rumah-rumah panggung tradisional dengan ditengahnya terdapat sarkofagus, dan berada di puncak bukit. Kedua kampung itu adalah Gelakoko dan Ketoka.

Ketoka tak begitu jauh dari balai desa Tana Rara, kurang lebih 100 meter, namun harus dicapai dengan mendaki. Ada 6 rumah panggung yang tersusun membentuk lingkaran di Ketoka, di tengahnya terdapat beberapa sarkofagus, yang salah satunya merupakan makam orang pertama yang mendiami Tana Rara.

Pada sarkofagus-sarkofagus yang berukuran besar ada yang memuat relief kepala kerbau di bagian depan, dan buntut kerbau  di bagian belakang. Mereka percaya, bahwa kerbau adalah hewan yang akan membawa mereka ke peristirahatan selanjutnya setelah mati.

Gelakoko yang merupakan kampung adat terbesar terletak agak jauh, -/+ 2 km dari balai desa Tana Rara. Kini telah dibangun jalan aspal sehingga bisa mencapai Gelakoko dengan kendaraan bermotor. Di Gelakoko terdapat lebih dari 10 rumah panggung tradisional yang masing-masing memiliki kandang babi di bawah rumahnya. Sebagian besar penghuni Gelakoko adalah petani dan beraliran kepercayaan Marapu.

Dan yang membedakan dengan Ketoka, Gelakoko masih mempunya Rato (ketua adat) yang memimpin upacara-upacara adat. Ada dua rato yang rumahnya saling berhadapan, dengan di tengahnya terdapat rumah dima (rumah pamali) yang hanya boleh dimasuki oleh Rato hanya pada saat-saat tertentu. Rato-rato itu pun bikin dipilih, melainkan keturunan dari Rato sebelumnya. Salah satunya adalah Rato Bura Rere yang kini tlah berusia -/+ 80 tahun.


Tidak ada komentar: