06 Desember 2012

Pahapa/Pamama


Kumpulan pinang, sirih dan kapur ini di Sumba Timur disebut Pahapa, sedang di Sumba Barat disebut Pamama.

Menurut pendeta Petrus, di Sumba, menyuguhkan Pahapa/Pamama adalah simbol penghormatan dari tuan rumah ke sang tamu. Karenanya saat pertama kali tiba di Praihambuli (Sumba Timur), Bapa Desa yang menyambut kami dengan Mama Desa, serta kawanan anjing dan babi, menyuguhkan Pahapa. Kami semua mencobanya, meski saat itu hanya ada pinang kering tanpa sirih dan kapur. Saya mengambil dua keping pinang kering dan mencoba satunya: Sepet! Dan langsung membuangnya, keping satunya lagi saya kantungi di celana jeans yang tak saya cuci selama 2 minggu di Sumba. Setiba di Jogja kepingan pinang kering itu masih ada di saku yang sama dan masih saya simpan.

Perjumpaan kembali dengan Pahapa terjadi di rumah pendeta Petrus masih di Praihambuli. Karena tak enak setelah setelah dijelaskan makna Pahapa akhirnya saya mencobanya. Kali ini lebih baik karena ada sirih dan kapur. Rasa sepet pinang kering bercampur dengan rasa kapur dan sirih, membuat saya lebih menikmati. Dan saat saya meludah: Merah! Untuk pemula seperti saya, bagian paling seru dari sesi makan pinang adalah saat melihat ludah kita berwarna merah. :D Saya mencoba lagi, dan lagi, dan mengabadikan foto wajah dengan bibir merah sebagai bukti saya telah mencicipi pinang. :D Pak pendeta Petrus sang tuan rumah, tampak senang melihat kami menikmati pahapa.

Sesi makan pinang kembali terjadi di Tana Rara, di rumah Martin Routa Bili, keluarga pertama yang saya kunjungi. Selain menyuguhkan kopi, istri Pak Martin juga menyuguhkan Pamama –yang kali ini dengan buah pinang yang tidak dikeringkan dan tidak dipotong kecil seperti di Sumba Timur alias buah pinang utuh. Karena terlalu bersemangat saya pun langsung mencicipi pamama, dan hasilnya: selain ludah berwarna merah saya pun mabuk!

Makan pinang untuk pemula belum lengkap tanpa ludah merah dan mabuk pinang. Saya paripurna. :D


Tidak ada komentar: