26 Maret 2014

Sumber Air Masih di Situ-situ Saja


Yunus Tafuli, Kepala Sekolah SD Inpres Naimetan, Kuanfatu, sedang dalam penerbangan menuju Jakarta saat dirinya berkenalan dengan Agnes yang bekerja di stasiun TV. Di perjalanan Yunus berbagi cerita tentang pendidikan dan kehidupan di desa tempat tinggalnya. Agnes tertarik dan mendengar dengan baik cerita dari kepala sekolah berprestasi itu. Tapi kedua teman seperjalanan itu berpisah setiba di Jakarta. Agnes pulang ke rumahnya dan Yunus menuju rumah saudaranya di Lebak Bulus.

Keduanya tak saling menghubungi lagi hingga seminggu setelah Yunus Tafuli pulang ke Kuanfatu. Agnes menghubungi Yunus dan menyatakan ketertarikannya untuk melakukan pengambilan gambar iklan Aqua di tempat tinggal Yunus. Dan Yunus setuju untuk membantu.

Singkatnya, Agnes dan kru lantas terbang ke Kuanfatu di Timor Tengah Selatan.

SD Inpres Naimetan tempat Yunus Tafuli bekerja dipakai untuk set iklan itu. Siswa-siswa SD Inpres Naimetan juga kebagian peran. Salah satunya Deby Tafuli, anak Yunus, talent utama yang kebagian mengucapkan tagline "sekarang sumber air su dekat."

Itu kejadian yang berlangsung di tahun 2011. 3 tahun setelahnya, tepatnya 18 februari 2014, kami mengajak Deby Tafuli untuk mandi di kali sebab di kamar mandi rumahnya tak cukup banyak air.

Sumber air sebenarnya tak jauh. Masih di situ-situ saja. Kali di situ-situ saja. Sumur-sumur di situ-situ saja. Oemata juga di situ-situ saja. Di Timor, Aqua bersama ACF International dan CIS Timor memang membangun banyak sumur. Hanya belum ada saluran pipa air yang terhubung ke masing-masing rumah. Di banyak tempat di Polen, Amanuban maupun Kuan Fatu tak sulit mendapati mama-mama dan bocah-bocah kecil berjalan dengan jerigen dan ember di tangan maupun kepala.

24 Maret 2014

Kefa

Jika ada daftar 100 Nama Anak Terbaik yang diambil dari nama kota, nama-nama tempat di Timor bisa mengisi daftar tersebut. Yah sebut saja, Fatu (dari Kuanfatu), Kefa Menanu dan Atambua. Jadi saya terpikir untuk menamakan anak perempuan saya kelak, Kefa, dari Kefa Menanu. Nama yang cantik pikir saya. Itu sebelum saya tahu artinya.

Saya berkesempatan mengunjungi Kefa 2 kali di hari yang sama. Pertama, saat singgah untuk mengisi bensin di SBPU di depan gereja Petra, lalu malamnya singgah untuk makan tengah malam di rumah makan yang juga tak jauh dari gereja Petra.

Selasa, 11 februari 2014, kami dijadwalkan untuk mengunjungi Fatumnutu. Dari Polen ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Fatumnutu. Pertama, melewati SoE – Kapan – Fatumnutu, atau jalur kedua, dengan melewati Kefa – Eban – Fatumnutu. Karena jalur tempuh pertama lebih jauh, kami memilih jalur kedua dengan melewati kota Kefa, ibukota Timor Tengah Utara. Waktu tempuh menuju Fatumnutu kurang lebih 2 jam melalui jalanan yang masih tergolong cukup baik. Ke Kefa, kita akan melewati jalan yang sama untuk menuju Atambua, jalan negara yang begitu mulus –kecuali di jembatan perbatasan TTS dan TTU. Selain singgah untuk mengisi bensin, pagi itu kami juga menyempatkan untuk mengabadikan momen di Tugu Bi’inmafo. Ini monumen pertama yang akan ditemui saat memasuki kota Kefa. Monumen yang mewakili 3 suku terbesar di Timor Tengah Utara: Biboki, Insana dan Meomafo.

Tak seperti di Sumba, tak ada kopi produksi lokal di Timor, namun (tetap) ada sirih-pinang dan hmm… sopi! :D

Selasa adalah hari pasar di Eban. Banyak penduduk Eban maupun dari desa-desa lain memadati pasar untuk menjual hasil kebun dan membeli keperluan rumah tangga, juga membeli “candu” lain yang tak kalah penting.

“Hari ini banyak yang ‘turun gunung’ hanya untuk beli sirih-pinang dan sopi,” kata Egidius Fallo, pemuda Kefa tulen. “Nanti jangan kaget kalau ketemu orang sempoyongan di jalan.”

Dan memang benar adanya. Di rumah pertama yang saya kunjungi di Fatumnutu, sang tuan rumah menawarkan sirih-pinang. Tentu saja saya menerima tawaran itu dengan senang hati dan memamah pinangnya hingga bibir memerah. Di hari yang sama pula, masih di Fatumnutu, saya hampir saja mewawancarai seorang bapa tua yang sedang mabuk. Bapa tua itu dan teman-temannya baru saja berpesta sopi. Ya, barangkali momen seminggu sekali.

Fatumnutu, yang masih termasuk dalam wilayah kecamatan Polen, terletak di ketinggian. Dari Fatumnutu, mata kita bisa menjelajah jauh dengan leluasa untuk menikmati bentang alam Timor: bukit-bukit hijau nan cantik dan bukit-bukit batu yang kecil namun tampak gagah menantang langit, juga liukan kali Bijeli di kejauhan. Umumnya penduduk Fatumnutu berkebun, dengan jagung sebagai hasil kebun utama. Seperti Konbaki, di Fatumnutu kita masih bisa mendapati rumah-rumah bulat yang digunakan sebagai tempat tinggal, ada juga yang berpagar batu, dengan tanaman jagung memenuhi halaman.

Kami meninggalkan Fatumnutu jam 10 malam dengan perut kosong sebab belum makan malam. Karena tak ada warung yang sepertinya masih buka di sekitar situ, kami memilih untuk makan malam di Kefa. Tiba di Kefa menjelang tengah malam, untung saja masih ada rumah makan yang buka. Rumah makan yang penataan lauknya dibikin seperti rumah makan Minang. Tapi namanya Masagena, nama yang aneh untuk rumah makan Minang. Akhirnya dari logat pemiliknya saya tahu: bukan Minang, itu rumah makan Bugis! :D

Memang e, yang bisa dokis orang Minang dalam hal merantau dan berdagang cuma orang Bugis. :D

***

Saat pertama kali tiba di rumah Bapa Dominggus Busa di Polen, hal pertama yang saya tanyakan ke beliau adalah tentang arti kata Kefa, nama yang sering saya baca di petunjuk jalan selain Niki-niki dan Atambua.

“Kefa itu jurang,” kata Bapa Domi, “Kefa Menanu… jurang yang dalam. Ada jurang besar di tengah-tengah kota itu.”

Yah, karena Kefa sepertinya terlalu ekstrim untuk nama anak perempuan, jadi saya batalkan niat semula. Hmm.. mungkin kelak, anak perempuan saya, akan saya namai Fatu.

22 Maret 2014

Pahmeto

Keberadaan rumah makan Minang yang merambat dari belahan Sumatera hingga Merauke punya kelebihan dan sedikit kekurangan. Salah satu kelebihannya, teman-teman muslim jadi punya banyak pilihan tempat makan. Namun kesempatan kami untuk mencari dan menyantap kuliner lokal jadi berkurang. Yah katakanlah kalau di Timor, jagung bose dan se’i misalnya.

Minggu (9/2), sekitar pukul 14, kami singgah untuk makan siang di rumah makan Minang Pondok Salero di SoE. Siang ini kami sedang dalam perjalanan menuju Polen. Bertolak dari Kupang lebih 12, kami memulai perjalanan dari Bundaran PU lantas ke arah timur menuju Penfui, melewati bundaran tugu Merpati di depan Bandar Udara El Tari.

Perjalanan menuju Polen melewati jalan negara yang mulus hingga Atambua. Dalam perjalanan kami sering berpapasan dengan angkutan kota, angkutan pedesaan dan bis-bis antar kota. Angkutan kota di Kupang dan SoE umumnya berwarna putih dengan bagian body samping terdapat nama angkot itu yang ditulis dengan font 3D dan bagian dalam hurufnya diwarnai dengan gradasi warna-warna cerah. Pada bagian tengah tiap-tiap hurufnya terdapat logo yang sama. Ada yang berlogo bunga, ada yang laba-laba, dan ada pula yang berlogo bintang david. Sedang di jendela belakang angkot dipenuhi dengan macam-macam sticker. Ada angkot yang memasang sticker Bob Marley dan Toots and The Maytals! :D

Sama halnya dengan di Ternate, seperlima bagian angkutan kota Kupang adalah soundsystem. Ada masanya, di Ternate, para pelajarnya hanya mau menumpang angkot dengan soundsystem yang paling batandang. Ternyata hal itu berlaku juga di Kupang. Soundsystem adalah magnet bagi kaum muda, khususnya kalangan pelajar, untuk memilih angkutan kota.

Angkutan pedesaan yang mempunyai rute hingga Kupang adalah mobil-mobil bak terbuka, macam Suzuki Carry, yang bagian belakangnya sudah diatapi karpet atau terpal dan diberi dudukan kayu. Sebagian angkutan pedesaan itu juga menaruh speaker di bagian belakang. Rasanya ini bukan untuk gengsi-gensian, namun murni sebagai hiburan untuk penumpang. Selain untuk penumpang, bagian belakang angkutan pedesaan juga difungsikan untuk memuat hasil-hasil kebun yang akan dijual di kota.

Bis-bis antar kota di Timor (SoE-Kupang, Kefa-Kupang, Atambua-Kupang) berukuran 2 kali lebih besar dari angkutan kota. Bis-bis ini bisa memuat apa saja. Selain penumpang, bis tersebut juga memuat hasil-hasil kebun, sepeda motor dan babi yang diikat di bagian belakang bis!

Di jalan raya timor di wilayah kabupaten Kupang ada 1 titik di mana terdapat banyak lapak/warung yang menjajakan barang yang dikemas dengan anyaman daun lontar. Saya menyangka itu madu, ternyata garam! Setelah melewati areal persawahan di wilayah Kabupaten Kupang, selanjutnya kami melewati taman wisata Camplong yang sejuk dengan pohon-pohon besar nan rindang di kedua sisi jalan. Setelahnya memasuki Takari, melewati kali-kali kecil dengan batu-batu kali sebesar gajah. Lalu menyeberangi Noelmina, kali besar yang memisahkan Takari (Kabupaten Kupang) dan Batu Putih (Kabupaten Timor Tengah Selatan).

Jalan sebelum dan setelah SoE (Temef) adalah jalan menurun-mendaki dan berliku-liku. Saya menyebutnya jalan seribu kelokan. Jalan ini mungkin tak seekstrim jalur Kepahyang yang tersohor memabukkan itu, tapi cukup rawan karena banyak tikungan tajam pas jalan menurun. Bahkan di salah satu sudut jalan ada peringatan unik: dilarang kecelakaan, rumah sakit jauh!!!

Kalau di Kabupaten Kupang banyak warung pinggir jalan yang menjual garam, di Soe, tepatnya di Nulle, Amanuban Barat, banyak warung/lapak di pinggir jalan yang menjual buah srikaya dan avokad yang segar-segar. 1 bokor avokad (11-13 buah) hanya 20.000 rupiah!

Lantas, warung yang menjual sirih-pinang? Oh, tentu saja banyak.

Kami tiba di Polen menjelang sore dan langsung menuju rumah Dominggus Busa –orang Flores yang sudah lama menetap di Polen. Sebelum mulai berbincang banyak, teman kami Egidius Fallo, menyerahkan sepaket sirih-pinang yang dibelinya di SoE. Bapa Domi Busa menerima sirih-pinang itu dengan senyum mengembang di wajahnya lantas menatap kami satu-satu, “Beginilah orang Timor.”

Halo, Nona Merah!

Baru juga menginjak El Tari lagi sudah belagak Kupang.

“Naik Garuda, pak?” tanya supir taxi Bandara. “Aaaa.. tidak. Naik Liong.” jawab saya dengan logat Kupang gadungan.

Sabtu sore (5/2) saya baru saja tiba dari perjalanan singkat –hanya 4 jam- namun sangat melelahkan dari Denpasar – Labuan Bajo – Ende – Kupang. Seakan tahu dan ingin meredakan kepenatan saya, radio di taxi sore itu memutar “Patience”-nya Guns N’ Roses. Siulan Axl mengiringi kami pelan melintasi jalanan basah menuju Kelapa Lima. Saya membuang pandangan jauh ke wilayah luas di sisi selatan jalan El Tari. Pemandangan ini tak asing, saya pernah melihatnya 2 tahun silam. Ah, terima kasih Tuhan, saya kembali ke Timor!

Selain sudut-sudut kotanya, jalanan dan pepohonannya, hal lain yang menyadarkan saya bahwa sudah bukan di Sumatera ataupun Jogja adalah… hmm.. nona-nona Kupang. :D

Nona-nona Kupang cantik-cantik. Yah setidaknya itu yang saya lihat di minggu pagi saat mereka ke gereja. Senyum-senyum sederhana yang mengingatkan saya akan Nona Merah.

Masih ingat “a girl with the red bag”? perempuan bertas merah yang 4 tahunan lalu mengambilalih perhatian saya, hingga menyiapkan CD khusus untuknya sebagai alasan untuk berkenalan. Saya menebak-nebak, kalau bukan Bali, dia mungkin berasal dari Ambon atau Papua atau NTT. Padanya melekat eksotisme perempuan timur yang paripurna: hitam, keriting, kurus dan punya senyum sederhana dengan mata cantik nan membius yang membuat saya hanya bisa mengucapkan tujuh kata saat melakukan perkenalan gagal dengannya, “Hey, hallo.. CD ini buat kamu. Makasih.” Dan berlalu. Dan belum ada kesempatan untuk menemuinya lagi.

Hingga detik ini, 2 CD yang saya bikin khusus untuknya –masih sama sebagai alasan perkenalan- masih tersimpan dan saya bawa kemanapun saya pergi. Saya masih sangat yakin akan menemuinya lagi. Entah di mana. Mungkin di Ambon, mungkin di Kaimana, mungkin di Sumba, mungkin di Larantuka, atau di Lamalera, atau mungkin di Tanah Timor ini.