24 Maret 2014

Kefa

Jika ada daftar 100 Nama Anak Terbaik yang diambil dari nama kota, nama-nama tempat di Timor bisa mengisi daftar tersebut. Yah sebut saja, Fatu (dari Kuanfatu), Kefa Menanu dan Atambua. Jadi saya terpikir untuk menamakan anak perempuan saya kelak, Kefa, dari Kefa Menanu. Nama yang cantik pikir saya. Itu sebelum saya tahu artinya.

Saya berkesempatan mengunjungi Kefa 2 kali di hari yang sama. Pertama, saat singgah untuk mengisi bensin di SBPU di depan gereja Petra, lalu malamnya singgah untuk makan tengah malam di rumah makan yang juga tak jauh dari gereja Petra.

Selasa, 11 februari 2014, kami dijadwalkan untuk mengunjungi Fatumnutu. Dari Polen ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Fatumnutu. Pertama, melewati SoE – Kapan – Fatumnutu, atau jalur kedua, dengan melewati Kefa – Eban – Fatumnutu. Karena jalur tempuh pertama lebih jauh, kami memilih jalur kedua dengan melewati kota Kefa, ibukota Timor Tengah Utara. Waktu tempuh menuju Fatumnutu kurang lebih 2 jam melalui jalanan yang masih tergolong cukup baik. Ke Kefa, kita akan melewati jalan yang sama untuk menuju Atambua, jalan negara yang begitu mulus –kecuali di jembatan perbatasan TTS dan TTU. Selain singgah untuk mengisi bensin, pagi itu kami juga menyempatkan untuk mengabadikan momen di Tugu Bi’inmafo. Ini monumen pertama yang akan ditemui saat memasuki kota Kefa. Monumen yang mewakili 3 suku terbesar di Timor Tengah Utara: Biboki, Insana dan Meomafo.

Tak seperti di Sumba, tak ada kopi produksi lokal di Timor, namun (tetap) ada sirih-pinang dan hmm… sopi! :D

Selasa adalah hari pasar di Eban. Banyak penduduk Eban maupun dari desa-desa lain memadati pasar untuk menjual hasil kebun dan membeli keperluan rumah tangga, juga membeli “candu” lain yang tak kalah penting.

“Hari ini banyak yang ‘turun gunung’ hanya untuk beli sirih-pinang dan sopi,” kata Egidius Fallo, pemuda Kefa tulen. “Nanti jangan kaget kalau ketemu orang sempoyongan di jalan.”

Dan memang benar adanya. Di rumah pertama yang saya kunjungi di Fatumnutu, sang tuan rumah menawarkan sirih-pinang. Tentu saja saya menerima tawaran itu dengan senang hati dan memamah pinangnya hingga bibir memerah. Di hari yang sama pula, masih di Fatumnutu, saya hampir saja mewawancarai seorang bapa tua yang sedang mabuk. Bapa tua itu dan teman-temannya baru saja berpesta sopi. Ya, barangkali momen seminggu sekali.

Fatumnutu, yang masih termasuk dalam wilayah kecamatan Polen, terletak di ketinggian. Dari Fatumnutu, mata kita bisa menjelajah jauh dengan leluasa untuk menikmati bentang alam Timor: bukit-bukit hijau nan cantik dan bukit-bukit batu yang kecil namun tampak gagah menantang langit, juga liukan kali Bijeli di kejauhan. Umumnya penduduk Fatumnutu berkebun, dengan jagung sebagai hasil kebun utama. Seperti Konbaki, di Fatumnutu kita masih bisa mendapati rumah-rumah bulat yang digunakan sebagai tempat tinggal, ada juga yang berpagar batu, dengan tanaman jagung memenuhi halaman.

Kami meninggalkan Fatumnutu jam 10 malam dengan perut kosong sebab belum makan malam. Karena tak ada warung yang sepertinya masih buka di sekitar situ, kami memilih untuk makan malam di Kefa. Tiba di Kefa menjelang tengah malam, untung saja masih ada rumah makan yang buka. Rumah makan yang penataan lauknya dibikin seperti rumah makan Minang. Tapi namanya Masagena, nama yang aneh untuk rumah makan Minang. Akhirnya dari logat pemiliknya saya tahu: bukan Minang, itu rumah makan Bugis! :D

Memang e, yang bisa dokis orang Minang dalam hal merantau dan berdagang cuma orang Bugis. :D

***

Saat pertama kali tiba di rumah Bapa Dominggus Busa di Polen, hal pertama yang saya tanyakan ke beliau adalah tentang arti kata Kefa, nama yang sering saya baca di petunjuk jalan selain Niki-niki dan Atambua.

“Kefa itu jurang,” kata Bapa Domi, “Kefa Menanu… jurang yang dalam. Ada jurang besar di tengah-tengah kota itu.”

Yah, karena Kefa sepertinya terlalu ekstrim untuk nama anak perempuan, jadi saya batalkan niat semula. Hmm.. mungkin kelak, anak perempuan saya, akan saya namai Fatu.

Tidak ada komentar: