24 April 2014

Reuni


“Aku berasa tua dengar lagu ini,” kata Anggi Satoko Saputro mengomentari lagu yang sedang dimainkan Laquena, “Liriknya masih tentang ‘pacaran’, itu lagu lamanya kan?”

Saya lupa judulnya, tapi kami sama-sama pernah mendengar lagu itu hampir 1 dekade lalu. Laquena adalah aksi pop-punk yang muncul di dekade 2000an, saat demam pop-punk tengah melanda Jogja. Seangkatan dengan My Pet Sally, trio pop-punk yang juga bervokalis perempuan.

Ternyata Satoko tak sendiri merasa menua.

“Aku baru sadar kalo Eeng (Rachel Vla) udah kayak tante-tante,” kata Doni, bassis Es Nanas di jeda lagu pertama. “Dan aku juga baru sadar kalo Doni sudah gak minum alkohol,” ujar Leo, gitaris Es Nanas menimpali.

Malam ini (23/4) kami berada di Roots Cafe, Sagan. Sebelumnya, di siang hari Satoko mengirim pesan ke saya, “Nanti malam Es Nanas manggung. Nonton yuk!” Tentu saja langsung saya iyakan. Es Nanas adalah salah satu band Jogja kesukaan saya. Dulu saya sering menonton pertunjukan mereka dan pernah sepanggung beberapa kali. Dan setelah nyaris satu dekade menyaksikan pertunjukan terakhir mereka, malam ini kami menyaksikan Es Nanas lagi.

Tak berformasi lengkap, Es Nanas hanya tampil bertiga: Rachel (vokal), Leo (gitar) dan Doni, eks-vokalis Seventeen dan bassis Es Nanas dari formasi pertama, yang kembali ke posisinya. Es Nanas juga dibantu oleh Vian yang bertugas mengisi pasokan suara drum pada beberapa lagu. Mereka memainkan set panjang, kurang lebih 1 jam. Menurut pengakuan Leo, awalnya mereka akan memainkan 13 lagu, tapi waktu latihan yang singkat tak memungkinkan untuk dimainkan semuanya. Jadwal pementasan Es Nanas ini terbilang dadakan, baru datang 3 hari lalu. Rachel yang sudah tinggal di Jakarta lantas datang ke Jogja dan latihan dengan Leo, Doni dan Vian hanya dalam 1 hari.

Di sesi awal Es Nanas mengkover lagu-lagu milik The Cranberries dan Alanis Morissette, lagu-lagu yang sering dibawakan di panggung-panggung awal mereka. Lantas memainkan lagu-lagu mereka sendiri di sesi kedua, seperti “Ex-Man”, “Janji” dan “Kunang-kunang”.

Di tengah set, sempat terjadi jam session dadakan. Beberapa kawan lama Es Nanas diminta naik ke panggung untuk jamming. Leo menyebutnya Alamanda session. Di sesi itu, Leo mengambil-alih mikrophone dan menyanyikan “With or Without You ” dan “Love Song” sedang Rachel duduk di bangku penonton dan menyoraki Leo yang bernyanyi dibawah pengaruh alkohol.

Alamanda yang dimaksud Leo adalah nama studio musik yang cukup tersohor di dekade 2000an. Banyak nama-nama populer yang tercatat dalam komunitas Alamanda. Selain Es Nanas, ada The Rain, Newdayz, Shaggydog, dan Eross Sheila on 7. Dalam banyak kesempatan, gigs memang menjadi ajang reuni. Malam ini beberapa orang dari komunitas Alamanda itu datang. Termasuk Memet, Bandis dan Raymond dari Shaggydog. Banyak perubahan yang terlihat pada “orang-orang lama” itu, beberapa tampak lebih subur, namun ada juga yang terlihat lebih kurus dan segar dan tak lagi minum alkohol. Rachel pun terlihat lebih anggun malam ini.

Lantas kami? Sepasang kawanua yang -seperti kebanyakan pengunjung Roots Cafe malam ini- datang demi menyaksikan Es Nanas lagi? Hmm.. secara fisik tak banyak perubahan. Oh okay, saya sedikit berisi dan mulai membuncit. Dan kami sudah tak lagi terlihat berantakan. :D

Saya kerapkali tak menyadari bahwa usia saya sudah menyentuh 28. Sudah melewati usia keramat dalam Rock & Roll. Berbeda dengan Satoko, saya belum menikah. Mungkin itu alasan utama kadang saya merasa masih 18. Atau mungkin karena tak banyak tuntutan dari ibu saya, selain ingin saya mendapatkan pekerjaan tetap. Mungkin juga karena saya masih mendengarkan musik yang sama atau bahkan musik yang lebih liar. Meski saya tak lagi seliar dulu.

Saya mengenal Satoko hampir 10 tahun lalu. Band saya, Lowbatt, sepanggung dengan bandnya Jam Dinding di malam pergantian tahun 2004/2005. Malam itu tak ada yang lebih menarik bagi saya, selain band dengan vokalis perempuan berwajah jepang, berkacamata, yang mengenakan rok kotak-kotak dan menyanyikan Metallica.

Di era itu Satoko masih berseragam putih-abu-abu. Era dimana saya masih setia dengan cinta pertama saya (gitar). Era dimana obrolan di komunitas kami lebih banyak seputar sound, gigs dan band-band idola. Era dimana kami tahu alamat semua studio musik di Jogja dan jamming tengah malam adalah hal paling menyenangkan di dunia. Era dimana warung burjo adalah tempat yang wajib dikunjungi selepas pentas. Dan era dimana saya belum pacaran lantas sedikit menjauh dari teman-teman. :D Maaf kawan, belakangan saya sadar bahwa ngeband memang jauh lebih produktif dan lebih seru ketimbang pacaran. Hidup pertemanan! :D

Semenjak panggung malam tahun baru itu, saya lalu mengenal Satoko lebih jauh. Dia menjadi teman setia nge-gigs (termasuk menyaksikan Es Nanas) hingga teman curhat. :D Sahabat susah-senang. Di suatu pagi, saya pernah mengantarnya ke sekolah dan di pagi lainnya di akhir pekan, dia bisa tiba-tiba muncul di kos saya dengan gitar akustiknya dan memainkan lagu yang baru ditulis pada malam sebelumnya.

Kini kami tak bisa lagi bertemu seintens dulu. Tak bisa lagi mendatangi gigs yang menghadirkan idola kami. Satoko sudah semakin dalam menyelami dunianya: menjadi istri yang baik bagi Sapto dan ibunda yang baik bagi Lintang dan Nada, sambil sesekali menjahit membuat boneka dan bekerja paruh waktu di sebuah kedai di utara Jogja. Maka momen-momen seperti malam ini adalah momen langka yang saya nanti. 

Obrolan kami pun tak lagi sama, tak lagi seputar gigs. Kadang menyentuh politik dan isu yang sedang menghangat di negara ini *tsaaahh*, tapi lebih banyak soal pekerjaan, tentang aktifitas Satoko di komunitas penyayang binatang dan tentang keluarga kecilnya, dan hmm.. tentang jodoh (saya). :D