20 Mei 2010

The Membunuh Matahari Interview: Kartika Jahja

Sang diva dari kancah musik independen berbicara tentang Televisi, Hari Buruh dan Ring Back Tone.

"We’re musician. Kita cuma menjual musik, dan kita menganggap Ring Back Tone itu bukan musik."

Pada 21 september 2008, Tika menulis sebuah pesan singkat di blog mypace miliknya, “Saya tidak ingin bernyanyi lagi, sebab tidak lagi merasa nyaman.” Keputusan yang tidak akan diamini siapa pun yang tahu akan talentanya. Terlebih lagi pesan itu terkesan sedikit kekanakan (belakangan Tika menyadari sendiri hal ini).

“Pada proses pembuatan album ini kita mengalami banyak pasang surut, banyak intrik juga di dalam bandnya sendiri, sehingga ada satu momen dimana aku mikir, kayaknya udah terlalu banyak drama dibandingkan musik. Kayaknya musik udah jadi nomor kesekian, akhirnya harus mikir hal-hal menjaga perasaan, hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan musik. Pada point itu memang sempat kehilangan semangat.” Ungkap Tika. Untung saja hal tersebut tidak berlangsung lama. Tika yang sudah menemukan kembali semangatnya dan sadar, “Ga bisa hidup tanpa bernyanyi,” kemudian kembali, mengusung nama Tika and The Dissidents dan merilis The Headless Songstress –album pertamanya yang dirilis The Head Records, label mereka sendiri- yang menuai banyak pujian dan merupakan salah satu album Indonesia terbaik 2009.

Saya menjumpai Tika sesaat setelah Tika and The Dissidents menggelar konser promo untuk The Headless Songstress di Jogja National Museum, pukul 00.30, di hari pertama bulan mei. Berikut obrolan tengah malam saya dengan Tika tentang beberapa hal, salah satunya: Televisi, topik yang terdengar sangat diminatinya. Saat saya mulai bertanya tentang TV, Tika menyambut semangat, “Mari kita berbincang tentang televisi!”

Pada “Pol Pot” anda bernyanyi tentang televisi, apa yang membuat anda tertarik mengangkat topik ini?
Sebenarnya bisa dibilang inspirasi dari album The Headless Songstress itu 90 persen berputar pada apa yang ditayangkan di televisi Indonesia pada saat ini. Kita bisa berbicara tentang program. Kita bisa berbicara tentang advertising. Setiap gue menyalakan televisi itu selalu ada rasa mangkel, yang bikin gue ada dua pilihan, pertama untuk mematikan televisi. Puasa menonton televisi. kedua menjadikan itu inspirasi negatif. Inspirasi itu kan ga selalu dari hal-hal yang indah kan, hal-hal yang pissing you off juga kadang bisa kasih inspirasi. Ada banyak hal yang aku angkat dari televisi, mungkin yang paling signifikan adalah “Pol Pot”, lagu itu memang berbicara tentang televisi. Tapi ada juga “Venus Envy” tentang standarisasi kategori kecantikan menurut media mainstream saat ini. Bagaimana perempuan di-pressure setiap hari untuk mengikuti satu standar kecantikan yang mana harus berkulit putih, bertubuh langsing, dan segala macam. Kita juga dibombardir tiap hari oleh televisi. Iklan sekarang bukan hanya ngomong soal “kalau kamu mau berkulit putih, silahkan memakai produk ini”, tapi “kalau kamu mau bahagia, kamu harus berkulit putih, kamu harus bertubuh seperti ini”, itu yang sudah diajari setiap hari mulai dari billboard sampai televisi. Kemudian program, ada reality show yang tidak berbasis ke realita. Terus, setiap bencana atau kejadian yang tidak mengenakan diekploitasi dengan dramatisasi sedemikian rupa sehingga kita tune in ke TV terus, padahal footage-nya sebenarnya sama. Jadi bisa dibilang inspirasi utama album ini secara lirikal adalah bagaimana kita diajak berpikir oleh televisi. Jadilah lirik-lirik yang mungkin sifatnya ga nyerang ya, tapi lebih menyindir aja.

Bagaimana dengan kampanye “Watch You What Watch” yang anda canangkan?
Kampanye itu sebenarnya dicanangkan tahun 2007, “Watch What You Watch” itu bukan kampanye anti televisi, tapi kampanye untuk literasi televisi. Kita pengen orang-orang tuh punya tameng yang cukup, literasi yang cukup sehingga pada suatu saat mereka menonton program-program TV mereka punya filter yang cukup untuk menyaring apa informasi yang bisa diserap dan apa yang sampah. Sekarang kan ada “Turn Off Your TV”, “Kill Your TV”, gue gak bilang kayak gitu.

Itu lebih ekstrim?
Ya. Itu ngelarang soalnya. Pada saat lu bilang “Kill Your TV”, lu ngelarang orang untuk nonton TV, padahal mungkin itu akses (informasi) satu-satunya yang bisa mereka dapatkan. Di beberapa daerah akses internet ga semudah itu. Pada saat kita bicara literasi itu lebih ke empowerment kepada penonton supaya bisa memilah apa yang mereka tonton. Mereka bisa bedain mana yang murni hiburan dan informasi. Itu yang berusaha kita sampaikan.

Kampanye ini masih berjalan?
Secara general program ini masih jalan, tapi tidak setajam yang gue harapkan. gue yang memang sempat tidak menonton TV selama 4 tahun mulai nonton TV lagi. Kalau gue membuat sebuah kampanye literasi TV kayaknya agak muluk-muluk kalau gue gak nonton TV sama sekali. Ada beberapa volunteer di bagian research-nya. Tapi sayang banget kampanye kayak gini tuh agak susah, di tengah jalan ada yang berhenti, yang pada awalnya nafsu banget tiba-tiba mundur. Aku masih bertekad untuk melanjutkan kampanye ini, mudah-mudahan ke depan akan lebih terasa impact-nya.

Ceritakan tentang icon Headless. Siapa yang membuat icon itu?
Yang bikin icon itu Ucok Homicide. Aku memang waktu itu lagi cari sesuatu yang bisa ganti peran foto. Awalnya aku bilang ke Ucok, “gimana kalo lu bikin icon buat kita?” karena aku menganggap ucok cukup mengerti kita secara musikal dan cukup mengerti gue secara personal dengan baik. Saat dia kasi icon ini, alasan yang datang dari dia, “gue tuh gak pernah liat musik lu bermuka,” pada saat itu dipikir-pikir memang kita gak bisa menawarkan gimmick apa pun. Dari segi kostum kah, dari segi penampilan panggung kah. Dan gue pribadi sebagai penyanyi memang tidak termasuk dalam template penyanyi perempuan di Indonesia. Gue merasa interpretasinya cocok. Kita merasa terwakili dengan icon itu.

Selain packaging album yang unik, satu hal lagi yang membedakan The Headless dengan album-album Indonesia lain yang dirilis belakangan ini adalah tak ada kode RBT di cover-nya. Anda tidak tertarik dengan Ring Back Tone?
Kita jualan musik, kita ga jualan 30 detik audio sampah yang dimana itu juga mendorong orang untuk melakukan konsumsi yang tidak perlu. Pada saat mereka membeli Ring Back Tone, mereka membeli 30 detik audio yang sama sekali tidak berkualitas. Kita punya pilihan untuk menjual sesuatu yang bagus dan yang jelek. Misalkan kita punya barang jelek yang kita tau akan laku sekalipun, kita punya kesadaran bahwa 30 detik barang yang kita jual itu sebenarnya tidak layak untuk dihargai sedemikian rupa. Jadi kita memilih untuk tidak membuat Ring Back Tone. We’re musician. Ga muluk-muluk sih, kita cuma menjual musik, dan kita menganggap Ring Back Tone itu bukan musik.

Apa pendapat Anda pribadi tentang Hari Buruh?
Gue merasa ini hari besar yang sangat under-rated. Kita punya hari besar agama, yang mana penganutnya yang merayakan itu tidak sebesar buruh. Tapi hari buruh itu tidak terdengar. Pada saat kita bicara buruh, orang mungkin hanya menganggap buruh fisik seperti buruh pabrik, buruh tani dan lain lain. Dan pada saat kita tidak menganggap seperti itu, maka kita bisa merayakan hari buruh bersama-sama. Gue gak ngerti kenapa hingga saat ini masih ada perusahaan yang tidak meliburkan karyawannya di Hari Buruh, apa mereka belum merasa ini hari besar yang penting? Mungkin juga karena belum jadi budaya.
Kadang-kadang saya merasa ada serangan ke arah kami –Tika and The Dissidents- tentang lagu ”Mayday”, terakhir minggu lalu ada diskusi bedah lirik kami di Bandung, ada yang bertanya, ”Apakah Anda bagian dari gerakan buruh sehingga Anda membuat lagu tentang gerakan buruh?” gue jawab, ”Ya, saya adalah bagian dari gerakan buruh, begitu juga kamu, begitu juga bapak kamu, begitu juga gurumu, satpammu, dan semua orang yang bekerja, termasuk bos kalian juga”. Yang membuat kita terpisah saat ini adalah tembok-tembok yang membedakan kelas-kelas kita. Saat saya menciptakan ”Mayday" maksud saya justru ingin menghancurkan tembok-tembok itu. Di hari itulah, pada tanggal 1 mei, paling tidak dalam setahun, kita merasa bahwa bos eksekutif di bank dan office boy setara, karena kita sama-sama menjual kemampuan kita, tenaga dan waktu kita untuk mendapatkan nafkah. Kita mengalami itu setiap hari, kenapa gak satu hari kita let loose dan merasa kita sama. Itu sebenarnya inspirasi terbesar saya untuk lagu ”Mayday”, aku merasa kalau hari raya ini hanya dirayakan oleh terlalu sedikit orang, karena yang diatas tidak merasa bagian dari ini. Jadi pada saat mereka bertanya kenapa saya menciptakan lagu tentang gerakan buruh karena saya melihat kita semua sama, setidaknya ada satu hari yang bisa kita rayakan bersama.

Kenapa Anda tidak terjun langsung ke organisasi pergerakan?
Mungkin cara saya beda. Saya sangat respek terhadap gerakan yang ada, gerakan anti otoritarian dan lainnya. Saya sangat respek dan saya merasa tujuan akhir kita sama. Klisenya, kehidupan yang lebih baik untuk kita lah. Saya sudah mencoba mengepalkan tangan, saya merasa mungkin itu bukan kepribadian saya. Jadi saya mencoba dengan cara saya sendiri. Meskipun mungkin ini bagi beberapa orang kurang nonjok ya, tapi buat saya, kita tidak bisa terus-menerus bicara pada orang-orang yang sama. Pada saat kita mengepalkan tangan, itu memang diperlukan, memang menjadi bensin untuk kita terus maju. Tapi harus ada poin-poin lain, harus ada orang-orang lain yang berperan diluar itu. Dan metode yang berbeda menurut aku membuat pergerakan ini semakin kaya.

Bagaimana tentang keterlibatan “Ny. Kapolri” dengan D’ Army? (D’ Army adalah band Hip Hop asal bandung, Tika terlibat dalam lagu mereka ”Alas Tanah” dimana dia memakai nama Ny. Kapolri)
Wah.. ketauan (tertawa). Sebenarnya bisa dibilang Hip-hop itu cinta pertama gue. Dari gue masih SD. Meskipun sekarang gue eksplor ke genre musik yang lain gue pasti pulang ke Hip-hop. Itulah mungkin kenapa gue bisa kolaborasi dengan D’ Army, juga kenapa gue bisa nyambung dengan Homicide. Karena passion gue sesungguhnya adalah Hip-hop. Tapi gue gak bisa mengekspresikan itu secara musikal karena ternyata gue dianugerahi sama Tuhan vokal bukan rapping. Satu-satunya yang dekat dengan Hip-hop saat gue pertama kali buat musik adalah Trip-hop, dimana gue bisa bernyanyi dengan beat yang mirip Hip-hop. Kemudian berkembang dengan Tika and The Dissidents, gue bekerja sama dengan orang dengan referensi yang berbeda-beda, tapi sebenarnya di hati gue selalu pulang kesana (Hip-hop).

Siapa “Bpk. Tarmuji”? (Nama terakhir yang tertulis dalam ucapan terima kasih Tika dalam The Headless)
[Saat menjawab pertanyaan ini Tika tidak menggunakan “gue”, tapi “saya”. Tetap menjawab dengan serius, namun lebih tenang] Bapak Tarmudji itu sahabat saya sekaligus supir keluarga kami. Waktu SMP, saya pernah mengalami cedera lutut, sehingga saya tidak bisa nyetir lagi. Jadinya kemana-mana saya bersama Pak Tarmuji. Perannya tuh lebih dari sekedar mengantarkan. Beliau adalah teman curhat, sahabat setia dalam perjalanan. Inspirasi itu kita gak tau kapan datangnya, kadang malah datang dari hal kecil di sekitar kita. Banyak sekali hal-hal berharga yang saya dapatkan dari beliau.

05 Mei 2010

Tentang Tengah Malam di Hari Pertama Bulan Mei

Aftershow: Saya sedang cemas, menunggu kesempatan untuk mewawancarai Ny. Kapolri -yang nyaris batal. Didepan saya ada Anda Perdana, Risky Summerbee dan Ugoran Prasad dari Melancholic Bitch (bayangkan jika ketiga orang ini bertemu di studio atau di panggung) serta 2 orang lagi yang baru berkenalan dengan Anda beberapa saat sebelumnya. Mereka berbagi whisky dan bir, dan obrolan mulai mengalir dimana salah seorang dari mereka memulai dengan DJ, berkembang ke band-band jerman, hingga Grateful Dead. Seseorang datang dan berkomentar "wah.. udah nyampe Grateful Dead aja". Fadly Padi menyatakan ketertarikannya untuk bekerja sama dengan Yesnowave setelah masa kontrak Padi dengan Sony BMG berakhir.

Wok the Rock muntah dan menjadi bahan ejekan bagi Tika dan Mian Tiara yang sebelumnya mencoba menarik perhatian Anda -yang masih serius dengan obrolannya- dengan menyanyikan "Dalam Suatu Masa". Beberapa saat setelahnya Gufi dari Kongsi Jahat Syndicate datang membawa 1 krat penuh bir bintang. Semua yang ada di situ bersorak kegirangan. Sepertinya malam ini masih akan berlanjut. Waktu di ponsel saya, 00:11. "Dimana Ny. Kapolri?" Dia tidak terlihat lagi diantara orang-orang yang ada di situ. Identitas Bpk. Tarmudji, mungkin takkan pernah terungkap jika saya tidak dipanggil "Mas" berulang kali oleh seorang teman yang menawari saya ciu. Orang yang memanggil saya tadi adalah mantan pacar dari mantan pacar saya (mungkin dia sudah lupa nama saya). :D kesabaran memang selalu berbuah manis. Ny. Kapolri datang, duduk disamping saya, dan akhirnya terjawab sudah. Bpk. Tarmuji bukanlah Bpk. Kapolri, dugaan saya meleset! :D ;)

Terima kasih untuk Ny. Kapolri yang sudah berbagi banyak. :)

*wawancara tengah malam dengan Ny. Kapolri segera menyusul.

Berburu Kepala di Jogjakarta

Tika and The Dissidents sukses menghadirkan ratusan kepala dan tampil memukau menyambut Mayday!
 
30 April 2010, pukul 7 malam, JNM sudah ramai. Seperti biasa, memang ada pembukaan pameran. Namun perayaan lain terjadi di tengah-tengah kompleks museum yang dulunya kampus seni itu. Aula JNM yang di hari-hari biasa tampak lengang, malam itu disulap menjadi arena pertunjukan dengan set panggung sederhana, backdrop hitam besar dengan susunan layangan dibagian tengah, tata lampu minimalis, tribun mini di bagian belakang, dan karpet hitam untuk penonton yang memilih duduk bersila di bagian depan. Tika and The Dissidents memilih Jogja sebagai kota pertama untuk promo album terbarunya The Headless Songstress.

Pertunjukan malam itu dibuka oleh Frau, solois yang baru saja merilis mini album pertamanya “Starlit Carousel” secara gratis lewat netlabel yesnowave.com (format CD dirilis Cakrawala Records). Membuka pertunjukan dengan satu lagu milik Iggy Pop and The Stooges, dilanjutkan dengan “Intensity Intimately” dan “Mesin Penenun Hujan” yang menenangkan. Tak hanya ditemani Oscar, pianonya. Pada “Salahku Sahabatku” Frau menghadirkan Nadya Hatta (Armada Racun, Risky Summerbee and The Honeythief, Demi Tuhan, dan ex-Southern Beach Terror). Wok the Rock yang turut bernyanyi pada “Rat And Cat” mengundang tepuk tangan semua penonton hingga Frau tak sengaja berkomentar, “Wok the Rock.. The star of tonight”. Setelah “I’m a Sir” Frau menutup penampilannya dengan mengajak Ugoran Prasad dari Melancholic Bitch untuk menjadi “Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa”. Ugoran Prasad yang kharismatik di panggung tampil mempesona meskipun hanya satu lagu dan melengkapi penampilan Frau yang melenakan.

Tampil dengan formasi lengkap dan mengenakan pakaian serba hitam, Tika and The Dissidents juga menghadirkan Iman Putra Fattah –gitaris Lain dan Zeke and The Popo, juga produser The Headless Songstress bersama Nikita Dompas, serta Mian Tiara dan Mutiara Rievana pada departemen backing vocal. Menyapa penonton dengan lagu-lagu yang diambil dari The Headless Songstress “Pol Pot”, “20 Hours”, dan “Infidel Castratie”, serta “Fever Fairytale” dari album Defrosted Love Songs. Mungkin karena nuansa lagu-lagu awal yang begitu dingin, penonton pun ikut dingin, hingga Tika sedikit 'mengeluh' dan mencoba mencairkan suasana “Aku jadi gugup nih, jangan terlalu serius dong..” candanya. Pada “20 Hours”, Tika sempat membagikan tamborin dan mengajak penonton untuk ikut bermain bersama. Suasana mulai intim dan menghangat, Tika yang komunikatif beberapa kali melempar candaan ke penonton, “Di Jogja lagu saya dirubah jadi tentang peteng, jadi tolong mas lampunya dibikin peteng”, candanya sebelum membawakan “Tentang Petang”. Tika juga berulang kali mengucapkan terima kasih untuk penonton dan tentunya Kongsi Jahat Syndicate yang untuk kedua kalinya sukses menggelar konsernya di Jogja. Gufy dari Kongsi Jahat Syndicate juga mendapat candaan spesial dari Tika yang menyebut Gufy sebagai inspirasi dari lagunya “Clausmophobia” yang menyinggung pandangan stereotipikal masyarakat terhadap homoseksualitas.

Ini hanyalah lagu tentang sayur” kata Tika sebelum membawakan “Genjer-genjer”, lagu rakyat ciptaan seniman asal banyuwangi, Muhammad Arief, yang pada era orde baru haram diedarkan bahkan dinyanyikan. Pada bagian awal, nuansa yang dibangun Tika and The Dissidents pada lagu ini begitu suram, ditambah dengan tika yang bernyanyi menggunakan megaphone. Entah apa kekuatan lagu ini. Yang pasti, mungkin hanya Tika and The Dissidents satu-satunya band di dunia ini yang mampu membuat penonton merinding dengan sebuah lagu tentang sayur. Setelahnya, lagu patah hati yang manis “Waltz Muram” dibawakan.

“Jogja Istimewa” bagi Tika, untuk itu Tika juga menghadirkan bintang tamu istimewa –yang beberapa hari sebelumnya diumumkan lewat akun twitter-nya. Meskipun sudah tertebak Tika sempat memberi clue kepada penonton, menyebut nama Anang, bahkan menyanyikan reffrain “Separuh Jiwaku Pergi” single milik Anang yang kemudian disambut tawa heboh penonton. Hendra “Anda” Perdana, sang bintang tamu istimewa pun tampil dan berbagi suara mautnya pada “Ol’ Dirty Bastard”. Anda, Tika, dan Mian Tiara juga membawakan “Cukup Dalam Hati”. Tika and The Dissidents boleh beristirahat sejenak saat Anda mengambil alih panggung dan menunjukan kelasnya sebagai salah satu penyanyi terbaik yang dimiliki negeri ini. Anda kemudian membuai penonton dengan “Biru” dari In Medio, album solo pertamanya.

Tak hanya Tika and The Dissidents yang menyajikan pertunjukan terbaik dengan kemampuan bernyanyi dan musikalitas yang baik pula, Mian dan Muthiara yang berada di belakang pada beberapa bagian juga menampilkan olah vokal sempurna yang membuat mereka juga layak mendapatkan penghargaan malam itu.

Berturut-turut “Venus envy”, “Under Their Feet”, dan “Mayday” dibawakan sebagai penutup konser ini.

Ini pertama kalinya kami merayakan Mayday dengan kalian semua”, Tika kemudian mendaulat orang-orang yang selama ini berada dibelakangnya, road manager dan kru, juga Gufy dan Oji dari Kongsi Jahat Syndicate, dan beberapa penampil sebelumnya untuk tampil membentuk ”paduan suara buruh” dan menutup konser ini dengan sebuah perayaan Mayday yang memukau.

04 Mei 2010

Review: Generasi Menolak Tua

 
Sutradara: Bramantyo Hermono
Gemah Ripah Lohkokabsurd Film
High Octane Production
2010

“Hati-hati, kami bukannya tidak memperingatkan. Bila anda tidak menyukai Seringai, maka anda akan tidak menyukai yang satu ini” - Seringai (peringatan pada tray card DVD)

“Seringai adalah wahyu”, komentar Riann Pelor (Dagger Stab) sembari mengacungkan dua jari tengahnya. Itu sebelum Riann dicekoki alkohol oleh Seringai dengan beer bong –yang sepertinya sering dibawa pada pertunjukan mereka. Alhasil, Pelor tepar di panggung saat Seringai sedang tampil. Kejadian diatas adalah satu dari banyak kegilaan off-stage dan on-stage yang bisa disaksikan pada DVD rockumentary Generasi Menolak Tua.

Banyak fakta menarik terungkap yang mungkin belum banyak diketahui para serigala (sebutan untuk fans Seringai). Diantaranya, biaya untuk album perdana Seringai “High Octane Rock” ternyata bersumber dari hasil proyek jingle iklan yang didapat Arian; Arian muntah pada lagu pertama “Alkohol” di salah satu panggung awal mereka, dan itu menjadi nilai jual bagi mereka; Pertunjukan awal Sammy dengan Seringai adalah di post-party perkawinan teman mereka dimana suasana menjadi liar saat Seringai tampil dan membuat salah salah tamu pria menari dengan hanya mengenakan celana dalam, bahkan Ricky, sang gitaris, menenggak air kencing yang sebelumnya disangka Vodka. Peringatan akan bahaya laten Seringai harusnya sudah dimulai dari sini!

DVD ini juga menyajikan footage live mereka, dimana Seringai yang sudah menjadi magnet pertunjukan selalu saja mendapat respon positif dan menghasilkan chaos di mosh pit. Bahkan ketika tampil di sebuah pensi, Seringai berhasil memaksa puluhan polisi untuk naik dan mengamankan panggung yang sudah lebih dulu dipenuhi penonton yang liar. Komentar dari Wendi Putranto (Rolling Stone), Jason Tedjasukmana, Lani Leyli (Amazing In Bed), dan para Serigala juga turut menghiasi video ini. Yang lucu adalah komentar dari Lani Leyli. Buang jauh-jauh imej serigala yang melekat dengan mereka, saat ditanya Sammy dengan logat jawa gadungan, “Nek Seringai diibaratkan karo hewan, iki kira-kira hewan apa?” Lani menjawab dengan centil, “Hmm.. A Tiger! Rawrr!” yang lebih terkesan seperti kucing dibanding macan.

Peringatan pada tray card DVD ini tidak terlalu penting, karena film yang dikerjakan sendiri oleh mereka ini (Sammy – Sutradara, Arian – Artwork & Layout, Khemod – Edit) memang menarik dan menghibur. Ok, saya bukannya tidak memperingatkan. Jika anda sudah mulai suka dengan band ini: Awas Bahaya Laten Seringai!


-x-