03 September 2014

Pulang

---- untuk AL

Begitu pulang, hal pertama yang saya lakukan adalah menghitung kembali jumlah kawan masa kecil yang tersisa. Ipi baru saja menikah. Menyusul Lika yang sudah menikah beberapa tahun lalu dan Akil dua tahun silam. Lika dan Akil masing-masing sudah punya anak 1, Ical bahkan sudah 2 dan kini menetap di Bacan. Ipi juga di Bacan. Yang belum menikah hanya Kamu, Mahdi dan Budi. Ya, tapi Kamu sudah lama menetap di Jailolo dan sesekali Pulang ke Ternate, sedang Mahdi baru saja bekerja di Weda.

Begitu di Jogja, saat bekerja maupun luang saya selalu merasa bahwa saya adalah orang yang sama dengan 10 tahun lalu. Tapi begitu pulang, saya sadar bahwa banyak hal yang saya temui tak lagi sama. Semakin banyak kawan masa kecil menikah berarti semakin sedikit teman yang bisa diajak bercerita sepanjang malam saat Ramadhan. Juga tak ada lagi pintu yang bisa saya tuju saat saya masih begadang. Tak hanya kawan, BTN pun sudah berubah.

Mudik adalah jembatan menuju masa lalu. Saatnya berbagi cerita. Ramadhan adalah momen dimana Mama akan memasak makanan yang –entah kenapa- hanya ada di tiap bulan istimewa itu dan hanya pada saat sahur dengan rasa yang selalu sama. Juga momen dimana Mama akan bercerita dengan berseri-seri tentang masa kecil beliau yang seru di Auna dan kala beliau menjadi gadis penjual ketupat favorit Mama-Mama Kailolo di Pasar Gotong Royong Ambon (kini Ambon Plaza). Juga saat Papa akan membawa kami keliling kota sore-sore –tradisi sejak kami di Masohi. Setelah Papa tiada, kebiasaan tersebut juga ikut hilang. Hal lain yang biasanya dilakukan Papa tiap Ramadhan adalah menyalakan pelita dari bambu/botol kaca saat malam Ela-ela (malam ke-27 Ramadhan). Kali ini Mama yang menggantikan peran Papa. Tetangga-tetangga kami di BTN pun masih melakukan hal yang sama. Indah sekali. Ini hal yang belum hilang di BTN.

Ingatan saya juga melayang ke malam-malam kita di teras rumahmu, di leger pojokan jalan depan rumah dan ruang tengah rumah kami. Kita masih terjaga saat kompleks ini sudah sunyi dan bercerita hingga Gendang Sahur terdengar di rumah sebelah. Saya lebih banyak mendengar, sedang kamu bercerita apa saja. Mulai dari kegiatanmu di Jailolo, sepak bola, hingga tentang pilihanmu untuk memperdalam agama. Dan tiap kali Ibumu memanggil pulang, kamu punya alasan ampuh supaya kita masih bisa berlama-lama: “Ada deng Ecal.” Ibumu tahu saya jarang pulang, dan membolehkan obrolan malam itu tetap berlanjut.

Dan kamu pun tahu kapan pertemuan malam itu harus berakhir: saat saya pamitan dengan alasan hendak makan, “Rabu-rabu saja.” Kamu sudah hafal betul bahwa saya tak akan kembali.

Momen pulang kampung kali ini kita bertemu di malam terakhir Ramadhan. Malam itu saya bertanya jam dan kamu menjawab, “Baru jam 12.” Padahal sudah jam 2. Kamu sengaja supaya kita bisa berbagi cerita lebih lama lagi. Karena ternyata, malam itu satu-satunya malam kita bertemu tahun ini.

Pulang tak hanya sebuah momen bagi kita untuk berkumpul dengan keluarga, nostalgia mengais masa lalu dan menyadari bahwa banyak hal tak lagi sama. Tapi juga momen yang mengharuskan kita agar menyiapkan satu ruang untuk kehilangan. 


Kapal Sinabung, Pelabuhan Ambon, 18 Agustus 2014.

21 Juni 2014

Bolakme

“MINCEEE... ” teriak Dokter Made memanggil pasien selanjutnya.

Mince, pelajar SMP yang malu-malu itu lantas berdiri dari tempat duduk di ruang tunggu Puskesmas Bolakme dan masuk ke ruangan Dokter Made.

“Ko sakit apa?”

“Tangan gatal-gatal,” terang Mince yang datang bertiga dengan temannya yang masih mengenakan seragam SMP.

“Ko tidak sekolah ka?”

“Guru ada di kota.”

Mince adalah siswi SMPN Bolakme –satu-satunya SMP di Distrik Bolakme, yang terletak di tepi kali Baliem yang mengalir deras dan berada tepat di kaki gunung Jugum di kompleks yang sama dengan SMUN Bolakme dan SD Inpres Bolakme.Di sebelah timur terdapat Puskesmas Bolakme, dan di sebelah barat terdapat PLTS Bolakme, Koramil, Polsek yang jarang buka, dan Pasar Bolakme yang buka tiap selasa, kamis dan sabtu.

Sekolahan Mince sudah melangsungkan ujian kenaikan kelas. Minggu ini mereka hanya datang ke sekolah untuk membersihkan rumput di kompleks sekolah yang mulai meninggi, lalu bermain sepak bola dilapangan sekolah yang luas. Dan pulang. Tak semua guru datang. Beberapa guru sedang ada di Wamena, bergabung dengan kelompok guru lainnya dari seluruh Kabupaten Jayawijaya yang berdemo menuntut pemotongan insentif mereka oleh Pemerintah Kabupaten.

Selain Mince dan temannya, ada juga 3 siswa SMPN Bolakme yang datang berobat di Puskesmas. Keluhannya sama: gatal-gatal pada kulit.

“Ko tinggal dimana?” tanya Bidan Desi, yang sehari-hari bertindak sebagai asisten Dokter Made sekaligus melayani loket pendaftaran.

“Di Bem.”

“Dimana itu?”

“Di balik gunung,” jawab pelajar SMP ke-4 yang pagi itu berobat ke Puskesmas Bolakme.

“Baru ko Pesmin?” tanya Bidan Desi ke teman pasien.

“Sa tidak sakit.”

4 pipa air tanpa keran mengalirkan air tanpa henti di belakang Puskesmas. Aliran air itu bersumber dari mata air yang terletak tak jauh dari Puskesmas. Selain Puskesmas Bolakme, Kantor Distrik, kompleks sekolahan, kantor Polsek dan Koramil, serta Kampung Bolakme dan Wenamela juga dialiri air tersebut. Air melimpah di sini.

Tapi tidak untuk listrik dan sinyal ponsel. Sinyal menjadi barang mewah di Bolakme. Untuk bisa –setidaknya- menerima SMS atau telpon, kita harus mendatangai spot-spot tertentu di jalanan desa yang sedikit mendaki. Menara BTS telkomsel terdekat berada di Distrik Hom-Hom, Kota Wamena, 45 km dari Bolakme.

Listrik dari PLN belum menjangkau semua distrik di Lembah Baliem. Di Distrik Bolakme, listrik bersumber dari PLTS dan solar cell yang terdapat di rumah-rumah warga. PLTS Bolakme yang memiliki panel matahari seluas separuh lapangan futsal hanya mengalirkan listrik ke kantor Distrik, Koramil, Polsek, dan sebagian rumah di kampung Bolakme.

Dulunya Puskesmas Bolakme dan kompleks sekolah teraliri listrik dari PLTS, namun pemuda-pemuda kampung yang nakal memutuskan kabel listrik yang melintang di kompleks sekolahan.

Menurut informasi beberapa pihak, Bolakme termasuk wilayah Ring 3. Zona merah. Zona dimana POS PAMRAHWAN ditempatkan.

Dua siswi lain yang mencuci tangan di pipa air merapat dekat ke pintu belakang, mencuri-curi pandang ke dalam Puskesmas dan malu-malu melihat lelaki asing yang duduk di ujung bangku panjang danmenebarkan senyum ke siapa saja.

Syahdan, kedua siswi yang bernama Mance Tabuni dan Debi Wenda itu berlari kecil dan duduk di bangku panjang di ruang tunggu pasien.

“Kam dua sakit?” tanya Dokter Made.

“Iya.” Kata Debi Wenda.

“Tunggu e.”

Sudah 30 menit, Dokter Made dan Michael bergantian melayani 10 pasien: 7 pelajar SMP, 1 ibu muda dan 2 lelaki tua yang mengeluh gatal-gatal.

Perempuan tua yang mengantar anaknya, mondar-mandir menunggu anaknya diperiksa. Mengenakan kaos biru, rok merah, topi kupluk merah-kuning-hijau, menyilangkan di bahu noken lusuh yang sobek di bagian bawah dan tak menggunakan alas kaki. Anaknya –yang diperiksa sambil menggendong bayi- dilayani lebih lama dibanding pasien lainnya, bahkan hingga pintu depan Puskesmas sudah ditutup.

“Baru suaminya ada dimana?” tanya Dokter Michael, “Besok suruh ke sini ya, mau saya kasi obat.”

Puskesmas Bolakme terletak di antara SMPN Bolakme dan Kantor Desa Lani Timur. Di kompleks Puskesmas terdapat gedung puskesmas rawat jalan, gedung rawat inap yang tak difungsikan, serta perumahan untuk dokter –yang sesekali ditinggali, bidan, perawat dan kepala Puskesmas. Dikelilingi pagar kayu besi yang di bagian atasnya ditumpuk rerumputan kering dan ranting pohon kasuari yang ditumbuhi bunga terompet ungu. Pintu masuknya berbentuk gapura melengkung yang juga diatapi alang-alang. Banyak kompleks rumah honai, kantor, gereja  dan sekolah di distrik-distrik di Kabupaten Jayawijaya berpagar dan bergapura alang-alang seperti itu. Alang-alang yang juga dipakai untuk atap honai.

Halaman Puskesmas yang tidak terawat dipenuhi rerumputan. Juga pohon-pohon kasuari yang meneduhkan. Di samping Puskesmas, ambulans yang baru berumur 3 tahun teronggok tak terpakai.

Suara aliran air dan gemuruh angin yang bertiup di sela dedaunan pohon kasuari menghadirkan paduan suara alam yang khas.

“Su siang bapa,” kata Dokter Made ke Enos Tabuni yang baru datang. Pintu depan Puskesmas sudah 20 menit lalu ditutup Dokter Michael yang setelahnya hanya melayani 1 pasien yang harus didampingi Perawat John sebagai penerjemah. Siang ini Dokter Michael juga berencana ke Kantor Dinas Kesehatan.

Tapi Dokter Made tetap melayani Enos Tabuni. Setelah diberi obat dan petunjuk meminum obat oleh Dokter Made, Enos Tabuni lalu berjalan ke luar dan hendak meminum obat dengan air dari pipa di belakang Puskesmas.

“Bapaaaaa.. makan epere dulu baru minum obaaat!!!” Teriak Dokter Made sambil berlari ke ujung pintu, dan tergelak.

Telat. Obat telah tertelan.

Saat hendak beranjak pulang, kedua dokter muda itu, Bidan Desmi dan Perawat John didatangi 2 pasien bermarga Tabuni yang berjalan tanpa alas kaki dari Desa Munak yang berjarak 5 km dari Puskesmas.

“Bapa sakit apa?”

“Gatal-gatal.”

“Kasih obat saja.” Kata Dokter Michael.

“Bapa mandi ka tidak?” tanya Dokter Made sambil mengemut lolipop.

Kedua pasien terakhir itu datang pada pukul 12.20, hampir 1 jam setelah pintu depan Puskesmas ditutup. Saat Dokter Made sudah mengenakan sweater dan menggendong tas punggungnya, siap-siap untuk pulang.

Pada spanduk yang dipasang di ruang tunggu, tertera jam buka-tutup Puskesmas: 09.00 – 13.00 WIT.


Bolakme, 28 Mei 2014.

13 Juni 2014

Wamena


Kali pertama saya menyaksikan magisnya Danau Sentani dari udara adalah pada 17 mei 2012. Hari ini, 2 tahun lewat 2 hari, untuk kali kedua saya ke Papua. Perjalanan kali ini menjadi lebih menarik karena tujuan kami Kabupaten Jayawijaya dan perjalanan Jogja-Jayapura menggunakan Garuda Indonesia! :D 

Biasanya untuk perjalanan antar pulau kami menumpang maskapai LCC, maka melihat kode GA di tiket adalah hal yang menyenangkan. Awalnya, kami dijadwalkan berangkat pukul 20.30, namun GA 254 yang kami tumpangi baru bisa membawa kami ke Denpasar pukul 23.00. Telat 2,5 jam!

Tapi keterlambatan 2,5 jam itu terlupakan seketika saat kami mengudara. “Garuda Indonesia Experience” langsung terasa ketika kita duduk di bangku penumpang dan lagu Bengawan Solo sentuhan Addie MS terdengar sayup mengalun. Pelayanan Garuda memang kelas 1. Kelas ekonominya memang juara. Wajar sekali Emirsyah Satar bercerita dengan bangga tentang pelayanan kelas ekonomi Garuda yang dilabeli terbaik sedunia oleh Skytrax itu. Pramugarinya pun ramah-ramah, tak hanya sekedar basa-basi. Rasanya pramugari maskapai lokal lain perlu di-training di Garuda biar tidak jutek dan seadanya dalam melayani –LCC sekalipun. 

Pesawat kami tiba di Bandar Udara Sentani pukul 9 pagi, setelah sebelumnya transit dulu di Timika. Danau Sentani masih menyuguhkan kemagisan yang sama, yang membuat pasang-pasang mata kami menjelajah lekukan bukit-bukit hijau dan danau itu sebelum mendarat.

Perjalanan Jayapura (DJJ) – Wamena (WMX) baru dilakukan pukul 3 sore menggunakan pesawat ATR Trigana Air. Pindah dari kabin Garuda yang nyaman ke Trigana rasanya seperti pindah dari Surga ke Ghana. Dari pelayanan kelas 1 ke pelayanan yang.. ya begitulah. Dari pesawat dengan tempat duduk yang kulit joknya pun bersertifikasi internasional ke tempat duduk berstandar pelosok yang bisa kita pilih semaunya di dalam pesawat, seperti penerbangan maskapai apapun dari Ternate ke Sanana. 

Tapi maskapai macam Trigana Air berjasa menghubungkan Jayapura dengan kota-kota kecil di Papua yang sulit ditempuh lewat jalan darat. Dalam sehari ada 6 penerbangan PP Jayapura – Wamena, dan 10 penerbangan untuk pesawat khusus kargo.

Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus begitu tiba di Wamena –setelah sebelumnya terbang rendah diantara pegunungan di Lembah Baliem. Saat tiba, kami disambut 2 pelangi cantik yang di muncul di balik bukit kecil di utara dan timur bandara. Pemandangan yang mengingatkan saya akan foto pelangi kembar milik Pak Dayat, dan lanskap yang membuat saya merasa ada di set film Denias. 

Sebagai salah satu pintu masuk Jayawijaya, Bandar Udara Wamena rasanya cukup mewakili ketertinggalan Jayawijaya. Bandara bertipe sangat sederhana sekali. Bahkan terlihat seperti bandara darurat. Ruang keberangkatan/check-in yang menjadi satu dengan ruang kedatangan adalah bangunan beratap dan berdinding seng yang dicat coklat keki dan berlantai semen kasar. Ruang keberangkatan memang dilengkapi detector dan ruang tunggu dengan kursi panjang yang tersusun rapi. Tapi di ruang kedatangan, tak ada conveyor untuk mempermudah proses pengambilan bagasi. Pengambilan bagasi dilayani secara manual: langsung diambil ke petugas yang mengangkutnya dengan kereta/gerobak besi.

Ruang keberangkatan/kedatangan berada 1 halaman dengan Kantor Polsek KPPP Udara Wamena, tapi penjagaan bandara tak ketat. Setiap orang bebas masuk bandara. Saat pesawat mendarat kita bisa mendapati sekumpulan orang sedang menunggu di pinggir landasan untuk selanjutnya melintasi landasan pacu. 

Berada di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut, Wamena terletak di Lembah Baliem yang berhawa sejuk dan bersahabat. Dikepung pegunungan dan bukit-bukit yang berjejer merapat menyembah langit.

Di setiap tempat yang saya kunjungi, hal utama yang selalu saya harapkan adalah senyum dari orang yang saya temui. Senyum pertama yang saya dapatkan kali ini adalah senyum mama penjual bunga pandi, buah markisa, pinang dan kelapa hutan yang berjualan sambil menyulam noken di depan kantor Polsek UKPP Bandara Wamena. 

Walau perjumpaan pertama, Wamena terasa bagai peluk hangat kawan lama.


(19 Mei 2014)
Baliem, lembah pelangi.

24 April 2014

Reuni


“Aku berasa tua dengar lagu ini,” kata Anggi Satoko Saputro mengomentari lagu yang sedang dimainkan Laquena, “Liriknya masih tentang ‘pacaran’, itu lagu lamanya kan?”

Saya lupa judulnya, tapi kami sama-sama pernah mendengar lagu itu hampir 1 dekade lalu. Laquena adalah aksi pop-punk yang muncul di dekade 2000an, saat demam pop-punk tengah melanda Jogja. Seangkatan dengan My Pet Sally, trio pop-punk yang juga bervokalis perempuan.

Ternyata Satoko tak sendiri merasa menua.

“Aku baru sadar kalo Eeng (Rachel Vla) udah kayak tante-tante,” kata Doni, bassis Es Nanas di jeda lagu pertama. “Dan aku juga baru sadar kalo Doni sudah gak minum alkohol,” ujar Leo, gitaris Es Nanas menimpali.

Malam ini (23/4) kami berada di Roots Cafe, Sagan. Sebelumnya, di siang hari Satoko mengirim pesan ke saya, “Nanti malam Es Nanas manggung. Nonton yuk!” Tentu saja langsung saya iyakan. Es Nanas adalah salah satu band Jogja kesukaan saya. Dulu saya sering menonton pertunjukan mereka dan pernah sepanggung beberapa kali. Dan setelah nyaris satu dekade menyaksikan pertunjukan terakhir mereka, malam ini kami menyaksikan Es Nanas lagi.

Tak berformasi lengkap, Es Nanas hanya tampil bertiga: Rachel (vokal), Leo (gitar) dan Doni, eks-vokalis Seventeen dan bassis Es Nanas dari formasi pertama, yang kembali ke posisinya. Es Nanas juga dibantu oleh Vian yang bertugas mengisi pasokan suara drum pada beberapa lagu. Mereka memainkan set panjang, kurang lebih 1 jam. Menurut pengakuan Leo, awalnya mereka akan memainkan 13 lagu, tapi waktu latihan yang singkat tak memungkinkan untuk dimainkan semuanya. Jadwal pementasan Es Nanas ini terbilang dadakan, baru datang 3 hari lalu. Rachel yang sudah tinggal di Jakarta lantas datang ke Jogja dan latihan dengan Leo, Doni dan Vian hanya dalam 1 hari.

Di sesi awal Es Nanas mengkover lagu-lagu milik The Cranberries dan Alanis Morissette, lagu-lagu yang sering dibawakan di panggung-panggung awal mereka. Lantas memainkan lagu-lagu mereka sendiri di sesi kedua, seperti “Ex-Man”, “Janji” dan “Kunang-kunang”.

Di tengah set, sempat terjadi jam session dadakan. Beberapa kawan lama Es Nanas diminta naik ke panggung untuk jamming. Leo menyebutnya Alamanda session. Di sesi itu, Leo mengambil-alih mikrophone dan menyanyikan “With or Without You ” dan “Love Song” sedang Rachel duduk di bangku penonton dan menyoraki Leo yang bernyanyi dibawah pengaruh alkohol.

Alamanda yang dimaksud Leo adalah nama studio musik yang cukup tersohor di dekade 2000an. Banyak nama-nama populer yang tercatat dalam komunitas Alamanda. Selain Es Nanas, ada The Rain, Newdayz, Shaggydog, dan Eross Sheila on 7. Dalam banyak kesempatan, gigs memang menjadi ajang reuni. Malam ini beberapa orang dari komunitas Alamanda itu datang. Termasuk Memet, Bandis dan Raymond dari Shaggydog. Banyak perubahan yang terlihat pada “orang-orang lama” itu, beberapa tampak lebih subur, namun ada juga yang terlihat lebih kurus dan segar dan tak lagi minum alkohol. Rachel pun terlihat lebih anggun malam ini.

Lantas kami? Sepasang kawanua yang -seperti kebanyakan pengunjung Roots Cafe malam ini- datang demi menyaksikan Es Nanas lagi? Hmm.. secara fisik tak banyak perubahan. Oh okay, saya sedikit berisi dan mulai membuncit. Dan kami sudah tak lagi terlihat berantakan. :D

Saya kerapkali tak menyadari bahwa usia saya sudah menyentuh 28. Sudah melewati usia keramat dalam Rock & Roll. Berbeda dengan Satoko, saya belum menikah. Mungkin itu alasan utama kadang saya merasa masih 18. Atau mungkin karena tak banyak tuntutan dari ibu saya, selain ingin saya mendapatkan pekerjaan tetap. Mungkin juga karena saya masih mendengarkan musik yang sama atau bahkan musik yang lebih liar. Meski saya tak lagi seliar dulu.

Saya mengenal Satoko hampir 10 tahun lalu. Band saya, Lowbatt, sepanggung dengan bandnya Jam Dinding di malam pergantian tahun 2004/2005. Malam itu tak ada yang lebih menarik bagi saya, selain band dengan vokalis perempuan berwajah jepang, berkacamata, yang mengenakan rok kotak-kotak dan menyanyikan Metallica.

Di era itu Satoko masih berseragam putih-abu-abu. Era dimana saya masih setia dengan cinta pertama saya (gitar). Era dimana obrolan di komunitas kami lebih banyak seputar sound, gigs dan band-band idola. Era dimana kami tahu alamat semua studio musik di Jogja dan jamming tengah malam adalah hal paling menyenangkan di dunia. Era dimana warung burjo adalah tempat yang wajib dikunjungi selepas pentas. Dan era dimana saya belum pacaran lantas sedikit menjauh dari teman-teman. :D Maaf kawan, belakangan saya sadar bahwa ngeband memang jauh lebih produktif dan lebih seru ketimbang pacaran. Hidup pertemanan! :D

Semenjak panggung malam tahun baru itu, saya lalu mengenal Satoko lebih jauh. Dia menjadi teman setia nge-gigs (termasuk menyaksikan Es Nanas) hingga teman curhat. :D Sahabat susah-senang. Di suatu pagi, saya pernah mengantarnya ke sekolah dan di pagi lainnya di akhir pekan, dia bisa tiba-tiba muncul di kos saya dengan gitar akustiknya dan memainkan lagu yang baru ditulis pada malam sebelumnya.

Kini kami tak bisa lagi bertemu seintens dulu. Tak bisa lagi mendatangi gigs yang menghadirkan idola kami. Satoko sudah semakin dalam menyelami dunianya: menjadi istri yang baik bagi Sapto dan ibunda yang baik bagi Lintang dan Nada, sambil sesekali menjahit membuat boneka dan bekerja paruh waktu di sebuah kedai di utara Jogja. Maka momen-momen seperti malam ini adalah momen langka yang saya nanti. 

Obrolan kami pun tak lagi sama, tak lagi seputar gigs. Kadang menyentuh politik dan isu yang sedang menghangat di negara ini *tsaaahh*, tapi lebih banyak soal pekerjaan, tentang aktifitas Satoko di komunitas penyayang binatang dan tentang keluarga kecilnya, dan hmm.. tentang jodoh (saya). :D

26 Maret 2014

Sumber Air Masih di Situ-situ Saja


Yunus Tafuli, Kepala Sekolah SD Inpres Naimetan, Kuanfatu, sedang dalam penerbangan menuju Jakarta saat dirinya berkenalan dengan Agnes yang bekerja di stasiun TV. Di perjalanan Yunus berbagi cerita tentang pendidikan dan kehidupan di desa tempat tinggalnya. Agnes tertarik dan mendengar dengan baik cerita dari kepala sekolah berprestasi itu. Tapi kedua teman seperjalanan itu berpisah setiba di Jakarta. Agnes pulang ke rumahnya dan Yunus menuju rumah saudaranya di Lebak Bulus.

Keduanya tak saling menghubungi lagi hingga seminggu setelah Yunus Tafuli pulang ke Kuanfatu. Agnes menghubungi Yunus dan menyatakan ketertarikannya untuk melakukan pengambilan gambar iklan Aqua di tempat tinggal Yunus. Dan Yunus setuju untuk membantu.

Singkatnya, Agnes dan kru lantas terbang ke Kuanfatu di Timor Tengah Selatan.

SD Inpres Naimetan tempat Yunus Tafuli bekerja dipakai untuk set iklan itu. Siswa-siswa SD Inpres Naimetan juga kebagian peran. Salah satunya Deby Tafuli, anak Yunus, talent utama yang kebagian mengucapkan tagline "sekarang sumber air su dekat."

Itu kejadian yang berlangsung di tahun 2011. 3 tahun setelahnya, tepatnya 18 februari 2014, kami mengajak Deby Tafuli untuk mandi di kali sebab di kamar mandi rumahnya tak cukup banyak air.

Sumber air sebenarnya tak jauh. Masih di situ-situ saja. Kali di situ-situ saja. Sumur-sumur di situ-situ saja. Oemata juga di situ-situ saja. Di Timor, Aqua bersama ACF International dan CIS Timor memang membangun banyak sumur. Hanya belum ada saluran pipa air yang terhubung ke masing-masing rumah. Di banyak tempat di Polen, Amanuban maupun Kuan Fatu tak sulit mendapati mama-mama dan bocah-bocah kecil berjalan dengan jerigen dan ember di tangan maupun kepala.

24 Maret 2014

Kefa

Jika ada daftar 100 Nama Anak Terbaik yang diambil dari nama kota, nama-nama tempat di Timor bisa mengisi daftar tersebut. Yah sebut saja, Fatu (dari Kuanfatu), Kefa Menanu dan Atambua. Jadi saya terpikir untuk menamakan anak perempuan saya kelak, Kefa, dari Kefa Menanu. Nama yang cantik pikir saya. Itu sebelum saya tahu artinya.

Saya berkesempatan mengunjungi Kefa 2 kali di hari yang sama. Pertama, saat singgah untuk mengisi bensin di SBPU di depan gereja Petra, lalu malamnya singgah untuk makan tengah malam di rumah makan yang juga tak jauh dari gereja Petra.

Selasa, 11 februari 2014, kami dijadwalkan untuk mengunjungi Fatumnutu. Dari Polen ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk menuju Fatumnutu. Pertama, melewati SoE – Kapan – Fatumnutu, atau jalur kedua, dengan melewati Kefa – Eban – Fatumnutu. Karena jalur tempuh pertama lebih jauh, kami memilih jalur kedua dengan melewati kota Kefa, ibukota Timor Tengah Utara. Waktu tempuh menuju Fatumnutu kurang lebih 2 jam melalui jalanan yang masih tergolong cukup baik. Ke Kefa, kita akan melewati jalan yang sama untuk menuju Atambua, jalan negara yang begitu mulus –kecuali di jembatan perbatasan TTS dan TTU. Selain singgah untuk mengisi bensin, pagi itu kami juga menyempatkan untuk mengabadikan momen di Tugu Bi’inmafo. Ini monumen pertama yang akan ditemui saat memasuki kota Kefa. Monumen yang mewakili 3 suku terbesar di Timor Tengah Utara: Biboki, Insana dan Meomafo.

Tak seperti di Sumba, tak ada kopi produksi lokal di Timor, namun (tetap) ada sirih-pinang dan hmm… sopi! :D

Selasa adalah hari pasar di Eban. Banyak penduduk Eban maupun dari desa-desa lain memadati pasar untuk menjual hasil kebun dan membeli keperluan rumah tangga, juga membeli “candu” lain yang tak kalah penting.

“Hari ini banyak yang ‘turun gunung’ hanya untuk beli sirih-pinang dan sopi,” kata Egidius Fallo, pemuda Kefa tulen. “Nanti jangan kaget kalau ketemu orang sempoyongan di jalan.”

Dan memang benar adanya. Di rumah pertama yang saya kunjungi di Fatumnutu, sang tuan rumah menawarkan sirih-pinang. Tentu saja saya menerima tawaran itu dengan senang hati dan memamah pinangnya hingga bibir memerah. Di hari yang sama pula, masih di Fatumnutu, saya hampir saja mewawancarai seorang bapa tua yang sedang mabuk. Bapa tua itu dan teman-temannya baru saja berpesta sopi. Ya, barangkali momen seminggu sekali.

Fatumnutu, yang masih termasuk dalam wilayah kecamatan Polen, terletak di ketinggian. Dari Fatumnutu, mata kita bisa menjelajah jauh dengan leluasa untuk menikmati bentang alam Timor: bukit-bukit hijau nan cantik dan bukit-bukit batu yang kecil namun tampak gagah menantang langit, juga liukan kali Bijeli di kejauhan. Umumnya penduduk Fatumnutu berkebun, dengan jagung sebagai hasil kebun utama. Seperti Konbaki, di Fatumnutu kita masih bisa mendapati rumah-rumah bulat yang digunakan sebagai tempat tinggal, ada juga yang berpagar batu, dengan tanaman jagung memenuhi halaman.

Kami meninggalkan Fatumnutu jam 10 malam dengan perut kosong sebab belum makan malam. Karena tak ada warung yang sepertinya masih buka di sekitar situ, kami memilih untuk makan malam di Kefa. Tiba di Kefa menjelang tengah malam, untung saja masih ada rumah makan yang buka. Rumah makan yang penataan lauknya dibikin seperti rumah makan Minang. Tapi namanya Masagena, nama yang aneh untuk rumah makan Minang. Akhirnya dari logat pemiliknya saya tahu: bukan Minang, itu rumah makan Bugis! :D

Memang e, yang bisa dokis orang Minang dalam hal merantau dan berdagang cuma orang Bugis. :D

***

Saat pertama kali tiba di rumah Bapa Dominggus Busa di Polen, hal pertama yang saya tanyakan ke beliau adalah tentang arti kata Kefa, nama yang sering saya baca di petunjuk jalan selain Niki-niki dan Atambua.

“Kefa itu jurang,” kata Bapa Domi, “Kefa Menanu… jurang yang dalam. Ada jurang besar di tengah-tengah kota itu.”

Yah, karena Kefa sepertinya terlalu ekstrim untuk nama anak perempuan, jadi saya batalkan niat semula. Hmm.. mungkin kelak, anak perempuan saya, akan saya namai Fatu.

22 Maret 2014

Pahmeto

Keberadaan rumah makan Minang yang merambat dari belahan Sumatera hingga Merauke punya kelebihan dan sedikit kekurangan. Salah satu kelebihannya, teman-teman muslim jadi punya banyak pilihan tempat makan. Namun kesempatan kami untuk mencari dan menyantap kuliner lokal jadi berkurang. Yah katakanlah kalau di Timor, jagung bose dan se’i misalnya.

Minggu (9/2), sekitar pukul 14, kami singgah untuk makan siang di rumah makan Minang Pondok Salero di SoE. Siang ini kami sedang dalam perjalanan menuju Polen. Bertolak dari Kupang lebih 12, kami memulai perjalanan dari Bundaran PU lantas ke arah timur menuju Penfui, melewati bundaran tugu Merpati di depan Bandar Udara El Tari.

Perjalanan menuju Polen melewati jalan negara yang mulus hingga Atambua. Dalam perjalanan kami sering berpapasan dengan angkutan kota, angkutan pedesaan dan bis-bis antar kota. Angkutan kota di Kupang dan SoE umumnya berwarna putih dengan bagian body samping terdapat nama angkot itu yang ditulis dengan font 3D dan bagian dalam hurufnya diwarnai dengan gradasi warna-warna cerah. Pada bagian tengah tiap-tiap hurufnya terdapat logo yang sama. Ada yang berlogo bunga, ada yang laba-laba, dan ada pula yang berlogo bintang david. Sedang di jendela belakang angkot dipenuhi dengan macam-macam sticker. Ada angkot yang memasang sticker Bob Marley dan Toots and The Maytals! :D

Sama halnya dengan di Ternate, seperlima bagian angkutan kota Kupang adalah soundsystem. Ada masanya, di Ternate, para pelajarnya hanya mau menumpang angkot dengan soundsystem yang paling batandang. Ternyata hal itu berlaku juga di Kupang. Soundsystem adalah magnet bagi kaum muda, khususnya kalangan pelajar, untuk memilih angkutan kota.

Angkutan pedesaan yang mempunyai rute hingga Kupang adalah mobil-mobil bak terbuka, macam Suzuki Carry, yang bagian belakangnya sudah diatapi karpet atau terpal dan diberi dudukan kayu. Sebagian angkutan pedesaan itu juga menaruh speaker di bagian belakang. Rasanya ini bukan untuk gengsi-gensian, namun murni sebagai hiburan untuk penumpang. Selain untuk penumpang, bagian belakang angkutan pedesaan juga difungsikan untuk memuat hasil-hasil kebun yang akan dijual di kota.

Bis-bis antar kota di Timor (SoE-Kupang, Kefa-Kupang, Atambua-Kupang) berukuran 2 kali lebih besar dari angkutan kota. Bis-bis ini bisa memuat apa saja. Selain penumpang, bis tersebut juga memuat hasil-hasil kebun, sepeda motor dan babi yang diikat di bagian belakang bis!

Di jalan raya timor di wilayah kabupaten Kupang ada 1 titik di mana terdapat banyak lapak/warung yang menjajakan barang yang dikemas dengan anyaman daun lontar. Saya menyangka itu madu, ternyata garam! Setelah melewati areal persawahan di wilayah Kabupaten Kupang, selanjutnya kami melewati taman wisata Camplong yang sejuk dengan pohon-pohon besar nan rindang di kedua sisi jalan. Setelahnya memasuki Takari, melewati kali-kali kecil dengan batu-batu kali sebesar gajah. Lalu menyeberangi Noelmina, kali besar yang memisahkan Takari (Kabupaten Kupang) dan Batu Putih (Kabupaten Timor Tengah Selatan).

Jalan sebelum dan setelah SoE (Temef) adalah jalan menurun-mendaki dan berliku-liku. Saya menyebutnya jalan seribu kelokan. Jalan ini mungkin tak seekstrim jalur Kepahyang yang tersohor memabukkan itu, tapi cukup rawan karena banyak tikungan tajam pas jalan menurun. Bahkan di salah satu sudut jalan ada peringatan unik: dilarang kecelakaan, rumah sakit jauh!!!

Kalau di Kabupaten Kupang banyak warung pinggir jalan yang menjual garam, di Soe, tepatnya di Nulle, Amanuban Barat, banyak warung/lapak di pinggir jalan yang menjual buah srikaya dan avokad yang segar-segar. 1 bokor avokad (11-13 buah) hanya 20.000 rupiah!

Lantas, warung yang menjual sirih-pinang? Oh, tentu saja banyak.

Kami tiba di Polen menjelang sore dan langsung menuju rumah Dominggus Busa –orang Flores yang sudah lama menetap di Polen. Sebelum mulai berbincang banyak, teman kami Egidius Fallo, menyerahkan sepaket sirih-pinang yang dibelinya di SoE. Bapa Domi Busa menerima sirih-pinang itu dengan senyum mengembang di wajahnya lantas menatap kami satu-satu, “Beginilah orang Timor.”

Halo, Nona Merah!

Baru juga menginjak El Tari lagi sudah belagak Kupang.

“Naik Garuda, pak?” tanya supir taxi Bandara. “Aaaa.. tidak. Naik Liong.” jawab saya dengan logat Kupang gadungan.

Sabtu sore (5/2) saya baru saja tiba dari perjalanan singkat –hanya 4 jam- namun sangat melelahkan dari Denpasar – Labuan Bajo – Ende – Kupang. Seakan tahu dan ingin meredakan kepenatan saya, radio di taxi sore itu memutar “Patience”-nya Guns N’ Roses. Siulan Axl mengiringi kami pelan melintasi jalanan basah menuju Kelapa Lima. Saya membuang pandangan jauh ke wilayah luas di sisi selatan jalan El Tari. Pemandangan ini tak asing, saya pernah melihatnya 2 tahun silam. Ah, terima kasih Tuhan, saya kembali ke Timor!

Selain sudut-sudut kotanya, jalanan dan pepohonannya, hal lain yang menyadarkan saya bahwa sudah bukan di Sumatera ataupun Jogja adalah… hmm.. nona-nona Kupang. :D

Nona-nona Kupang cantik-cantik. Yah setidaknya itu yang saya lihat di minggu pagi saat mereka ke gereja. Senyum-senyum sederhana yang mengingatkan saya akan Nona Merah.

Masih ingat “a girl with the red bag”? perempuan bertas merah yang 4 tahunan lalu mengambilalih perhatian saya, hingga menyiapkan CD khusus untuknya sebagai alasan untuk berkenalan. Saya menebak-nebak, kalau bukan Bali, dia mungkin berasal dari Ambon atau Papua atau NTT. Padanya melekat eksotisme perempuan timur yang paripurna: hitam, keriting, kurus dan punya senyum sederhana dengan mata cantik nan membius yang membuat saya hanya bisa mengucapkan tujuh kata saat melakukan perkenalan gagal dengannya, “Hey, hallo.. CD ini buat kamu. Makasih.” Dan berlalu. Dan belum ada kesempatan untuk menemuinya lagi.

Hingga detik ini, 2 CD yang saya bikin khusus untuknya –masih sama sebagai alasan perkenalan- masih tersimpan dan saya bawa kemanapun saya pergi. Saya masih sangat yakin akan menemuinya lagi. Entah di mana. Mungkin di Ambon, mungkin di Kaimana, mungkin di Sumba, mungkin di Larantuka, atau di Lamalera, atau mungkin di Tanah Timor ini.

19 Januari 2014

Yang (tak) Terlewatkan: Ayuk Maya!


Caca berkerudung merah jambu itu ialah Ayuk Maya. Nama yang beberapa kali muncul dalam Catatan Perjalanan Selatan Sumatera ini. Dialah yang saya sebut perempuan jawa ayu, yang kadang perayu. Yang merah jambu dan pemalu serupa teratai di Pulau Layang. Yang kalau malu-malu suka menutupi wajahnya dengan apa pun. Yang rajin. Yang bangun paling pagi. Yang bisa memasak. Yang tahu kapan saat yang tepat menyuguhkan kopi nikmat. Dan yang terkenal di pasar Pampangan! :D

Saya suka senyumnya. Dan suka sekali melihatnya malu-malu.

Namanya Pratiwi Dwi Suhartanti. Perempuan jawa ayu asal Pedan.

Pedan. Entah ada di bagian mana Pulau Jawa, Pedan itu. Apakah sepelosok Kuala Dua Belas? saya belum tahu. Tapi Maya begitu sering menyebut Pedan. Sesering Dahlan Iskan menyebut Kerja! Kerja! Kerja!

****

Begitu tiba di rumah Aiman siang itu kami berfoto berdua. Ibunda Aiman yang kebetulan ada di ruang yang sama melihat hasil foto kami dan berkomentar, "Mirip foto suami istri yang sudah punya anak 2."

Ah, senang sekali mendengarnya! Haha! :D

"Mas Ical mirip Om-om ya bu?" tanya Maya ke ibunda Aiman.

"Iya, mirip bapak-bapak. Bapaknya anak-anak." kata ibunda Aiman lagi sambil tergelak.

Tentang "om-om" dan "bapak-bapak" itu saya tidak setuju. Saya selalu merasa masih 20. Tapi entah kenapa senang sekali mendengar komentar ibunda Aiman. :D

Rasanya saya belum pernah menulis blog semacam ini. :D

Sayonara Sumatera


Senin (13/1) pukul 7 pagi kami meninggalkan Pampangan. Menumpang bis jurusan Tulung Selapan - Palembang yang pagi itu sudah parkir di depan rumah makan minang "Family". Kurang lebih 2 jam perjalanan menuju Palembang. Macam tak peduli dengan jalanan jahat sepanjang perjalanan, supir pagi itu memacu kencang bis seolah malaikat maut sudah membuntuti di bumper belakang. Saya duduk di barisan bangku paling belakang hingga bisa merasakan betul goncangan bis ketika melewati jalanan jahat. Goncangan yang bisa membuat ibu-ibu yang sedang hamil tua brojol di tempat.

Bis tiba di terminal Jakabaring pukul 9, dan kami lantas mengganti angkot untuk menuju rumah Aiman di Perumnas Sako. Senang bisa kembali ke rumah Aiman. Ibunya ramah nian. Serupa Aiman, ibundanya pun sangat supel. Saya mendapat panggilan keren dari ibunda Aiman: Papua! :)

Masakan ibunda Aiman pun lemak nian. Saya datang ke Palembang dengan perut rata dan pulang ke Jogja dengan perut membuncit dan celana yang kian sesak.

Saat tiba hari itu, Aiman mendengar bahwa saya berulang-tahun. Jadilah ia bersiasat buruk dengan beberapa teman untuk menjadikan saya target lemparan telur dan adonan gandum yang dilakukan di luar rumah dan kamar mandi. Alhasil, selain baju dan handuk saya kotor, dinding kamar mandi pun kecipratan kuning telur. Saya menghabiskan waktu 1 jam untuk mandi dan membersihkan kamar mandi. Saya yang berulang tahun, saya pula yang membersihkan kamar mandi. :D

"Kasian Papua, ulang tahun malah dilemparin telur," kata ibunda Aiman esok paginya saat saya mencari baju kotor bekas lemparan telur, "Itu baju kamu sudah ibu cuci. Anggap saja itu hadiah ulang tahun dari ibu."

Ah, manis nian ibunda Aiman.

Saya akan merindukan beliau, tentu Aiman juga. Dan merindukan keramahan di rumah itu.

Juga merindukan setiap keramahan yang kami temui selama 40 hari di selatan Sumatera: keramahan perkampungan Pantai Timur, keramahan perkampungan tepi sungai. Keramahan yang harusnya bisa melahirkan berpikul-pikul senandung rindu.

Tentu saja saya akan merindukan makanan a la sungai. Merindukan masakan dan kopi nikmat bikinan ayuk Maya. Merindukan suara-suara ketek yang hilir-mudik di sungai. Merindukan dialek melayu dan cara memanggil orang dusun. Juga merindukan "yaooo..." dan "cak itulah". Lalu "lajulah".

Dan merindukan kalian. Satu-satu.

16 Januari 2014

Tebing


Tak ada ketek ke Serdang siang ini (8/1). Saya terlambat, ketek menuju serdang telah bertolak dari bom (dermaga) Pampangan beberapa saat lalu. Hanya ada 1 ketek lagi, tapi hanya sampai ke Tebing: ketek yang berfungsi sebagai taxi bagi anak-anak sekolah dari Tebing. Tebing juga termasuk desa Serdang, hanya masih 30 menit perjalanan lagi untuk mencapai dusun 1 Serdang. Sembari menunggu ketek yang mungkin ada, saya memotret anak-anak SD asal Tebing tadi di dermaga. Siang itu ada pemilik ketek yang menawarkan penyewaan keteknya seharga 60 ribu. Saya menolak.

Seorang pengemudi ojek yang biasa mangkal di depan warung minang “Family” juga menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke Serdang dengan bayaran 40 ribu. Bagi saya kemahalan untuk perjalanan 11 km. “Tapi jalannya jahat nian,” kata ojek itu.

Saya agak berhati-hati. Sebelumnya kami pernah dikerjai: membayar 150 ribu untuk menyewa ketek yang biasanya bisa dibayar 30 ribu rupiah saja. Setelah gagal menawar dan menimbang-nimbang harga dengan kondisi jalan yang sehari sebelumnya tidak diguyur hujan. Akhirnya saya sepakat. OK, lajulah! 40 ribu!

Ojek lantas melaju menuju kearah kecamatan Pangkalampam, lantas masuk melalui jalan setapak kecil yang hanya cukup untuk 1 motor. Melewati jalanan jahat di antara rawa, lewat kebun balam yang berhektar-hektar
luasnya dengan 40 ribu pohon karet berjejer rapih (kata pengemudi ojek, pemilik kebun balam tersebut seorang toke muda kaya raya asal Pangkalampam), lalu ojek kami melewati hutan kecil, lewat kebun karet lagi dan jalanan jahat lagi.

Rasanya ini jalan terjahat yang pernah saya temui selama 40 hari terakhir di selatan Sumatera.

Memang ngeri-ngeri sedap jalan tanah ini. Mungkin jalan ini tak berarti jika dilibas dengan Ford Ranger, tapi kali ini saya menumpang motor bebek dengan ban yang idealnya hanya beroperasi di jalanan aspal.

Saya agak pasrah. Apapun yang terjadi, lajulah. Kemungkinan terburuk kami tergelincir, lalu jatuh. Dan celana saya kotor. Itu saja.

Sekali motor kami melintas di atas jeramba kayu kecil yang disusun dari batang-batang kayu sebesar lengan saya yang kurus ini -yang nampaknya bisa ambruk kapan saja. Sesekali ban belakang motor kami terselip, Dan saya menahan napas berkali-kali saat ojek itu melaju.

Hingga kemudian selepas kebun karet, sebelum membelah luapan rawa yang menggenangi jalan, sang pengemudi ojek berseru, “Nah, itu serdang!”

Fiuuuhhh…

***

Serdang adalah salah satu desa terjauh yang termasuk dalam wilayah kecamatan Pampangan. Berbatasan sebelah utara dengan Sri Mulya, sebelah selatan dengan Kandis, sebelah barat dengan Pampangan-Ulak Depati dan sebelah timur dengan Deling-Jungkal. Serupa Pulau Layang, Serdang juga dikepung lebak (rawa) luas. Ada 11 titik rawa di wilayah Serdang: Lebak Teluk Padi, Lebak Serdang, Lebak Pare Ulu, Lebak Pare Ilir, Lebak Ujung, Lebak Sengulung Ulu, Lebak Sengulung Ilir, Lebak Batas, Lebak Keret, Lebak Buntuan, dan Lebak Lidah Tanah.

Namun berbeda dengan Pulau Layang, tak banyak kerbau rawa di Serdang. "Dulu ada banyak kerbau di sini, ada ratusan, tapi sudah dijual pemiliknya." kata pak Sumardi, Kades Serdang. Lebih mudah menemui sapi-sapi dibanding kerbau rawa di Serdang.

Saya menunaikan shalat magrib di masid Nurul Iman Serdang, dan memasuki masjid pada saat iqomah. Hanya terisi 1 shaf dengan beberapa orang jamaah. Ternyata ada 1 kolom shaf yang dikosongkan dan saya diminta mengisinya. Karena datang terlambat saya memilih paling pinggir dan mempersilakan para orang tua yang telah datang lebih dulu untuk mengisi bagian kosong itu.

Sepulang dari masjid saya ditegur ibunda pak Sumardi di rumah karena tak mengenakan kopiah saat sholat magrib tadi. Saya jadi ingat Nene Boi di Mangoli, saya pernah ditegurnya sebab shalat dan datang ke pemakaman tanpa mengenakan kopiah.

Ternyata di Tebing saya mengalami hal nyaris serupa. Saat jumatan di masid Al-Muhajirin, pak Kholik memberikan sajadah dan kopiah ke saya lantas memberi tahu agar saya duduk di shaf paling depan dekat dengan imam. Sebegitu ramahkah penduduk di sini? Saya hanya tamu tak penting yang baru datang beberapa menit sebelum bedug jum'at ditabuh.

Jumat siang itu saya menumpang ketek rombongan guru SDN 1 Serdang untuk menuju Tebing. Para guru di SDN 1 Serdang semuanya berasal dari desa lain, jadi tiap harinya guru-guru itu melaju ke Serdang dengan ketek. Ketek dengan dudukan papan patah yang sudah bermuatan 8 orang itu bertambah muatan 1 orang lagi. Alhasil ketek melaju begitu pelan menyusuri lebak.

Pada beberapa titik di lebak antara Serdang dan Tebing bertebaran teratai-teratai putih. Pun di lebak di belakang rumah-rumah di Tebing. Saat tiba di rumah Pak Kholidi, kadus Tebing, saya langsung melongok ke belakang rumah.

"Aer galee.." sahut tetangga pak Kholidi.

Iya, dusun tebing ini memang penuh air dan dibangun di atas rawa. Ada pun sedikit bagian yang ditimbun tanah dan sudah disemen adalah jalan setapak yang membentang sepanjang 100 meter hingga jeramba beton. Sisanya rumah-rumah dihubungkan dengan titian kayu yang tiap kali air pasang atau hujan datang akan terendam.

Tebing secara geografis termasuk dalam wilayah desa Pampangan, namun secara administratif penduduknya tercatat sebagai penduduk Serdang. Kampung di atas rawa ini bermula dari tahun 1953, saat 17 warga Serdang berkongsi untuk membangun sebuah pabrik kayu di tepian sungai Komering. Pabrik kayu yang mereka bangun itu sukses, di tahun 60an masing-masing dari ke-17 orang itu membuka pabrik sendiri. Pabrik kayu di tepi sungai Komering bertambah, rumah-rumah bertambah, penduduk pun bertambah. Tebing kian ramai. Lebu (ampas kayu) dari pabrik kayu dikumpulkan di rawa, dan ditimbun hingga mencapai ketinggian rumah panggung. Dari jauh, timbunan lebu itu tampak seperti tebing tinggi.

Ke-17 "penemu" Tebing itu kini telah tiada, namun kisah mereka masih bisa disampaikan dengan baik oleh Pak H. Safei, tokoh masyarakat berusia 78 tahun yang mendiami Tebing sejak 60an. "Saya negak rumah ni tahun 73. Naik haji tahun 79. Tahun 80-an pabrik-pabrik kayu ini ditutup tentara." Karena dianggap ilegal, pabrik-pabrik kayu yang menghidupkan Tebing itu ditutup. Sebagian penduduk mengubah haluan menjadi petani, sebagian kembali ke Serdang untuk memahat karet.

Sisa-sisa lebu kini masih bisa ditemui di Tebing namun hanya tersisa 1 titik. Lebu dengan tinggi sekitar 1,5 meter dari permukaan rawa dan berdiameter sekitar 50 meter yang kini menjadi tempat bermain untuk budak-budak kecik.

Dari atas lebu itu kita bisa memandang jauh ke Pampangan, juga ke lebak-lebak terjauh. Untuk pertama kalinya, selama 40 hari di selatan Sumatera akhirnya saya menyaksikan senja yang begitu cantik. Begitu syahdu dari atas lebu itu. Rona jingga menyelimuti dari ujung barat lebak hingga ke kolong-kolong rumah panggung di tepian sungai Komering.

Di Tebing pula, untuk kali pertama selama 40 hari di selatan Sumatera akhirnya saya mandi di lebak!


Selain keramahannya, kehidupan masyarakatnya yang dekat dan bergantung pada sungai, hal lain yang membuat Tebing sama dengan desa-desa lain di Pampangan, SP Padang dan Tulung Selapan adalah betapa begitu familiarnya masyarakat dengan togel. Bahkan anak-anak kecik pun paham. Pemilik rumah yang saya tinggali di Tebing adalah agen penjual nomor togel. Dari pagi hingga pukul 11 malam, tamu-tamu datang silih berganti memasang nomor. Banyak bapak-bapak dan ibu-ibu, tapi tak jarang anak-anak kecik pun tiba-tiba muncul untuk menyampaikan pesan nomor dan uang yang dititipkan orang tuanya.

"Saya kerja begini hanya untuk uang rokok, pulsa dan uang bensin saja," kata agen itu, "Kalau untuk makan sehari-hari ya dari mahat itulah." jelasnya yang tiap kali ada nomor yang tembus dia bisa mendapat persenan dari "bos"-nya 15 % juga 10 % dari pemasang nomor.

Di sini, hampir setiap orang percaya terhadap kekuatan angka yang muncul dalam mimpi.

****

Jum'at (10/1) siang saat hendak menuju masjid untuk Jumatan, saya dipanggil oleh seorang anak yang tengah duduk-duduk di depan warung, "Mang!"

Ah, ternyata anak itu 1 diantara belasan anak SD yang saya foto di dermaga.


06 Januari 2014

Tak Sampai Melayang di Pulau Layang

Destinasi kami kali ini Kuro-Bangsal dan Pulau Layang. Ridho dan Kiki ke Kuro-Bangsal sedang saya ke Pulau Layang. Kami bertolak dari dermaga pasar Pampangan kamis (2/1/14) siang pukul 11 dengan ketek yang melaju pelan membelah sungai Komering. Selain kami bertiga, ada penumpang lainnya: ayuk Maya. Kurang lebih 20 menit ketek merapat ke Kuro-Bangsal. Kiki dan Ridho turun, dan penumpang ketek tinggal saya dan Maya.

Ah, senangnya bisa seketek berdua dengan Maya. Meski suara kami harus beradu dengan suara ketek. :D

Perjalanan ke Pulau Layang masih 40 menit menyusuri sungai Komering. Banyak eceng gondok dan teratai cantik yang bertebaran di sungai dan lebak. Ada yang baru tumbuh dan ada pula yang sudah bermekaran.

"Teratai siang ini warnanya merah jambu," kata Maya. "Tapi sayang dia pemalu." Tak ubahnya teratai itu. Selain perayu, Maya pun kadang pemalu. Dan saya suka melihatnya malu-malu. :D

Sewaktu di Palembang, Aiman sudah mengingatkan bahwa pernikahan di dusun tidak mengenal hari. Setibanya kami di Pulau Layang, lagu "Masa Lalu" tengah mengalun dari soundsystem hajatan. Bass! Semua warga sepertinya terpusat di sana. Banyak bapak-bapak dan anak muda yang mengenakan batik dan ibu-ibu mengenakan pakaian muslim. Ini hajatan ke-3 yang saya temui selama di Pampangan dan kawinan ke-2 di Pulau Layang dalam seminggu terakhir. Hajatan di Pampangan dan sekitarnya memang ramai diadakan setelah masa panen.

Pak Herman, kepala desa Pulau Layang juga menghadiri hajatan itu. Rumahnya tampak kosong digembok. "Mau aku panggilkan?" tanya seorang tetangganya. Saya menolak dan memilih menunggu pak Herman di teras rumahnya yang disapu semilir angin pembuat nyenyak tidur siang.

Siang ini saya bertemu dua orang penderita stroke yang masih beraktifitas layaknya orang normal. Pertama pengemudi ketek dari Pampangan tadi, dan kedua Pak Herman.

Pak Herman tinggal di perumahan guru berukuran 6 x 9 meter di komplek SDN 1 Pulau Layang. "Saya tak punya rumah di sini, rumah kami di Palembang." kata pak Herman yang sebelum jadi kepala desa Pulau Layang bekerja sebagai sopir truk pengangkut kayu Palembang-Surabaya.

Saya diajak pak Herman mendatangi pesta pernikahan pukul 22.30 dimana para pelelang bergantian berbagi mikrofon menyanyikan lagu dangdut oldskull yang masih asing di kuping. Pukul 23.00, biduanita berpakaian minim mengambil-alih panggung. Ada 4 penyanyi -1 waria, 3 wanita- dengan goyangan cukup panas.

"OK, DJ remix kita mulai yaaa.." teriak MC pesta mengawali sesi dangdut house.

Pemandangan yang biasanya saya lihat di youtube, kali ini di depan mata. Biasanya pantai utara Jawa, kali ini pantai timur Sumatera. Biasanya OM Sagita, kali ini Orgen Tunggal Cahaya dengan DJ Akep Mania sebagai keyboard jockey. 

Desk DJ Akep Mania tak kalah gemerlap dengan desk-nya Diplo! Penuh lampu, dengan tata cahaya cukup atraktif untuk pesta kelas kecamatan, lampu disko dan running text bertuliskan tagline ajaib nan bombastis macam: "Mari merapat diskotik jalanan" dan "Hancurkan masa depan masbroooh."

Ada beberapa meja yang menjual air mineral club, mijon, anggur merah dan bir angker. Makin malam, makin ramai. Ibu-ibu dan anak-anak pulang berganti bapak-bapak dan muda-mudi. Sekelompok orang tua membentuk lingakaran kecil di bawah salah satu rumah panggung. 

"Apa itu pak?" tanya saya ke pak Herman. "(Permainan) Dadu."

Ingin sekali singgah sebentar untuk melihat-lihat permainan yang menjadi magnet bagi sekelompok bapak-bapak itu. Tapi saya harus pulang.

Pukul 4 pagi saya terbangun dan sayup-sayup masih terdengar dentuman bass dari tempat yang berjarak 100 meter dari rumah pak Herman itu. Pesta semalam belum usai.

Dari seorang warga, saya tahu pesta berakhir pukul 4.30. Makin larut, makin padat, makin gila. Banyak pemakai sabu dan seorang pengunjung pesta yang datang dari kampung sebelah kehilangan motornya di pukul 3.

Jumat siang saya jumatan di masjid At-Taqwa yang terletak persis di samping rumah pak Kades. Masjid dengan kapasitas sekitar 300an jamaah. Siang ini, jamaah sholat jumat di masjid At-Taqwa hanya sebanyak 2,5 shaf dengan setiap shaf sekitar 22 orang. Kebanyakan orang tua. Jamaah anak muda hanya 6 orang. Kontras sekali dengan pemandangan tadi malam.

Saya jadi teringat tagline bombastis dari running text di desk DJ Akep Mania.

****

Serupa Kuin dan Alalak di Banjarmasin, Mohenjo-daro dan Harappa di lembah Sungai Indus (danke Dindie sudah mengingatkan saya pelajaran sejarah!), juga serupa banyak kampung dan kota di Sumatera Selatan, Pulau Layang juga dibangun dari tepi Sungai. Pulau Layang terletak di antara Tapus dan Kuro, diapit dua hamparan rawa luas (Lebak Lebung Pisang di utara dan Lebak Pulau Layang di selatan) dan dibelah sungai/batanghari Pulau Layang. Dahulu, di jaman sunan, daratan di antara lebak-lebak itu terlihat seperti pulau dari jauh. Daratan itu juga tempat favorit untuk bermain layangan. Maka oleh para orang tua, dinamailah daratan itu Pulau Layang.

Rumah Nyaman Para Kucing

"Cobooooonnggg!!!" seru Rani dan bu Fatmawati bersamaan saat melihat Cubung muncul di malam pergantian tahun. Dia tak terlihat sepanjang hari, dan baru muncul sekitar pukul 9 malam di teras belakang rumah pak Lux saat semua sedang berkumpul untuk merayakan pergantian tahun.

Cubung adalah satu di antara 13 kucing kecubung peliharaan keluarga pak Lux. Yang paling berisi di antara lainnya. Saya dan Yayu memanggilnya Dodi. Tubuh gempalnya dan gaya Cubung berjalan mengingatkan kami pada Dodi, teman kami.

Cubung juga kucing favorit kami dan paling mudah kami kenali. Warna bulunya lebih variatif dibanding lainnya: coklat-putih di bagian punggung dan hitam-putih di kepala. Di penghujung malam saat semua penghuni rumah nyaris terlelap, Cubung suka naik ke lantai 2 tempat kami menginap dan meraung-raung meminta dibukakan pintu rumah.

Di malam hari, semua kucing milik pak Lux tak bisa keluar rumah. Semua akses keluar dikunci. Kucing-kucing itu tidur di atas meja setrika dan meja dan sofa di lantai 2.

Bu Fatmawati punya cara cukup unik saat memanggil kucing-kucing itu makan: memukul-mukul piring plastik dengan sendok dalam ritme cepat berulang-ulang. Tak sampai hitungan menit, kucing-kucing itu sudah berkumpul dan mendekat pada bu Fatmawati. Menu sehari-hari mereka: nasi putih yang sudah dicampur ikan.

Di malam tahun baru, Cubung dan geng mendapat menu spesial. Tak hanya tuan rumah dan tamu yang kebagian sate dan ayam panggang. Ke-13 kucing itu pun kebagian.

Pak Alpian, tetangga pak Lux yang juga hadir malam itu bercerita tentang tayangan TV yang ditontonnya. Tentang kisah keluarga yang menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk mengurus kucing. Lantas bu Fatmawati menimpali, "Sewaktu kami mulai melihara kucing-kucing itu, rejeki kami kian mengalir."

Semua penghuni rumah pak Lux sepertinya memang sangat menyayangi kucing-kucing itu. Setiap tempat di rumah itu adalah tempat tidur yang nyaman untuk para kucing.

Rumah panggung itu pun begitu nyaman bagi kami. Sampai-sampai saat dipanggil pulang kami menolak dan mencari-cari alasan agar bisa berlama-lama di sana. :D

Saya semakin nyaman kalau ada orang yang baru saya kenali memanggil nama saya dengan benar, apalagi dengan cara memanggil orang dusun, "Caaaallll.. Oooo Caalll..."

02 Januari 2014

Sungai Hitam

"Kalau ada rumah yang kebakaran gak ada yang bisa nolong (memadamkan)" kata pak kades menggambarkan betapa sepinya pagi di Lebung Itam. Rumah-rumah tampak kosong. Penghuninya, baik lelaki-perempuan, ada yang sudah meninggalkan rumah sejak pukul 5 pagi menuju kebun karet.
 
Mayoritas penduduk Lebung Itam bekerja sebagai penyadap karet.

Lebung itam, seperti banyak kampung di Selapan, diambil dari nama sungai. Lebung itam berarti sungai hitam. Dahulu Sungai Hitam masih lebar dan dalam, mampu dilewati perahu bermuatan 11 ton. Jalur menuju desa lain hanya lewat sungai. Penduduk desa masih sekitar 77 KK. Kini Lebung Itam didiami lebih dari 1000 KK. Jalan lintas kabupaten dibangun. Kampung meluas. Dan Sungai Hitam menyempit, tak bisa lagi dilalui perahu bermuatan besar.

(Obrolan pagi tanpa kopi)
24/12/13