06 Januari 2014

Tak Sampai Melayang di Pulau Layang

Destinasi kami kali ini Kuro-Bangsal dan Pulau Layang. Ridho dan Kiki ke Kuro-Bangsal sedang saya ke Pulau Layang. Kami bertolak dari dermaga pasar Pampangan kamis (2/1/14) siang pukul 11 dengan ketek yang melaju pelan membelah sungai Komering. Selain kami bertiga, ada penumpang lainnya: ayuk Maya. Kurang lebih 20 menit ketek merapat ke Kuro-Bangsal. Kiki dan Ridho turun, dan penumpang ketek tinggal saya dan Maya.

Ah, senangnya bisa seketek berdua dengan Maya. Meski suara kami harus beradu dengan suara ketek. :D

Perjalanan ke Pulau Layang masih 40 menit menyusuri sungai Komering. Banyak eceng gondok dan teratai cantik yang bertebaran di sungai dan lebak. Ada yang baru tumbuh dan ada pula yang sudah bermekaran.

"Teratai siang ini warnanya merah jambu," kata Maya. "Tapi sayang dia pemalu." Tak ubahnya teratai itu. Selain perayu, Maya pun kadang pemalu. Dan saya suka melihatnya malu-malu. :D

Sewaktu di Palembang, Aiman sudah mengingatkan bahwa pernikahan di dusun tidak mengenal hari. Setibanya kami di Pulau Layang, lagu "Masa Lalu" tengah mengalun dari soundsystem hajatan. Bass! Semua warga sepertinya terpusat di sana. Banyak bapak-bapak dan anak muda yang mengenakan batik dan ibu-ibu mengenakan pakaian muslim. Ini hajatan ke-3 yang saya temui selama di Pampangan dan kawinan ke-2 di Pulau Layang dalam seminggu terakhir. Hajatan di Pampangan dan sekitarnya memang ramai diadakan setelah masa panen.

Pak Herman, kepala desa Pulau Layang juga menghadiri hajatan itu. Rumahnya tampak kosong digembok. "Mau aku panggilkan?" tanya seorang tetangganya. Saya menolak dan memilih menunggu pak Herman di teras rumahnya yang disapu semilir angin pembuat nyenyak tidur siang.

Siang ini saya bertemu dua orang penderita stroke yang masih beraktifitas layaknya orang normal. Pertama pengemudi ketek dari Pampangan tadi, dan kedua Pak Herman.

Pak Herman tinggal di perumahan guru berukuran 6 x 9 meter di komplek SDN 1 Pulau Layang. "Saya tak punya rumah di sini, rumah kami di Palembang." kata pak Herman yang sebelum jadi kepala desa Pulau Layang bekerja sebagai sopir truk pengangkut kayu Palembang-Surabaya.

Saya diajak pak Herman mendatangi pesta pernikahan pukul 22.30 dimana para pelelang bergantian berbagi mikrofon menyanyikan lagu dangdut oldskull yang masih asing di kuping. Pukul 23.00, biduanita berpakaian minim mengambil-alih panggung. Ada 4 penyanyi -1 waria, 3 wanita- dengan goyangan cukup panas.

"OK, DJ remix kita mulai yaaa.." teriak MC pesta mengawali sesi dangdut house.

Pemandangan yang biasanya saya lihat di youtube, kali ini di depan mata. Biasanya pantai utara Jawa, kali ini pantai timur Sumatera. Biasanya OM Sagita, kali ini Orgen Tunggal Cahaya dengan DJ Akep Mania sebagai keyboard jockey. 

Desk DJ Akep Mania tak kalah gemerlap dengan desk-nya Diplo! Penuh lampu, dengan tata cahaya cukup atraktif untuk pesta kelas kecamatan, lampu disko dan running text bertuliskan tagline ajaib nan bombastis macam: "Mari merapat diskotik jalanan" dan "Hancurkan masa depan masbroooh."

Ada beberapa meja yang menjual air mineral club, mijon, anggur merah dan bir angker. Makin malam, makin ramai. Ibu-ibu dan anak-anak pulang berganti bapak-bapak dan muda-mudi. Sekelompok orang tua membentuk lingakaran kecil di bawah salah satu rumah panggung. 

"Apa itu pak?" tanya saya ke pak Herman. "(Permainan) Dadu."

Ingin sekali singgah sebentar untuk melihat-lihat permainan yang menjadi magnet bagi sekelompok bapak-bapak itu. Tapi saya harus pulang.

Pukul 4 pagi saya terbangun dan sayup-sayup masih terdengar dentuman bass dari tempat yang berjarak 100 meter dari rumah pak Herman itu. Pesta semalam belum usai.

Dari seorang warga, saya tahu pesta berakhir pukul 4.30. Makin larut, makin padat, makin gila. Banyak pemakai sabu dan seorang pengunjung pesta yang datang dari kampung sebelah kehilangan motornya di pukul 3.

Jumat siang saya jumatan di masjid At-Taqwa yang terletak persis di samping rumah pak Kades. Masjid dengan kapasitas sekitar 300an jamaah. Siang ini, jamaah sholat jumat di masjid At-Taqwa hanya sebanyak 2,5 shaf dengan setiap shaf sekitar 22 orang. Kebanyakan orang tua. Jamaah anak muda hanya 6 orang. Kontras sekali dengan pemandangan tadi malam.

Saya jadi teringat tagline bombastis dari running text di desk DJ Akep Mania.

****

Serupa Kuin dan Alalak di Banjarmasin, Mohenjo-daro dan Harappa di lembah Sungai Indus (danke Dindie sudah mengingatkan saya pelajaran sejarah!), juga serupa banyak kampung dan kota di Sumatera Selatan, Pulau Layang juga dibangun dari tepi Sungai. Pulau Layang terletak di antara Tapus dan Kuro, diapit dua hamparan rawa luas (Lebak Lebung Pisang di utara dan Lebak Pulau Layang di selatan) dan dibelah sungai/batanghari Pulau Layang. Dahulu, di jaman sunan, daratan di antara lebak-lebak itu terlihat seperti pulau dari jauh. Daratan itu juga tempat favorit untuk bermain layangan. Maka oleh para orang tua, dinamailah daratan itu Pulau Layang.