13 Juni 2014

Wamena


Kali pertama saya menyaksikan magisnya Danau Sentani dari udara adalah pada 17 mei 2012. Hari ini, 2 tahun lewat 2 hari, untuk kali kedua saya ke Papua. Perjalanan kali ini menjadi lebih menarik karena tujuan kami Kabupaten Jayawijaya dan perjalanan Jogja-Jayapura menggunakan Garuda Indonesia! :D 

Biasanya untuk perjalanan antar pulau kami menumpang maskapai LCC, maka melihat kode GA di tiket adalah hal yang menyenangkan. Awalnya, kami dijadwalkan berangkat pukul 20.30, namun GA 254 yang kami tumpangi baru bisa membawa kami ke Denpasar pukul 23.00. Telat 2,5 jam!

Tapi keterlambatan 2,5 jam itu terlupakan seketika saat kami mengudara. “Garuda Indonesia Experience” langsung terasa ketika kita duduk di bangku penumpang dan lagu Bengawan Solo sentuhan Addie MS terdengar sayup mengalun. Pelayanan Garuda memang kelas 1. Kelas ekonominya memang juara. Wajar sekali Emirsyah Satar bercerita dengan bangga tentang pelayanan kelas ekonomi Garuda yang dilabeli terbaik sedunia oleh Skytrax itu. Pramugarinya pun ramah-ramah, tak hanya sekedar basa-basi. Rasanya pramugari maskapai lokal lain perlu di-training di Garuda biar tidak jutek dan seadanya dalam melayani –LCC sekalipun. 

Pesawat kami tiba di Bandar Udara Sentani pukul 9 pagi, setelah sebelumnya transit dulu di Timika. Danau Sentani masih menyuguhkan kemagisan yang sama, yang membuat pasang-pasang mata kami menjelajah lekukan bukit-bukit hijau dan danau itu sebelum mendarat.

Perjalanan Jayapura (DJJ) – Wamena (WMX) baru dilakukan pukul 3 sore menggunakan pesawat ATR Trigana Air. Pindah dari kabin Garuda yang nyaman ke Trigana rasanya seperti pindah dari Surga ke Ghana. Dari pelayanan kelas 1 ke pelayanan yang.. ya begitulah. Dari pesawat dengan tempat duduk yang kulit joknya pun bersertifikasi internasional ke tempat duduk berstandar pelosok yang bisa kita pilih semaunya di dalam pesawat, seperti penerbangan maskapai apapun dari Ternate ke Sanana. 

Tapi maskapai macam Trigana Air berjasa menghubungkan Jayapura dengan kota-kota kecil di Papua yang sulit ditempuh lewat jalan darat. Dalam sehari ada 6 penerbangan PP Jayapura – Wamena, dan 10 penerbangan untuk pesawat khusus kargo.

Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus begitu tiba di Wamena –setelah sebelumnya terbang rendah diantara pegunungan di Lembah Baliem. Saat tiba, kami disambut 2 pelangi cantik yang di muncul di balik bukit kecil di utara dan timur bandara. Pemandangan yang mengingatkan saya akan foto pelangi kembar milik Pak Dayat, dan lanskap yang membuat saya merasa ada di set film Denias. 

Sebagai salah satu pintu masuk Jayawijaya, Bandar Udara Wamena rasanya cukup mewakili ketertinggalan Jayawijaya. Bandara bertipe sangat sederhana sekali. Bahkan terlihat seperti bandara darurat. Ruang keberangkatan/check-in yang menjadi satu dengan ruang kedatangan adalah bangunan beratap dan berdinding seng yang dicat coklat keki dan berlantai semen kasar. Ruang keberangkatan memang dilengkapi detector dan ruang tunggu dengan kursi panjang yang tersusun rapi. Tapi di ruang kedatangan, tak ada conveyor untuk mempermudah proses pengambilan bagasi. Pengambilan bagasi dilayani secara manual: langsung diambil ke petugas yang mengangkutnya dengan kereta/gerobak besi.

Ruang keberangkatan/kedatangan berada 1 halaman dengan Kantor Polsek KPPP Udara Wamena, tapi penjagaan bandara tak ketat. Setiap orang bebas masuk bandara. Saat pesawat mendarat kita bisa mendapati sekumpulan orang sedang menunggu di pinggir landasan untuk selanjutnya melintasi landasan pacu. 

Berada di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut, Wamena terletak di Lembah Baliem yang berhawa sejuk dan bersahabat. Dikepung pegunungan dan bukit-bukit yang berjejer merapat menyembah langit.

Di setiap tempat yang saya kunjungi, hal utama yang selalu saya harapkan adalah senyum dari orang yang saya temui. Senyum pertama yang saya dapatkan kali ini adalah senyum mama penjual bunga pandi, buah markisa, pinang dan kelapa hutan yang berjualan sambil menyulam noken di depan kantor Polsek UKPP Bandara Wamena. 

Walau perjumpaan pertama, Wamena terasa bagai peluk hangat kawan lama.


(19 Mei 2014)
Baliem, lembah pelangi.

Tidak ada komentar: