Kali pertama saya menyaksikan magisnya Danau
Sentani dari udara adalah pada 17 mei 2012. Hari ini, 2 tahun lewat 2 hari,
untuk kali kedua saya ke Papua. Perjalanan kali ini menjadi lebih menarik karena tujuan kami Kabupaten Jayawijaya dan perjalanan
Jogja-Jayapura menggunakan Garuda Indonesia! :D
Biasanya untuk perjalanan antar pulau kami menumpang
maskapai LCC, maka melihat kode GA di tiket adalah hal yang menyenangkan.
Awalnya, kami dijadwalkan berangkat pukul 20.30, namun GA 254 yang kami
tumpangi baru bisa membawa kami ke Denpasar pukul 23.00. Telat 2,5 jam!
Tapi keterlambatan 2,5 jam itu terlupakan
seketika saat kami mengudara. “Garuda Indonesia Experience” langsung terasa
ketika kita duduk di bangku penumpang dan lagu Bengawan Solo sentuhan Addie MS
terdengar sayup mengalun. Pelayanan Garuda memang kelas 1. Kelas ekonominya
memang juara. Wajar sekali Emirsyah Satar bercerita dengan bangga tentang
pelayanan kelas ekonomi Garuda yang dilabeli terbaik sedunia oleh Skytrax itu. Pramugarinya
pun ramah-ramah, tak hanya sekedar basa-basi. Rasanya pramugari maskapai lokal
lain perlu di-training di Garuda biar
tidak jutek dan seadanya dalam melayani –LCC sekalipun.
Pesawat kami tiba di Bandar Udara Sentani pukul 9 pagi, setelah sebelumnya transit dulu di Timika.
Danau Sentani masih menyuguhkan kemagisan yang sama, yang membuat pasang-pasang
mata kami menjelajah lekukan bukit-bukit hijau dan danau itu sebelum mendarat.
Perjalanan Jayapura (DJJ) – Wamena (WMX) baru
dilakukan pukul 3 sore menggunakan pesawat ATR Trigana Air. Pindah dari kabin Garuda
yang nyaman ke Trigana rasanya seperti pindah dari Surga ke Ghana. Dari
pelayanan kelas 1 ke pelayanan yang.. ya begitulah. Dari pesawat dengan tempat
duduk yang kulit joknya pun bersertifikasi internasional ke tempat duduk berstandar
pelosok yang bisa kita pilih semaunya di dalam pesawat, seperti penerbangan
maskapai apapun dari Ternate ke Sanana.
Tapi maskapai macam Trigana Air berjasa
menghubungkan Jayapura dengan kota-kota kecil di Papua yang sulit ditempuh
lewat jalan darat. Dalam sehari ada 6 penerbangan PP Jayapura – Wamena, dan 10 penerbangan
untuk pesawat khusus kargo.
Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus begitu
tiba di Wamena –setelah sebelumnya terbang rendah diantara pegunungan di Lembah
Baliem. Saat tiba, kami disambut 2 pelangi cantik yang di muncul di balik bukit kecil
di utara dan timur bandara. Pemandangan yang mengingatkan saya akan foto
pelangi kembar milik Pak Dayat, dan lanskap yang membuat saya merasa ada di set
film Denias.
Sebagai salah satu pintu masuk Jayawijaya,
Bandar Udara Wamena rasanya cukup mewakili ketertinggalan Jayawijaya. Bandara
bertipe sangat sederhana sekali. Bahkan terlihat seperti bandara darurat. Ruang
keberangkatan/check-in yang menjadi
satu dengan ruang kedatangan adalah bangunan beratap dan berdinding seng yang
dicat coklat keki dan berlantai semen kasar. Ruang keberangkatan memang
dilengkapi detector dan ruang tunggu
dengan kursi panjang yang tersusun rapi. Tapi di ruang kedatangan, tak ada conveyor untuk mempermudah proses pengambilan bagasi. Pengambilan bagasi
dilayani secara manual: langsung diambil ke petugas yang mengangkutnya dengan
kereta/gerobak besi.
Ruang keberangkatan/kedatangan berada 1
halaman dengan Kantor Polsek KPPP Udara Wamena, tapi penjagaan bandara tak
ketat. Setiap orang bebas masuk bandara. Saat pesawat mendarat kita bisa
mendapati sekumpulan orang sedang menunggu di pinggir landasan untuk
selanjutnya melintasi landasan pacu.
Berada di ketinggian 1800 meter di atas
permukaan laut, Wamena terletak di Lembah Baliem yang berhawa sejuk dan
bersahabat. Dikepung pegunungan dan bukit-bukit yang berjejer merapat menyembah langit.
Di setiap tempat yang saya kunjungi, hal utama
yang selalu saya harapkan adalah senyum dari orang yang saya temui. Senyum
pertama yang saya dapatkan kali ini adalah senyum mama penjual bunga pandi,
buah markisa, pinang dan kelapa hutan yang berjualan sambil menyulam noken di
depan kantor Polsek UKPP Bandara Wamena.
Walau perjumpaan pertama, Wamena terasa bagai peluk
hangat kawan lama.
(19 Mei 2014)
Baliem, lembah pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar