27 Desember 2013

Rantau Lurus

Kurang semenit dari 5:50 saya terkaget bangun oleh alarm alam: ayam berkokok seperti tepat di kuping! Alarm yang sudah saya set kalah 17 menit oleh ayam yang posisinya hanya dibatasi dinding papan setebal 2 cm.

Pagi ini saya terbangun di rumah pak WR, transmigran asal Banyuwangi yang sudah mendiami Rantau Lurus sejak 1975. Kabut masih menyelimuti petak-petak sawah dan rumah walet di samping rumah pak WR. Matahari tampak meninggi dengan malu-malu. "Tanda-tanda mau dapat rejeki nih. Pagi-pagi sudah dapat duit," kata pak WR yang pada 6:19 sudah menerima tamu pertamanya.

"Sudah pernah lihat?" tanya pak WR sambil menunjukkan sarang burung walet. "Ini sekarang sekilo sudah 7 juta. Kalau di Ternate belum ada bikin lah. Di sini 1 desa ada sekitar 250 rumah walet."

Rumah walet mudah ditemui di desa-desa pantai timur. Rumah papan berlantai dua/tiga yang umumnya dilapisi karpet hitam di sisi luar. Di lantai teratas terdapat ventilasi persegi yang sudah dipasangi speaker. Dari speaker itulah suara burung berkicau sepanjang hari untuk memanggil walet agar membuat sarangnya di sana.

***

Hujan deras dan angin kencang menyapu rantau lurus siang ini. Kawanan anak SD yang baru pulang sekolah terjebak di pepohonan di depan rumah pak Helmi. Saya memanggil anak-anak itu untuk berteduh. Mereka menuruti, mendatangi rumah pak Helmi, mengeluarkan tas yang disimpan dibalik kemeja dan menaruhnya di teras, lantas berlari lagi ke halaman: mandi hujan! Ah bagian itu membawa saya terbang ke masohi di 90an. Terima kasih Tuhan untuk masa kecil yang seru.

Jalanan/gang-gang di rantau lurus sekilas tak asing. Jalanan tanah dengan pepohonan berjejer nyaris rapi di kedua sisi, juga parit/ kanal-kanal kecil di sepanjang gang. Mirip wallpaper bawaan windows XP dulu itulah. Tapi versi kampung di Indonesia. Rantau lurus adalah satuan pemukiman yang terletak di Antara sungai Pedada dan sungai Lumpur dengan kanal besar membelah dusun. Ada 3 jembatan besi yang melintang di atas kanal itu.

Menjelang maghrib saya bergegas meninggalkan rumah  pak ahmad. Rumah panggung hampir roboh yang lantainya sudah nyaris setinggi rawa.

Saya tepat berada di atas jembatan besi penghubung dusun saat adzan berkumandang. Saya berhenti sejenak, menyimak adzan merdu yang membuat senja ini begitu syahdu. Taka da semburat jingga sejauh mata memandang. Tapi dari jembatan, refleksi bulan penuh terlihat begitu cantik di ketenangan kanal.

Sebelum gelap pekat menyergap, saya kembali menyusuri jalanan jahat dengan kaki telanjang menuju rumah.

16/12/13

Tidak ada komentar: