24 Desember 2013

Menyalami Pantai Timur

 
Bagi pejalan oportunis yang terlalu sering dibuai kenyamanan kota dan kecanggihan gadget, mendatangi tempat-tempat terpencil adalah pengalaman berharga nan langka. Jadi kami mengabadikan momen dimana pun: mulai dari pelabuhan speed hingga terminal bis antar kota dalam provinsi. Iya, terminal!

Pagi ini, kami berada di dermaga (bom) Selapan, menanti keberangkatan speed yang akan mengantarkan kami ke Kuala Dua Belas, sembari ngopi-ngopi dan berfoto di unjung dermaga.

Kekaguman saya akan tempat ini dimulai saat speed mulai bertolak dari dermaga. Dulu saya selalu beranggapan bahwa tempat tercantik di negeri ini adalah Papua dan Sumba. Ternyata itu karena saya belum pernah menyusuri sungai-sungai di Sumatera saja.

Selepas bom Selapan, beberapa kali kami melewati kampung-kampung yang dibangun di atas rawa/sungai. Ada yang 6 rumah saja, ada pula yang belasan hingga puluhan dengan posisi rumah saling berhadapan di tepian sungai. Tentu saja rumah-rumah itu berbentuk panggung. Banyak pula rumah yang difungsikan sebagai rumah walet.

Kawanan kerbau rawa dengan bangau di atasnya turut mewarnai perjalanan kami. Seringkali kami berpapasan dengan speed lain. Jika speed tidak melambat, maka siap-siap untuk terguncang dan kecipratan gelombang sungai yang pecah akibat hantaman speed.

Setelah 2 jam perjalanan, speed kami melalui sungai yang lebar. Sekitar 50 hingga 100 meter. Kedua sisi sungai dipenuhi pohon-pohon nipah. Speed kami tak terlalu berguncang saat berpapasan dengan speed lain, namun kami harus melaju meliuk-liuk untuk menghindari tanaman eceng gondok dan batang-batang pohon yang mengapung di tengah sungai.

Tak banyak lagi kampung yang kami lewati. Tak lama, tibalah kami di laut. Untuk menuju Kuala Dua Belas, kami harus menyusuri sungai, melewati laut menyentuh selat Bangka, lantas masuk lagi ke sungai. Kali ini burung puntul (bangau berparuh kuning) yang kami temui lebih banyak. Sebagian terbang menghiasi langit, sebagian lagi bertengger di ranting-ranting bakau.

Tak jauh dari muara, tibalah kami di Kuala Dua Belas. Kami langsung menuju rumah pak Burhan, kades Kuala Dua Belas yang lama dan disambut  Jeri, anak lelakinya yang langsung meminta istrinya untuk membuatkan kopi.


"Sudah makan siang?" tanya Jeri yang siang itu menyambut kami di teras rumah, "Kami baru panen udang tadi. Kita makan siang dengan udang ya." 

Begitulah keramahan perkampungan pantai timur sumatera yang kali pertama saya temui.

Maka siang ini, kami makan dengan udang yang baru saja dipanen diiringi paduan suara burung walet: suara burung walet sebenarnya dan rekaman suara burung yang diputar untuk memancing walet-walet itu.


13/12/13

Tidak ada komentar: